Senin, 22 Juli 2019

Bre Redana Bicara Baris-berbaris

Bre Redana Bicara Baris-berbaris

Oleh: BRE REDANA










Saya tak pernah suka baris-berbaris. Dulu, ayah memaksa saya untuk menjadi anggota Liga Komunis Muda. Setiap Hari Buruh bulan Mei saya ikut baris-berbaris dan di situ saya menyadari bahwa langkah saya tidak pernah pas. Pebaris di belakang saya memaki, menendang kaki saya.

Giliran menyanyikan lagu-lagu perjuangan, tak secuil pun saya tahu kata-katanya. Saya sekadar ikut-ikutan buka mulut. Ada yang diam-diam melaporkan saya. Sejak remaja saya benci baris-berbaris.
Kira-kira demikianlah ungkapan Sabina, cewek cantik, pelukis, salah satu tokoh dalam novel karya Milan Kundera The Unbearable Lightness of Being (dalam film dengan judul sama tokoh ini diperankan oleh aktris cantik Swedia, Lena Olin).
Adegan baris-berbaris itu melekat dalam ingatan saya. Saya menganggap, melalui adegan baris-berbaris Kundera telah sangat berhasil melukiskan semangat fasisme dan komunisme. Di Eropa dulu fasisme adalah setan nomor satu dan komunisme setan nomor dua.
Dengan perkembangan geopolitik internasional, kategori setan kini berubah di Eropa. Begitupun di berbagai benua lain. Terorisme masuk daftar baru. Yang saya selalu heran cuma mengapa di Indonesia fasisme tidak pernah dianggap sebagai ancaman. Sebaliknya, ciri-ciri fasis, seperti suka seragam, doktriner, militeristik, sedemikian banyak penggemarnya di sini.
Lihat apa yang diupayakan oleh Mendikbud. Masa orientasi sekolah diisi dengan baris-berbaris. Fasilitatornya kalangan militer. Disiplin hendak ditegakkan atas dasar kepatuhan, menjadi disiplin militer bukan disiplin kewajaran hidup.
Sejak lama memang sekolah di Indonesia dijadikan pintu utama untuk menanamkan pemahaman pada anak-anak mengenai supremasi militer. Dalam pelajaran sejarah, diajarkan bahwa kemerdekaan negeri ini didapat melalui perjuangan bersenjata. Sejarah perjuangan diplomatik dinomorduakan.
Partisipasi kelompok-kelompok dari negara lain (umumnya kelompok kiri) boro-boro disebut. Kalau mau tahu hal terakhir itu, tanyalah pada para peneliti sejarah.
Di Belanda saya punya sahabat bernama Joss Wibisono. Dia pembaca yang intens arsip-arsip berbahasa Belanda di negeri yang merupakan gudang pengetahuan sejarah Indonesia itu.
Kami biasa berdiskusi selepas pukul 22.00 di bar-bar di Amsterdam. Sambil minum bir dia menceritakan riwayat tokoh-tokoh sipil dari Indonesia yang memiliki peranan penting dalam dunia politik, diplomatik, intelektual, musik, dan lain-lain. Ia punya simpati mendalam terhadap individu-individu dari golongan kiri yang umumnya namanya hilang dilindas sejarah yang lebih berpihak pada kelompok kanan.
”Aku heran kamu menyukai Milan Kundera,” ucap Joss mengkritik saya, yang dia nilai teramat sering mengutip penulis asal Ceko yang kini tinggal di Paris tersebut. ”Kamu kurang memberi perhatian pada Vaclav Havel,” tambahnya. Sama-sama korban kiri, beda dengan Havel, Kundera jadi kanan banget.
Bagi yang kurang paham pembicaraan kami yang biasa ngelantur ke mana-mana, perlu sedikit saya singgung, Kundera dan Havel adalah dua nama besar dalam dunia sastra Ceko. Komunis Rusia menginvasi Ceko tahun 1968 dan tujuh tahun kemudian Kundera kabur ke Perancis, tinggal di situ sampai sekarang.
Lain dengan Vaclav Havel. Dia berjuang di negerinya, menggerakkan revolusi yang ia beri nama Velvet Revolution (diilhami nama band indie Amerika, Velvet Underground), dan kemudian menjadi Presiden Ceko (1989-1992; 1993-2003). Dia adalah penulis drama, puisi, esai, selain dramawan.
The Unbearable Lightness of Being sejatinya menunjukkan pesimisme Kundera tentang kemungkinan bangkitnya kembali Ceko (waktu itu Cekoslovakia) dari cengkeraman komunisme Rusia. Kenyataannya sejarah berkata lain. Akhir tahun 1980-an, komunisme di Eropa gulung tikar.
Setelah itu, beberapa karya Kundera berisi pergulatan para eksil dalam memandang negeri asalnya, termasuk keinginan untuk pulang atau tidak—semacam dialektika antara cinta dan benci. Lihat misalnya Ignorance.
Saya katakan pada Joss, terminologi politik seperti istilah ”golongan kanan, golongan kiri” terlalu sempit untuk mampu menggambarkan kompleksitas perasaan manusia.
Tak terkecuali sekarang ini, entah masuk golongan apa saya, tapi saya tidak suka militerisme di sekolah. Beberapa kali siswa mati pada masa orientasi. Baris-berbaris dianggap refleksi nasionalisme adalah pemikiran menggelikan tingkat internasional.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar