Setiap manusia memiliki naluri seksual untuk mempertahankan hidup dan melanjutkan keturunan. Namun, terdapat beragam penyimpangan dalam penyaluran hasrat tersebut yang kerap berujung pada kejahatan susila. 

Pada prinsipnya, terdapat tiga ukuran naluri seksual normal, seperti sejumlah kekuatan atau energi tertentu; suatu obyek, yaitu manusia dewasa dengan jenis kelamin yang berlainan; dan suatu cara pemuasan tertentu, yaitu persetubuhan dengan obyek itu.
Naluri seksual yang tidak sesuai dengan ketiganya merupakan penyimpangan seksual. Perilaku yang menyimpang dari satu atau lebih ketiga ukuran naluri seksual normal tersebut dan telah dilarang oleh undang- undang bisa disebut kejahatan susila.
Kejahatan susila dan RUU KUHP
Beberapa penyimpangan seksual yang telah dirumuskan sebagai kejahatan susila merupakan masalah serius di setiap negara. Penyimpangan seksual terbagi tiga, yaitu penyimpangan dari sejumlah energi tertentu (seperti hiperseks, impotensi, frigiditas), penyimpangan terhadap ”obyek” (homoseks dan lesbian, bestialitas atau berhubungan seks dengan hewan, dan nekrofilia atau hubungan seks dengan mayat).
Kemudian, paedofilia, fetisisme atau ketertarikan dan pelampiasan seksual pada benda-benda tertentu yang menyimbolkan kekasih atau orang yang disukainya. Frotage atau perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh sendiri/alat kelamin pada tubuh orang lain saat berdesakan di angkutan umum atau keramaian.
Incest atau hubungan seksual dengan keluarga atau saudara kandung sedarah. Saliromania atau tindakan membuat kotor atau menodai tubuh dan pakaian yang merepresentasikan perempuan, dan sebagainya.
Terakhir, penyimpangan terhadap ”cara” (onani/masturbasi, ekshibisionisme atau perilaku mempertontonkan bagian tubuh/alat vital kepada orang lain untuk mencapai kepuasan seksual). Voyeurisme atau mencapai kepuasan seks dengan cara mengintip orang yang telanjang. Sadisme dan masokisme.
Sadisme adalah upaya mencapai kepuasan seks dengan cara menyakiti orang lain, biasanya oleh pria. Masokisme merupakan cara mencapai kepuasan seks dengan jalan minta disakiti, biasanya oleh wanita.
Transvestitisme atau upaya lelaki mencapai kepuasan seksual dengan memakai pakaian perempuan ke tubuhnya. Transeksualisme/transjender atau kecenderungan seseorang yang menginginkan alat kelaminnya diubah karena merasa genital yang dimilikinya tidak sesuai dengan sifat dan karakternya,
Three some atau mengikutsertakan orang ketiga saat berhubungan badan dengan pasangannya, dan sebagainya. Beberapa perilaku penyimpangan seksual ini ditengarai belum diatur secara jelas dalam RUU KUHP.
Syarat kriminalisasi dan RUU KUHP
Masukan terhadap RUU KUHP harus memperhatikan syarat-syarat kriminalisasi dari sudut sosiologis yang pernah diutarakan Becker, yaitu (a) waktu, (b) tempat, (c) aturan yang dilanggar, (d) siapa yang melakukan, (e) siapa yang merasakan, dan (f) reaksi sosial. Hal ini untuk melengkapi kekurangan dan kelemahan RUU KUHP berkaitan dengan kejahatan susila.
RUU KUHP sangat sedikit mencantumkan ketentuan tentang ekshibisionisme. Bagi sebagian pihak, ketentuan dan sanksi terhadap pelaku mungkin tercantum dalam Pasal 439 dan 441 RUU KUHP yang dilansir Institute for Criminal Justice Reborn (ICJR) dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP pada 2018 yang masing-masing berbunyi, ”Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori ll setiap orang yang (a) melanggar kesusilaan di muka umum; atau (b) melanggar kesusilaan di muka orang lain yang hadir tanpa kemauan orang yang hadir tersebut” (Pasal 439).
Sementara Pasal 441 menyatakan, ”Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Kategori V.”
Ketentuan Pasal 439 mungkin bisa digunakan untuk pelaku, tetapi definisi kesusilaan tak disebutkan secara jelas. Perlu diketahui, di beberapa tempat terdapat budaya telanjang dada ataupun tradisi mandi bersama di suatu telaga yang mensyaratkan pengunjung wanitanya bertelanjang dada, bahkan hingga melucuti semua pakaiannya.
Di samping itu, juga terdapat kebiasaan hampir serupa di suatu tempat yang memperkenankan pengunjung laki-laki menatap alat vital perempuan, tetapi tak boleh melihat bagian dada. Pengertian pelanggaran kesusilaan itu sendiri amat relatif di sejumlah wilayah.
Menerapkan ketentuan Pasal 441 kepada pelaku ekshibisionisme sedikit rancu dan dianggap lebih tepat dikenakan kepada penari striptis ataupun pengelola/koordinatornya. Mengingat pelaku  ekshibisionis tidak melakukan pertunjukan dan tidak selalu di muka umum, bisa saja terjadi di rumah seseorang atau tempat tertutup yang di dalamnya ada orang lain.
Kelemahan lain juga terlihat pada Pasal 512 Ayat (1) Huruf (d) yang berbunyi, ”Dipidana karena melakukan tindak pidana pemerkosaan dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun: (d). Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah.”
Kalimat ”… dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah” menimbulkan pertanyaan. Bagaimana bisa perempuan menyetujui persetubuhan dengan lelaki lain hanya karena alasan ia percaya yang bersangkutan adalah suaminya yang sah? Semua perempuan tentu mengetahui fisik laki-laki yang menjadi suaminya.

Pelaku di bawah umur
Pada ketentuan tentang perbuatan cabul dengan seseorang berjenis kelamin sama, tetapi di bawah umur (homoseks/lesbian), yaitu Pasal 454 Ayat (3) yang berbunyi, ”Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang sama jenis kelamin, yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”, hanya mengandung arti melarang orang dewasa membujuk anak di bawah umur.
Dengan kata lain, seandainya mereka sudah dewasa, pasal ini tidak dapat dikenakan.
Di samping itu, sekarang cukup banyak terjadi di lokasi X anak di bawah umur menawar-nawarkan dirinya (membujuk orang dewasa) untuk digauli dengan imbalan uang. Kalau tidak diberi imbalan, ia akan melapor kepada polisi. Jadi, ada unsur paksaan atau ancaman. Maka, bisa jadi justru sebaliknya yang membujuk—menggarisbawahi pendapat Prof Dadang Hawari—yaitu anak di bawah umur.
Ketentuan perilaku menyimpang lain yang perlu diperhatikan adalah nekrofilia atau persetubuhan dengan mayat. Perbuatan terkait orang yang telah meninggal dimasukkan dalam Pasal 479 Ayat (1) yang berbunyi, ”Setiap orang yang melakukan pencemaran atau pencemaran tertulis terhadap orang yang sudah mati dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” Pasal ini tidak menyebutkan perbuatan persetubuhan dengan jelas, tetapi hanya menggunakan penafsiran kalimat pencemaran.
Beberapa ilustrasi di atas merupakan contoh penyimpangan seksual yang perlu dirumuskan menjadi kejahatan susila dalam RUU KUHP. Masih banyak lagi perilaku yang belum dimasukkan ke dalam RUU KUHP. Pihak perumus dan pemerintah patut memperhatikan hal utama dalam penyusunan kejahatan susila bahwa kejahatan dan penyimpangan seksual itu relatif. ***