Menkeu Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini (19/6/2019) memberikan sinyal kuat akan menurunkan tarif  pajak penghasilan untuk wajib pajak badan (PPh WP Badan) dari 25 persen menjadi 20 persen, meski sebenarnya saat ini pun secara khusus tarif pajak  PPh WP Badan sudah 20 persen  bagi  perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek (go public) sesuai UU PPh Pasal 17 Ayat 2b.
Pemerintah dalam menurunkan PPh WP Badan  (perusahaan)   untuk mendorong laju investasi ke dalam negeri, melihat kondisi PPh untuk WP badan di negara tetangga seperti Singapura yang kini 17 persen, Thailand 23 persen, dan Vietnam 20 persen. Penurunan tarif pajak ini diharapkan dapat “mengambil hati” investor untuk investasi di Indonesia.
Terobosan penurunan tarif PPh WP Badan pasti direspons positif oleh para pengusaha atau  investor  karena beban pajak di perusahaan akan terpangkas. Namun, bagaimana imbas terhadap penerimaan negara, jika tarif pajak penghasilan badan jadi diturunkan?
Teori ilmu perpajakan, yakni Kurva Laffer, mengungkapkan, jika tarif pajak turun maka penerimaan negara dalam jangka panjang akan mengalami kenaikan. Ada hubungan erat antara tarif pajak (tax rates) dengan penerimaan negara (tax revenue). Kurva ini menunjukkan, pada titik tarif pajak nol persen, pemerintah tak mendapatkan penerimaan negara dari pajak.
Hal serupa juga terjadi pada tarif pajak 100 persen, karena dengan tarif sebesar itu, kesediaan masyarakat bayar pajak akan mengalami penurunan sehingga timbul praktik penghindaran pajak secara masif.
Dari teori ini, kita melihat tarif pajak yang tepat dapat memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian nasional dan memberikan kontribusi optimal untuk peneriman negara dari sektor pajak.  Perubahan tarif  pajak akan memberikan dampak cukup siginifikan terhadap ekonomi makro.
Kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan pemerintah untuk memengaruhi perekonomian negara melalui aspek penerimaan dan pengeluaran dalam anggaran negara.
Jhon Lindauer, ekonom AS dalam teori multiplier- nya menunjukkan adanya tingkat keseimbangan ekonomi sebagai akibat perubahan dalam salah satu komponen yang memengaruhinya, yakni pembelian pemerintah, transfer, pajak dan pinjaman uang. Setiap perubahan salah satu komponen fiskal (pajak salah satunya) akan berakibat perubahan pada keseimbangan pendapatan nasional.
Fenomena
Fenomena penurunan tarif PPh WP Badan pernah terjadi di Indonesia beberapa kali. Sebelum 2009, tarif  PPh WP Badan 30 persen, tahun 2009 menjadi 28 persen, tahun 2010 sampai saat ini 25 persen. Jika kita cermati, penurunan pajak ini akan berakibat pada menurunnya penerimaan pajak dalam jangka pendek, namun tren kenaikannya akan nampak di penerimaan jangka panjang.

Terbukti dengan realisasi penerimaan pajak pada 2008 sebesar Rp 658,7 triliun yang mengalami penurunan pada 2009 menjadi Rp 619,9 triliun, namun pada 2010 meningkat lagi menjadi Rp 723 triliun. Sedangkan tahun 2011, 2012 penerimaan pajak masing-masing Rp 873,4 triliun dan Rp 980,5 triliun, terus bergerak naik dari tahun ke tahun. Data ini membuktikan, penurunan tarif pajak menghasilkan nilai tambah bagi penerimaan negara dari sektor pajak secara jangka panjang.
Namun, untuk mengubah tarif pajak PPh WP Badan, mekanisme hukumnya akan berjalan panjang berliku dan memakan waktu cukup lama karena harus mengganti UU Pajak Penghasilan. Penyebabnya, dalam Pasal 17 UU Ayat 2 UU PPh tarif pajak hanya dapat diturunkan menjadi paling rendah 25 persen. Jadi, diperlukan payung hukum yang baru untuk dapat menurunkan tarif PPh WP Badan menjadi 20 persen.
Diharapkan dalam waktu dekat akan lahir UU Pajak Penghasilan yang baru yang di dalamnya terdapat beleid penurunan tarif pajak. Penurunan pajak ini akan memberikan stimulus yang akan memengaruhi efisiensi  biaya di perusahaan dalam negeri dan pertumbuhan iklim investasi ,  yang tentunya secara otomatis akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi makro.
(Irwan Wisanggeni ; Dosen  Trisakti School of Management)