Entah apa yang menjangkiti hati kita saat ini. Kita mudah sekali tersinggung dan gampang tersulut amarah. Aroma kebencian terus menyeruak dalam pergaulan sosial, seolah tak ada ruang berbagi dengan orang lain. Yang dulu berteman perlahan mulai berjarak lantaran merasa tak lagi sepemahaman.
Menghardik orang dan kelompok yang berpandangan beda pun seolah tak luput dari keseharian. Kita pun lantas melarang orang lain agar tak bicara hal-hal yang tak kita sukai: hanya boleh menyampaikan hal-hal yang kita kehendaki, jika tidak, pengusiran dan persekusi jadi hal yang tak terhindarkan.
Kita mafhum benar kalau negara ini masih berada di jalur demokrasi karena itu memberikan ruang seluas-luasnya untuk berkumpul, berserikat, berpikir, dan berpendapat secara bebas di ruang publik. Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, setiap warga negara perlu mengembangkan relasi yang menjunjung tinggi ikatan keadaban, ”genuine engagement of diversities within the bound of civility”, seperti diungkap Habermas.
Dalam kondisi ini, setiap orang pada posisi setara dan relasi yang dikembangkan pun bersifat intersubyektif sehingga komunikasi dapat berlangsung dua arah, tanpa praduga dan bebas dari represi.
Prinsip ini menjadi sama sekali tak bermakna ketika pembubaran kegiatan, seminar, diskusi ilmiah, atau majelis jadi kebiasaan. Ini bahkan berujung dendam yang saling berbalasan. Semua saling intip, mencari celah dengan sama-sama mengintai: kapan kelompok mereka menggelar acara, akan digeruduk, lalu dibubarkan.
Fenomena ini tentu bukan barang baru di negeri ini. Sejak dulu, kita sering menyaksikan berbagai peristiwa pengusiran—bahkan persekusi terhadap warga yang berbeda keyakinan dan pemahaman keagamaan. Namun, sebagian kita bergeming, diam-diam menyetujui tindakan keji itu karena kebetulan yang dilarang adalah mereka yang tak disukai dan sepandangan. Sejatinya peristiwa ini merupakan potret dari kekurangmampuan kita berbagi ruang publik dengan yang lain.
Makin sulit kita berbagi ruang, makin tampak watak tiranik kita. Secara sederhana, watak tiranik adalah sifat sewenang-wenang yang merugikan orang lain yang berbeda pikiran dan pandangan. Ini sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku.
Watak tiranik ini sumber kerusakan tatanan hidup. Kecenderungan tiranik itu muncul ketika seseorang kehilangan kelapangan nalar untuk berdialog, tak sanggup menghadapi lawan yang lebih unggul, dan tak memiliki wawasan yang lebih luas.
Kondisi inilah yang meruntuhkan akal dan nurani lantas mencari cara untuk merobohkan orang lain lewat berbagai alasan: salah satunya melakukan pengusiran atau pelarangan. Dengan mengusir atau melarang orang lain, kita merasa lebih hebat dan lebih tangguh. Sayangnya, semua itu hanyalah perasaan semata, bukan kondisi yang sesungguhnya ada.
Belajar kepada Cak Nur
Situasi ini juga yang menjerumuskan seseorang ke tujuan-tujuan hidup jangka pendek berupa ”kepentingan-kepentingan tertanam” (vested interests), kepentingan dalam kehidupan duniawi yang kurang luhur, seperti penguasaan atas harta benda, pengaruh, jabatan, kedudukan, dan keinginan dipandang tinggi oleh orang lain. Kata Cak Nur, inilah salah satu pangkal bencana hidup manusia dalam tatanan sosialnya.
Ihwal kelapangan nalar, saya teringat Cak Nur, terkhusus saat ia memperlakukan orang lain yang berbeda pandangan. Suatu kali, Cak Nur dikunjungi seorang fanatik. Tanpa tedeng aling-aling, ia kemudian menceramahi Cak Nur bahkan menghakimi pikirannya dan meminta untuk bertobat karena dianggap sesat. Cak Nur, kala itu dalam masa perawatan, mendengarkan semua argumennya dengan saksama tanpa menyela atau membantah.
Cak Nur tersenyum sambil menyimak kalimat demi kalimat yang tak henti diucapkan. Namun, saat hendak memberikan tanggapan, sang tamu keburu pulang. Cak Nur ingin sekali agar orang itu mendengarkan penjelasannya. Cak Nur merasa semua yang disampaikan tadi keliru dan perlu diluruskan agar kekeliruan itu tak menular ke orang lain.
Kisah ini menunjukkan sebuah teladan bahwa kita perlu bersabar kepada orang yang tak disukai sekalipun. Kita perlu mendengarkan setiap kritik, melayani obrolan dengan tenang, tanpa menyela sekalipun. Teladan seperti itulah yang kita butuhkan.
Meneladani kisah Cak Nur melatih nalar dan empati terhadap orang lain. Dari mereka kita bisa belajar bahwa pikiran harus dilawan dengan pikiran. Buku harus disanggah dengan buku. Argumen harus dibantah dengan argumen. Jika kita tidak menyetujui pendapat atau pikiran seseorang, jangan menghakimi dengan mengusirnya dari forum atau menghasut orang lain untuk membubarkan sebuah kajian. Sanggahlah dengan mengemukakan pikiran.
Begitulah cara kaum moderat bertindak. Dari situlah lahir sikap moderasi atau sikap ”tengah” (’adl—adil, atau wasith—”wasit”, dan seterusnya), dan tanpa ekstremitas (al-ghuluw). Kata Cak Nur, dengan bersikap moderat, kita menyediakan ruang bagi pertimbangan akal sehat untuk membuat penilaian yang jujur atau fair terhadap setiap persoalan. Makin sulit kita berbagi ruang, makin tampak watak tiranik kita.
Merawat kebebasan
Watak tiranik lambat laun menggerogoti kebebasan kita di ruang publik. Untuk mencegahnya bergerak makin jauh, kita mesti merawat kebebasan dengan bertanggung jawab serta setia pada kesepakatan bersama dan norma yang berlaku. Perlu disadari, kebebasan sejatinya bermuara pada pemuliaan diri sendiri dan orang lain.
Ketika kebebasan diselewengkan, yang terjadi berikutnya tirani dan anarki yang memuluskan jalan menuju eksklusivisme. Inilah bentuk kebebasan dengan tujuan destruktif yang berdalih bahwa segala hal boleh dilakukan, bahkan melangkahi wewenang penegak hukum dan menabrak aturan permainan yang berlaku.
Agar kebebasan tak bersifat destruktif, warga negara tak boleh membiarkan setiap tindakan yang melanggar hukum dan memanipulasi prinsip demokrasi. Sekali saja membiarkan pelanggaran dan manipulasi terjadi, peluang bagi penyalahgunaan yang lebih besar akan bebas menjalar ke mana-mana. Akibatnya, kehidupan bernegara pun terancam bangkrut lantaran semua pihak merasa bebas bertindak sesuka hati. Demokrasi pun menjelma menjadi tirani dan anarki.
Itu pentingnya kita anak bangsa berpegang teguh, konsisten, dan sepenuhnya percaya konsensus dan aturan bersama. Kita harus yakin keteguhan dan konsistensi pasti melahirkan manusia merdeka yang berpikir adil, terbuka, setara, dan bertanggung jawab. Dengan begitu, peluang menciptakan demokrasi sehat terbuka lebar. Generasi mendatang pun dapat hidup di negeri yang plural ini dengan damai dan tenteram.
(Fachrurozi Majid ; Direktur Eksekutif Nurcholish Madjid Society)