”Quo Vadis” Swasembada Gula
Awal Kabinet Kerja 2014, Presiden Joko Widodo menargetkan swasembada pangan tercapai dalam tiga tahun.
Tekad diawali dengan peletakan batu pertama proyek rehabilitasi saluran irigasi sekunder Belawa di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan. Peningkatan produksi digenjot agar dalam dua tahun impor beberapa komoditas pangan bisa dihentikan (Kompas, 6/11/2014).
Namun, di ujung Kabinet Kerja periode pertama, target ternyata belum tercapai. Kecuali komoditas beras, program swasembada komoditas lain, seperti jagung, kedelai, gula, dan daging, jauh dari kondisi swasembada.
Namun, tulisan ini hanya fokus mengulas tata niaga dan upaya swasembada gula. Kebetulan beberapa hari terakhir, Kompas mengulas kondisi pergulaan di tanah air (”Harga Gula Rugikan Petani”, Kompas [12/6/2019] dan ”Benahi Industri Gula Jabar”, Kompas [13/6/2019]).
Saat ini, meski pesta giling tebu baru mulai di pabrik-pabrik gula, harga pembelian gula petani jatuh di bawah ongkos produksi. Kondisi membuat petani demotivasi produksi, yang berdampak pada penurunan pasokan tebu ke pabrik.
Berdasarkan survei Kementerian Pertanian pada Maret 2018, biaya pokok produksi gula petani Rp 10.500 per kilogram. Tahun 2018, Perum Bulog membeli gula petani hanya Rp 9.700 per kilogram. Bahkan, menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen, pembelian di petani hanya Rp 9.100 per kilogram.
Bicara tata niaga gula selama beberapa dekade terakhir, ternyata tidak semanis rasanya. Kenyataan ini tidak terlepas dari kondisi industri dan tata niaga gula di masa lalu. Industri gula pernah menikmati tingkat proteksi 600 persen. Studi kuantitatif industri gula nasional mendapati, proteksi impor didominasi kapitalis kroni.
Kondisi tata niaga seperti itu tentu sangat rentan mengingat pasar gula dunia sangat distorsif dengan proteksi terselubung sejumlah negara produsen yang memasang bea masuk sangat tinggi. Negara-negara produsen gula dunia sangat memanjakan para petaninya dengan modal kerja berbunga rendah dan dukungan agro-input murah.
Tak ada kemudahan
Berbeda dengan Indonesia, meski pemerintah telah mencanangkan swasembada gula beberapa tahun silam (dengan beberapa kali revisi), kemudahan seperti itu nyaris tak dinikmati para petani tebu. Program swasembada menjadi program yang menggantung tinggi di langit, sulit untuk direalisasikan.
Target swasembada yang tak kunjung tercapai itu malah menjadi justifikasi untuk impor. Menurut ekonom Faisal Basri, pada periode 2017-2018 Indonesia menjadi negara importir gula terbesar dengan jumlah 4,45 juta metrik ton. Di samping disparitas harga yang signifikan antara harga gula mentah dunia dan harga gula di pasaran dalam negeri, diduga ada praktik rente di balik lonjakan angka impor gula Indonesia.
Berdasar analisis Faisal Basri, harga gula di pasar dalam negeri bisa tiga kali harga dunia. Pada November 2018, harga gula dunia Rp 4.078 per kilogram, sedangkan harga di pasar di Indonesia adalah Rp 12.163 per kilogram. Seharusnya harga gula rafinasi di pabrik hanya Rp 7.352 per kilogram dengan asumsi harga gula dunia per 11 Januari 2019 mencapai 282 dollar AS per metrik ton dan ongkos pengolahan 200 dollar AS-250 dollar AS per ton, jika nilai tukar Rp 14.500 per dollar AS.
Disparitas harga ini sangat menggiurkan para pemburu rente (rent seeking activities) dan berpotensi menghancurkan harga gula dalam negeri. Bukan hanya itu, hidup 3,5 juta petani tebu dan karyawan pabrik gula beserta keluarganya terancam. Implikasi lebih jauh, industri gula nasional berbasis tebu yang dibangun selama ratusan tahun terancam bangkrut.
Oleh karena itu, pembenahan tata niaga gula dalam negeri perlu segera dilakukan. Konflik kepentingan berbagai pihak yang ingin menjadi aktor tata niaga gula semakin menambah permasalahan yang ada.
Saat ini, instrumen tata niaga gula masih terkotak-kotak di sejumlah kementerian atau lembaga. Padahal, akselerasi program pencapaian swasembada gula harus didukung segenap pemangku kepentingan.
Zaman keemasan
Kita pernah mengalami zaman keemasan industri gula. Hingga 1960-an, Indonesia menyandang predikat eksportir gula terbesar kedua dunia. Pada 1930, produksi gula Pulau Jawa 3 juta ton. Kala itu, di Jawa ada 180 pabrik gula yang memproduksi hablur 15 ton/hektar.
Saat ini rata-rata produksi hablur kita hanya 7 ton/hektar. Salah satu penyebabnya adalah tingginya semangat petani membongkar ratoon tidak diikuti dengan modernisasi pabrik gula. Akibatnya, rendemen hanya 7 persen. Melalui modernisasi mesin/peralatan pabrik yang sudah tua dan tidak efisien, peningkatan angka rendemen dapat 9-10 persen.
Modernisasi mesin/peralatan pabrik harus diikuti dengan riset berkelanjutan untuk mendapatkan bibit dengan produktivitas tinggi. Beberapa literatur menyebutkan, pembongkaran ratoon dengan menggunakan varietas unggul baru dan bibit bermutu, meningkatkan produksi tebu 126-146 persen.
Upaya ekstensifikasi tanaman tebu sangat perlu dilakukan. Selama ini tanaman tebu terpusat di Pulau Jawa, padahal penggunaan lahan di Pulau Jawa kini sarat konflik kepentingan. Pengembangan tebu di luar Jawa menjadi solusi.
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) pernah survei dan mendapati lahan seluas 287.000 hektar, yang sesuai untuk tebu, tersebar di 11 provinsi luar Jawa. Jika produktivitas rata-rata 8 ton per hektar gula hablur, akan ada tambahan 2,3 juta ton.
Untuk mengantisipasi distorsi harga gula internasional dan gula domestik, bea masuk impor gula harus progresif. Apabila harga gula di pasar internasional sedang turun, bea masuk dinaikkan, dan sebaliknya. Cara ini dapat menjaga stabilitas harga dan pasokan.
Legalisasi gula rafinasi di pasar bebas, meski terbatas, perlu dikaji ulang. Dilarang saja, gula rafinasi impor masih membanjiri pasar gula konsumsi, apalagi jika dilegalkan. Kebijakan legalisasi peredaran gula rafinasi 25 persen pada industri kecil berdampak pada membanjirnya gula rafinasi di pasar gula konsumsi dalam negeri.
Kebijakan itu sangat tidak adil bagi petani tebu karena industri gula rafinasi telah dimanjakan dengan berbagai fasilitas dari pemerintah. Sudah pasti gula domestik akan kesulitan bersaing dengan gula rafinasi impor yang mendapat berbagai kemudahan itu.
Kini saatnya para penentu kebijakan menempatkan kegiatan impor sebagai bagian dari solusi dan strategi produksi nasional berkelanjutan, bukan sekadar upaya instan.
Toto Subandriyo ; Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian Alumnus IPB dan Pascasarjana Unsoed.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar