Taman Kanak-Kanak Kita
"ORANGTUA akan komplain Pak, kalau anak mereka tidak bisa baca-tulis dan berhitung saat lulus taman kanak-kanak." Hal ini bukan hanya satu atau dua kali disampaikan peserta pelatihan guru yang kami fasilitasi, setiap kali berdiskusi tentang sasaran dan tujuan pendidikan.
Kalau ditanya lebih jauh, alasannya utamanya ialah persyaratan umum bahwa calon murid yang bisa diterima di kelas satu sekolah dasar (SD) 'wajib' bisa baca-tulis dan berhitung (disingkat calistung). Bagi anak yang belum bisa tulis-baca, alternatif bersekolah biasanya di sekolah swasta atau di sekolah negeri yang kekurangan murid.
Alhasil, konsep 'taman' di banyak taman kanak-kanak (TK) cenderung tersisa di area bermain dan di luar waktu belajar. Kegiatan belajar yang semestinya berupa bermain, eksplorasi dan berkreasi, berubah menjadi wahana drilling supaya murid-murid bisa calistung. Dinding-dinding kelas-- yang semestinya dipenuhi media belajar variatif, warna-warni dan interaktif-- menjadi didominasi huruf, angka, dan tulisan.
Kini tantangannya bahkan bertambah lagi. Di berbagai tempat, mulai menjamur TK berbasis kegiatan 'menghafal' ayat-ayat suci (rote memorizing). Anak-anak dimesinkan menjadi seperti cakram penyimpan (hard disk) komputer atau memori telepon seluler.
Baik terkait dengan calistung maupun memorisasi, sampai saat ini saya tak menemukan dalil pedagogis ilmiah yang menunjukkan bahwa keduanya ialah cara-cara pendidikan yang baik dan benar. Sebaliknya, kedua cara ini lebih berdasar pada asumsi mekanistis kebijakan, social-comparison, dan komodifikasi agama.
Kebijakan mekanistik
Di sesi-sesi pelatihan yang kami lakukan, tentu saja ada guru-guru yang paham bahwa pemaksaan calistung dan memorisasi di tingkat TK merupakan cara pendidikan yang salah.
Kebijakan pendidikan penyelenggara negara, baik secara kurikuler maupun prosedural, tentu saja menjadi hulu sesat pikir dan praktik pemaksaan calistung dan memorisasi ayat di sekolah TK. Sebagai bukti, kita bisa mencermati bukti-bukti administratif dan apa yang dilakukan para pengawas sekolah dalam kerja-kerja supervisi dalam lingkup unit kerja yang mengurus TK dan SD (UPTD TK-SD).
Guru-guru TK, dalam posisi sebagai 'pekerja pendidikan', lalu sering kali terjebak seolah-olah berada dalam situasi tanpa pilihan. Demikian juga halnya manajemen sekolah, terutama kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi. Pada akhirnya, mereka terpaksa membuat TK yang semestinya berfungsi sebagai 'taman' menjadi sasana latihan calistung dan memorisasi. Tak sedikit yang harus melihat murid-murid mereka akhirnya bisa beristirahat dengan dirawat di rumah sakit, terutama karena sakit yang bermula dari stres.
Bagi guru-guru juga, tuntutan untuk memastikan keluaran TK bisa calistung dan menghafal ayat-ayat sebenarnya juga menjadi beban yang tak ringan. Murid TK yang berada dalam rentang usia 4-6 tahun, biasanya belum mencapai tahap readiness untuk belajar konseptual-abstrak, apalagi dalam bentuk simbol-simbol yang tidak berkorelasi langsung dengan benda atau dunia nyata di lingkungan mana mereka hidup.
Konsekuensinya, dalam pembelajaran, berbagai stimulasi dan reinforcement yang detrimental 'terpaksa' dilakukan, yang umumnya berbasis pada cara-cara pendisiplinan yang menggunakan reward and punishment. Cara-cara ini biasanya berwujud dalam peringatan, teguran, membanding-bandingkan, memuji-muji, memberi sanksi, dan tak jarang dalam bentuk intimidasi dan kekerasan fisik.
Mata rantai ketiga dari sesat pikiran dan praktik pendidikan ini berupa sikap permisif, gagal paham, dan kebanggaan semu orangtua murid. Meskipun tidak jarang ada orangtua yang arif dan kritis, dan oleh karena itu memilihkan sekolah yang betul-betul ramah anak.
Pilihan TK, kalau bukan karena dekat dari rumah, ikut teman atau tetangga, didasarkan pada ukuran murah-mahal biaya pendidikan yang harus dibayar. Di samping itu, ukuran awam lainnya termasuk bagus-jelek bangunan dan banyak-sedikit jumlah murid. Tak banyak orangtua yang betul-betul selektif memilih sekolah TK seperti dengan mencermati proses pembelajaran, berdialog dengan guru-guru, serta mengecek sanitasi sekolah dan fasilitasi fisik lainnya.
Komodifikasi agama
Khusus mengenai sesat pikir dan praktik memorisasi ayat-ayat di tingkat TK, kita harus bicara soal komodifikasi agama. Tulisan ini tidak perlu dilihat sebagai kritik antiagama atau malah dipelintir menjadi penistaan agama.
Kalau saya ialah pemilik, kepala sekolah, atau guru TK, harus jujur dikatakan bahwa ada peluang yang lebih besar untuk mendapatkan murid lebih banyak jika ada program-progran memorisasi ayat-ayat kitab suci. Apalagi, saat ini, ada semacam euforia keagamaan yang mewujud dalam berbagai bentuk perayaan simbolis dan praktik-praktik kognitif.
Dengan asumsi bahwa pendidikan ialah sains yang khusus, kita tidak bisa mengandaikan bahwa orangtua paham begitu saja secara memadai tentang konsep-konsep penting pendidikan. Di sini kemudian berlaku hukum kurva normal, bahwa yang wajar dan layak diterima ialah hal yang dipandang wajar dan penting dalam pandangan umum. Ditambah dengan insentif sentimen keagamaan, pikiran, dan sikap kritis tentu akan lebih mudah pudar dan padam.
Dalam situasi ini, adalah wajar juga kalau banyak sekolah TK, apalagi yang memang secara terus-terang berlabel agama, 'berjualan' janji-janji dan kegiatan-kegiatan keagamaan. Selain perkara pencapaian kuota, sesuai ilmu pemasaran, urusan finansial sekolah dan pengembangan fasilitas lebih mudah dikelola. Jika orientasi pemilik sekolah tidak murni pendidikan, tetapi lebih sebagai perusahan pendidikan, keuntungan yang lebih besar tentu lebih mudah didapat.
Social comparison
Hal berikut yang tak kalah menentukan terkait dengan sesat pikir dan praktik pendidikan TK kita ialah konsep-konsep yang berhulu pada social comparison. Contoh paling sederhananya ialah sistem rangking, kontes-kontes, atau perlombaan.
Dalam bentuk yang lebih halus tetapi tak kalah merusaknya ialah praktik membanding-bandingkan pribadi, sikap perilaku, dan karya murid. Khusus mengenai karya atau hasil kerja murid, sering tak disadari guru kalau karya yang sudah diberi nilai tidak boleh dipajang dan dilihat murid-murid lainnya.
Karena memang tidak bisa diterima secara psikologis, tak sedikit anak-anak yang 'mati' semangat belajar, mengalami masalah psikis, bunuh diri, atau melayu secara akademis karena praktik-praktik social comparison ini.
Bagi guru-guru atau sekolah, praktik-praktik social comparison pada umumnya merupakan jalan pintas dalam rangka mencapai target akademik, prestasi kelas, prestasi sekolah, dan seterusnya. Dalam benak mereka, membuat anak berkompetisi dalam bidang akademik maupun nonakademik dipandang sebagai metode yang memotivasi.
Sebagai alternatif, umpamanya seperti ditulis Alvie Kohn dalam No Contest: The Case Against Competition (1992), praktik-praktik pembelajaran haruslah berhulu pada kerja sama ketimbang kontes atau perlombaan, atau gotong-royong ketimbang kerja individual.
Demikian juga, terkait dengan penggunaan praktik-praktik reward and punishment, tidaklah cocok bagi pendidikan manusia sebagai 'makhluk yang berpikir'. Dalam Punished by Rewards: The Trouble with Gold Stars, Incentive Plans, A's, Praise, and Other Bribes (1993), Alvi Kohn memberi alternatif supaya sekolah dan guru-guru membaktikan diri untuk memfasilitasi pembangunan dan pengembangan motivasi intrinsik murid. Belajar adalah tindakan yang berhulu pada kebutuhan diri, keingintahuan, dan aktualisasi diri murid. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar