‘Hanya Mengingatkan’
Oleh : EKA KURNIAWAN, Novelis, Esais
AKTIF di media sosial, sering kali, berarti ada banyak orang yang mengingatkanmu untuk segala hal. Kelompok orang saleh akan mengingatkanmu untuk menutup aurat dan aktivis kesehatan akan mengingatkanmu akan bahaya merokok.
Teman saya bahkan diingatkan agar jangan terlalu banyak mempertontonkan belah dadanya, oleh orang yang tak begitu dikenal. Yang lain akan diingatkan polisi bahasa bagaimana cara menulis “di” yang benar.
Dirjen Pajak dengan sigap mengingatkan seorang selebritas yang berhasil menjual ribuan potong kerudung akan kewajiban pajaknya. Demikian pula perusahaan, semacam maskapai penerbangan, akan diingatkan penumpang jika tak memberikan layanan yang baik.
Bagi saya, fenomena itu sudah melampaui apa yang dibayangkan George Orwell di novel 1984. Ini situasi yang bisa dibilang sebagai pasca-Orwellian.
Di dunia Orwellian, kita menemukan diri menjadi objek pengawasan. Tindakan, kata-kata, bahkan pikiran kita terus dipantau. Tak hanya oleh perkakas semacam telescreen, tapi juga oleh polisi pikiran dan mata-mata.
Pusat pengawasan itu berakhir di Saudara Besar, yang bisa berupa sosok atau mungkin sistem. Jika seseorang tepergok melanggar aturan-aturan atau nilai-nilai, ia bisa diciduk. Dibikin hilang atau semacam direindoktrinasi.
Tidak. Situasi masyarakat media sosial tidak persis seperti itu. Tak ada sosok maupun sistem tunggal bernama “Saudara Besar”. Yang ada adalah masyarakat, negara, kapital, atau siapa pun, saling mengawasi satu sama lain.
Dengan kata lain, yang kita hadapi bukanlah kekuasaan terpusat yang sangat kuat, tapi kekuasaan yang memencar dan terus-menerus mencari perimbangan dalam dirinya. Sebagian merupakan kelompok-kelompok kuat, baik karena jumlah, uang, maupun teknologi.
Kelompok-kelompok kecil pun bukan berarti gampang dihadapi. Sering kali mereka lebih berisik, mengganggu. Mati satu tumbuh seribu.
Penyebaran ini tak hanya menyangkut siapa yang mengawasi siapa, juga tidak berhenti di siapa mengingatkan siapa, tapi sering kali berakhir dengan kekerasan. Verbal maupun fisik. Kekerasan verbal seorang warga negara kepada kekuasaan bisa berakhir dengan kekerasan fisik atau penahanan.
Jika harus dibayangkan, dunia Orwellian itu seperti dunia di mana moncong senapan ada di mana-mana, dikendalikan kekuasaan. Dunia sekarang, kita seperti menghadapi situasi di mana semua orang diberi senapan dan senapan-senapan itu bisa mengarah ke siapa pun.
Dalam konteks warga negara menghadapi negara atau kekuasaan yang terpusat, situasinya mungkin jauh lebih mudah dipetakan, meskipun tak bisa dibilang mudah. Solidaritas warga bisa sama-sama melawan atau menghadapi kekuasaan serupa itu.
Yang merepotkan adalah jika seorang warga harus menghadapi sekelompok warga lain. Kasus bagaimana seseorang yang memutuskan berpindah agama, kemudian dirundung banyak orang, bisa menjadi gambaran. Orang tak lagi hanya mengingatkan, tapi banyak juga yang menghujat, atas nama keyakinan dan nilai-nilainya sendiri.
1984 mengajari kita bagaimana kekuasaan Saudara Besar bisa mengatur dengan siapa kita boleh menikah, seks semacam apa yang harus dilakukan, dan sejarah mana yang boleh dianggap benar. Dunia Orwellian ini percaya keyakinan bisa diciptakan, melalui berbagai cara: persuasi maupun teror.
Di dunia kita hari ini, banyak orang (jika tak bisa mengatakan semua orang) masing-masing merasa sebagai Saudara Besar. Percaya bisa menjejalkan keyakinan kepada orang lain, dengan berbagai cara. Mereka merasa berhak untuk menjadi pengawas, untuk menjadi mata-mata yang melaporkan, dan dalam kasus-kasus tertentu menjadi polisi yang melakukan penindakan.
Media sosial di dunia pasca-Orwellian pada dasarnya sedang mengajari kita, semua orang, bagaimana rasanya memiliki “kekuasaan”. Itu kata magis yang di masa lalu hanya dinikmati orang-orang terpilih.
Seperti orang-orang di masa lalu, kekuasaan sering terlalu liar bagi pemiliknya.
Siapa pun bisa merasa menjadi ahli arsitektur dan membuat tafsir tentang bentuk sebuah masjid. Bisa pula merasa menjadi ahli ekonomi dan membaca data dengan caranya sendiri.
Di media sosial, siapa pun kamu, kamu adalah Saudara Besar. Yang risi melihat orang pamer belah dada. Risi orang Jakarta ngomong keminggris. Tanpa sadar, orang juga risi dengan kelakuanmu dan terus mengawasimu. Saya hanya mengingatkan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar