Pemerintah bersama DPR sedang tancap gas menyelesaikan RUU tentang Pertanahan. Beredar luas naskah RUU yang disusun atas inisiatif DPR ini  isinya 15 bab dan 157 ayat (tertanggal 22 Juni 2019). 

Isi RUU ini mencakup bab mengenai: ketentuan umum; hubungan negara, kesatuan masyarakat hukum adat dan orang dengan tanah; hak atas tanah; reforma agraria; pendaftaran tanah; pengadaan tanah dan bank tanah; penyelesaian sengketa; penataan dan pengendalian pertanahan; penyidik PNS; profesi mitra kerja; ketentuan pidana; ketentuan lain-lain; ketentuan peralihan, dan; ketentuan penutup.
Proses penyusunan RUU ini terbilang panjang. Enam tahun lalu, saya pernah menulis artikel   “Menggugat Urgensi RUU Pertanahan” (Kompas, 17/5/2013). Kini, gugatan senada kembali mengemuka. Kalangan gerakan sosial meminta pengesahan RUU  ditunda mengingat banyaknya kelemahan.
Pertama, RUU  dinilai tak menjamin hak rakyat atas tanah dan wilayah hidupnya. Kedua, belum jelas dan konsisten mengatur reforma agraria dan redistribusi tanah kepada rakyat. Ketiga, tak disusun untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik agraria struktural.
Keempat, isinya banyak inkonsisten dan kontradiktif. Kelima, hak-hak atas tanah disusun tak matang dan tak hati-hati. Keenam, tak sensitif terhadap pengakuan wilayah adat.
Ketujuh, belum menjawab sektoralisme masalah pertanahan. Kedelapan, mengatur bank tanah secara berlebihan. Kesembilan, sarat kepentingan bisnis dan investasi.
Kesembilan hal ini jadi  catatan kritis  Konsorsium Pembaruan Agraria, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Aliansi Petani Indonesia, dan Walhi bersama 39 organisasi di tingkat nasional dan daerah dalam siaran pers 14 Juli 2019. Antara  kebutuhan akan adanya UU yang mengatur secara khusus urusan pertanahan, dengan sekelumit masalah mendasar dalam RUU.
Peta pandangan
Kalangan yang meminta agar RUU  segera disahkan, mengajukan alasan seperti  waktu pembahasan yang sudah cukup lama, prosesnya telah panjang, dan  anggaran negara yang dikucurkan tak sedikit, selain alasan strategis, yakni Indonesia perlu dasar hukum  lebih pasti bagi urusan pertanahan.
Dengan alasan ini, RUU ini memang tampak masuk akal untuk segera disahkan. Namun, penulis sangat memahami argumen penolak pengesahan RUU ini, terutama dari aspek substansi. Penolakan mereka  mencerminkan keberatan atas kecenderungan pergeseran aspek filosofis-ideologis dari penyusunan RUU ini.
Hal ini, tentu sangat mendasar. Kita tahu, UU sesungguhnya produk politik. Substansi dari sebuah UU merupakan pantulan pemikiran yang bersifat ideologis dari kekuatan politik  penyusunnya.
Sebenarnya, esensi perdebatan pemikiran dalam proses penyusunan RUU  ini merupakan pertarungan klasik yang berulang. Kepentingan investasi bermodal besar yang beraliran “kapitalisme agraria” berhadapan dengan penganut “sosialisme agraria”.
UU Pokok Agraria 1960 mencerminkan realitas politik saat itu. UUPA berujung pada konsensus “neo-populisme agraria”. Konsensus UUPA, mengakomodasi kepentingan pelipatgandaan modal besar di lapangan agraria, sekaligus mendorong perluasan kepemilikan tanah bagi golongan ekonomi lemah, terutama kaum tani.
Perdebatan klasik antara ide-ide yang bernaung di bawah payung “kapitalisme agraria” ini muncul pula saat pembahasan RUU Pertanahan sebagai legislasi “di bawah payung” UUPA 1960. Misalnya, masuknya substansi “Bank Tanah” untuk mengamankan cadangan tanah bagi pembangunan infrastruktur adalah contoh telanjangnya.
Kalangan “neo-populis” menolak “Bank Tanah” sejak dalam ide. Jika membaca RUU Pertanahan, eksistensi “Bank Tanah” diatur sebegitu besarnya ketimbang pengaturan reforma agraria sebagai agenda mendasar bangsa. Ini baru satu contoh kontroversi.
Konsultasi luas
Apakah RUU Pertanahan dengan substansi seperti beredar itu layak segera disahkan? Apakah para pimpinan parpol yang nasionalis dan berpikir kerakyatan tega melahirkan UU yang berpotensi mengebiri semangat kebangsaan dan meminggirkan hak rakyat banyak  atas tanahnya?
Seyogianya  RUU ini  segera dibahas total bersama ahli dan aktivis. Kalau tidak, masukkan  RUU ini sebagai prioritas utama untuk dibahas dan disahkan oleh  DPR periode 2019-2024. Untuk mematangkan rancangannya, digelar konsultasi publik yang luas dengan menjaring masukan dari ahli dan aktivis gerakan masyarakat sipil di banyak tempat.
Jika penyusunannya optimal-partisipatif, UU Pertanahan yang kelak lahir tak hanya berlegitimasi politik, tetapi juga memiliki  legitimasi sosial yang kokoh.
(Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden)