REVITALISASI KOPERASI
Koperasi Indonesia Era 4.0
Di usianya yang ke-72 tahun, koperasi Indonesia telah mengalami perkembangan yang dinamis dalam menggerakkan perekonomian nasional. Sayangnya, perkembangan itu bersifat parsial dan tidak diarahkan secara strategis sebagai kekuatan utama dalam perekonomian nasional, terutama dalam mengurangi kemiskinan dan mewujudkan kemandirian pangan.
Padahal, cita-cita para pendiri negara, memosisikan koperasi Indonesia sebagai soko guru sistem ekonomi nasional berdasarkan Pancasila. Perjalanan bangsa Indonesia yang telah berusia 74 tahun ini menghadapi tantangan yang makin berat dan kompleks.
Tantangan terberat dan krusial Indonesia adalah kemiskinan struktural dan kesenjangan ekonomi serta ketersediaan pangan pokok. Angka rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional dalam 10 tahun terakhir berkisar 5,4 persen.
Angka ini belum mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi. Justru kesenjangan masih relatif besar ditandai rasio gini 0,41 tahun 2016 dan turun sedikit menjadi 0,393 pada 2017 (BPS, 2017), dan 0,384 tahun 2018 (BPS, 2018).
Hal yang sama terjadi dalam penguasaan lahan. Sensus Pertanian 2013 mencatat, angka rasio gini penguasaan lahan sebesar 0,64 atau termasuk kategori sangat timpang (BPS, 2013). Kondisi yang mengkhawatirkan ini berbeda dengan era 1990-an.
Bank Dunia (1990) melaporkan rasio gini Indonesia rata-rata 0,30. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan Laos (0,32), Vietnam (0,37), Kamboja (0,39), Filipina (0,45), Malaysia (0,49), Thailand (0,46), India (0,34), dan China (0,34) pada masa itu.
Artinya, pemerintahan Orde Baru mampu mengurangi kesenjangan sosial ekonomi. Di samping itu, laporan BPS (2018) juga mencatat bahwa tahun 2017-2018 indeks kedalaman kemiskinan menurun dari 1,74 tahun 2017 menjadi 1,63 tahun 2018.
Masih tingginya indeks ini menggambarkan bahwa jarak antara pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan semakin jauh sehingga makin sulit mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Hal serupa terjadi pada nilai indeks keparahan kemiskinan yang melonjak dari 0,44 tahun 2017 jadi 0,41 tahun 2018.
Jumlah penduduk miskin pun masih relatif tinggi. Tahun 2017 sebesar 27,77 juta (10,64 persen) dari total penduduk Indonesia yang mencapai 262 juta, dan hanya turun jadi 25,56 juta pada September 2018 (turun 0,46 persen). Angka ini masih relatif tinggi secara absolut dan cukup mengkhawatirkan meski pemerintah mengklaim sudah di bawah 10 persen.
Artinya, program pembangunan infrastruktur yang marak di seluruh wilayah Tanah Air belum mampu mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi di Indonesia. Kondisi kesenjangan pun diperkuat riset Oxfam dan Infid yang menyebutkan harta dari empat orang terkaya setara dengan gabungan dari harta 100 juta orang miskin di Indonesia. Artinya, rata-rata pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya dinikmati segelintir orang di Indonesia.
Credit Suisse juga melaporkan data serupa bahwa 1 persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai 45,6 persen total kekayaan pada 2012 dan meningkat menjadi 49,3 persen pada 2016. Sementara itu, kekayaan 40 persen penduduk miskin menurun dari 2,1 persen tahun 2012 menjadi 1,3 persen tahun 2016 (Kompas, 10/11/2017).
Fenomena ini mengisyaratkan adanya anomali dalam kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi. Pada tataran mikro Indonesia, tantangan yang paling berat adalah penyediaan kebutuhan dasar (basic need) rakyat Indonesia, terutama ketersediaan pangan dan energi yang setiap tahun harganya selalu naik dan mencekik.
Rentan krisis pangan dan kelaparan
Laporan Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index/GFSI) dan Indeks Kelaparan Global (Global Hunger Index/GHI) masih memosisikan Indonesia dalam kategori mengkhawatirkan. The Economist melaporkan pada 2016-2018, angka GFSI Indonesia berada di bawah empat negara ASEAN, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Jika tahun 2016 Indonesia di peringkat ke-71 (skor 50,6) dari 113 negara, tahun 2017 naik ke peringkat ke-69 (skor 51,3) dari 113 negara serta tahun 2018 di peringkat ke-65 dari 113. Meski demikian, posisi GFSI ini tetap dalam kategori mesti serius mengurusi pangannya. Jika terabaikan, ancaman kelaparan, kekurangan gizi, dan kemiskinan menghantui.
Informasi lain terkait kedaulatan pangan bersumber dari laporan International Food Policy Research Institute (IFPRI). Indeks Kelaparan Global (GHI) Indonesia tahun 2016 berada di peringkat ke-72 (skor: 21,9) dari 118 negara, sama dengan 2017 yakni di peringkat ke-72 (skor 22,0) dari 119 negara. Lalu 2018 GHI-nya berada di peringkat ke-73 (skor 21,9) dari 119 negara. Posisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kategori ancaman kelaparan serius (IFPRI, 2016, 2017, 2018).
Laporan Barilla Center for Food and Nutrition (BCFN) tentang Food Sustainability Index (FSI) tahun 2017 juga memosisikan Indonesia di peringkat ke-32 (skor 52,4), jauh dibandingkan Etiopia yang di peringkat ke-12 (skor 65,4) dari 34 negara, hanya melampaui India dan Uni Emirat Arab. Artinya, keberlanjutan penyediaan pangan di Indonesia masih kalah dibandingkan Etiopia yang dikenal sering kelaparan.
Beragam indikator mulai dari GFSI, GHI, hingga FSI mengandung makna Indonesia rentan krisis pangan dan berpotensi terancam kelaparan. Oleh karena itu, politik pembangunan pertanian di Indonesia mestinya berorientasi pada upaya mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan.
Revitalisasi peran koperasi
Di era Industri 4.0, gerakan koperasi Indonesia mestinya mendapatkan peran yang strategis untuk menyelesaikan problem kemiskinan, kesenjangan, dan ketersediaan pangan pokok rakyat. Era Industri 4.0 yang ditandai digitalisasi memudahkan hubungan antarmanusia, efisien, dan produktivitas tinggi dalam segala aspek kehidupan.
Era Industri 4.0 melahirkan budaya ekonomi berbagi (sharing) dan berkolaborasi, baik ”aset maupun akses” informasi serta sumber daya sehingga menghasilkan efisiensi kolektif.
Jika ditelisik secara sosio-antropologi, esensi budaya semacam ini sesungguhnya telah hidup dalam diri manusia Nusantara sebelum lahirnya Indonesia. Budaya ini dikenal sebagai paham kekeluargaan yang menjadi akar filosofi koperasi Indonesia.
Makanya, koperasi Indonesia memiliki pijakan ideologi yang berlainan dengan koperasi di Eropa, terutama negara-negara Skandinavia, bahkan mungkin bertentangan.
Apabila koperasi di Eropa merupakan kerja sama antara individu ataupun perusahaan sejenis yang memiliki tujuan sama, bergabung secara sukarela untuk mendirikan koperasi agar dapat bekerja lebih efisien sehingga mampu bersaing di pasar, maka koperasi Indonesia justru merupakan institusi ekonomi yang sesuai dengan hakikat manusia Indonesia (Filsafat Etnik Nusantara).
Manusia Nusantara adalah makhluk komunal sejati, homo socius sejati. Kehidupannya selalu diwujudkan dalam kelompok sebagai kesatuan yang utuh. Manusia Nusantara merasa tak memiliki arti jika tak berada dalam kesatuan kelompoknya.
Manusia Nusantara bukan individu terasing yang bebas dari segala ikatan dan semata-mata hanya ingat pada keuntungan diri sendiri sebagaimana yang digagas kaum individualis. Mereka adalah manusia yang lebih mengutamakan hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat.
Dalam kenyataannya, setiap individu manusia Nusantara akan selalu terikat dengan masyarakatnya atas dasar solidaritas dan kerja sama antarindividu dalam rangka mempertahankan diri dan memastikan pemenuhan kebutuhan hidup diri dan keluarganya.
Hal itulah yang jadi dasar institusionalisasi bentuk-bentuk kerja sama tradisional, yang oleh Ropke (2005), disebut lembaga-lembaga koperasi asli (authenthonous cooperative instutions).
Dari pijakan ideologi yang khas secara filosofis, gerakan koperasi Indonesia diwujudkan menjadi bentuk ”Demokrasi Ekonomi” sebagaimana tercantum dan diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Pada tataran implementatif di era Industri 4.0, gerakan koperasi Indonesia lebih tepat diarahkan untuk membangun koperasi perdesaan. Alasannya, pertama, kemiskinan dan pengaruh globalisasi rentan terhadap rakyat miskin yang sebagian besar hidup di perdesaan.
Gerakan pemberdayaan dari, oleh, dan untuk mereka sendiri dilandasi jiwa dan semangat gotong royong yang merupakan nilai dasar Pancasila menjadi sebuah keniscayaan.
Kedua, dalam badan usaha koperasi, keluarga miskin yang jadi anggotanya memiliki identitas ganda, yaitu sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. Identitas inilah yang membedakan koperasi dengan badan usaha lainnya sehingga koperasi memiliki fungsi pemberdayaan sekaligus perlindungan.
Fungsi pemberdayaan usaha dilakukan melalui subsidi silang dan pengambilan risiko bersama (tanggung renteng), sedangkan fungsi perlindungan melalui jaminan harga dan pasar barang/jasa kebutuhan anggota.
Kedua fungsi tersebut mesti dikelola berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan agar menghasilkan nilai tambah, baik yang berdimensi ekonomi maupun sosial. Pada gilirannya, koperasi akan bermanfaat besar bagi anggotanya dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan secara mandiri dan berkelanjutan.
Koperasi Indonesia juga mesti memiliki keunggulan daya saing dalam menghasilkan produk berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau. Terkait hal itu, koperasi mesti lebih produktif dan mengembangkan jaringan usaha yang efisien secara nasional dalam bentuk arsitektur ekonomi rakyat berbasiskan koperasi. Model ini mesti didukung teknologi digital agar tercipta budaya saling berbagi aset dan akses sumber daya ekonomi untuk menciptakan efisiensi kolektif.
Dalam arsitektur ekonomi rakyat ini, koperasi harus punya dua pilar utama, yakni jaringan kelembagaan ekonomi rakyat yang merupakan jaringan lembaga distribusi nasional dan jaringan keuangan nasional yang sehat dan kuat berbasis digital.
Idealnya, koperasi dapat membentuk dan memiliki seluruh jaringan itu lewat kemitraan setara dengan BUMN dan swasta dengan memanfaatkan teknologi informasi/digitalisasi.
Diharapkan dengan berkembangnya jaringan itu, koperasi Indonesia akan menjadi unicorn-unicorn Indonesia yang berperan utama dalam kegiatan ekonomi rakyat, khususnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Tugas kita bersama sebagai anak bangsa saat ini adalah menjadikan peringatan Hari Koperasi Ke-72 lalu sebagai momentum membangun kembali dan merevitalisasi peran koperasi Indonesia secara besar-besaran, khususnya di perdesaan, sehingga tercapai dua sasaran sekaligus: meningkatnya kesejahteraan seluruh rakyat dan kemandirian pangan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar