Nama Adolf Heuken SJ identik dengan sejarah ibu kota Jakarta yang sebelumnya bernama Batavia. Tidak berlatar belakang pendidikan sejarah, epigrafi, atau arkeologi, Pater Heuken mengukir namanya sebagai sejarawan kota Jakarta.
Ia seorang pastor anggota Serikat Jesus (SJ), berpendidikan filsafat dan teologi. Lahir di Jerman, 17 Juli 1929, seluruh proses pendidikan hingga penahbisan imamatnya di Jerman (Frankfurt) pada 31 Juli 1961.
Sesudahnya ke Indonesia bekerja di bidang penulisan dan penerbitan, mendirikan Cipta Loka Caraka (CLC) tahun 1960-an. CLC bergerak di bidang penerbitan, pelayanan pewartaan, yang kemudian dipimpinnya sebagai direktur sejak 1971 hingga wafatnya pada 25 Juli 2019 dalam usia 90 tahun. Ia dimakamkan di permakaman sesama anggota Serikat Jesuit di Girisonta, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, pada 27 Juli 2019.
Kecintaan, bahkan nyaris jadi obsesi, disertai kecemasan, salah satu representasi kecintaannya, berbuah keahlian. Adolf Heuken diakui publik sebagai ahli sejarah kota Jakarta.
Kecintaan itu dia tunjukkan dengan penelitian mendalam, lewat pustaka dan penjelajahan berbagai sudut kota, tidak sekadar melancong, tetapi selalu disertai dengan melengkapi data atau memverifikasi temuan yang diperolehnya dari buku yang dibaca.
Berkat penguasaan bahasa Inggris, Latin, Belanda, Indonesia, Perancis, dan Portugis sefasih dengan bahasa ibunya Jerman, dia bisa lebih lengkap memperoleh bahan tentang sejarah kota dibandingkan sejarawan pada umumnya. Puluhan buku yang ditulisnya tentang sejarah kota semua dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kejelian, menjadi rujukan banyak orang.
Selalu berhalaman tebal dan dicetak mewah, meskipun menurut Pater Heuken harganya relatif murah dibandingkan dengan biaya produksi. ”Kalau penerbit umumnya menghitung harga buku tiga kali ongkos produksi, harga buku-buku saya jauh di bawah hitungan itu,” katanya kepada saya pada salah satu pertemuan, satu dari puluhan pertemuan kami di kantornya.
Buku-bukunya tidak hanya sarat informasi dan data yang hampir sempurna, tetapi selalu berseri. Hampir tidak ada karya tulisnya yang hanya satu seri. ”Data dan pengetahuan itu beranak pinak, selalu merangsang saya untuk meneliti dan memverifikasi dan menuliskannya sehingga harus berseri,” katanya.
Kegiatan dan keasyikan itu terus dilakukan dari hari ke hari. Ritme kerjanya, pada usia senja (lebih dari 80 tahun) sampai masuk ke rumah sakit terakhir hingga wafatnya, berjalan sebagai berikut: setelah selesai berbagai kebiasaan pagi sebagai pastor biarawan, seperti doa pagi dan brevir, mempersembahkan misa, makan pagi, pada pukul 08.00 mulai bekerja. Duduk dan suntuk bekerja, diselingi makan siang pukul 12.00 dan pukul 14.00 istirahat.
Bekerja kembali pukul 17.00 sampai 20.00, dilanjutkan baca-baca bahan bacaan ringan sampai pukul 22.30. Jadi, dari hari ke hari, kecuali Minggu, kegiatannya selain doa, brevir, mempersembahkan misa, hampir seluruh waktunya diisi dengan membaca dan menulis. Kapan berolahraga? ”Itu saya jalan-jalan sampai sana,” kata Pater Heuken setahun lewat.
Dengan kursi roda dan tongkat di samping kursi, Pater Heuken bisa berjam-jam duduk membaca, menulis, menekuni huruf-huruf di atas halaman-halaman buku. Beberapa buku dengan halaman terbuka terserak di atas meja, bolpoin di tangan dan kertas kosong di depannya. ”Saya bisa menulis dua atau tiga judul sekaligus selesai. Kalau ada ide calon topik yang bagus akan saya teruskan, kalau ada calon yang kira-kira tidak menarik, saya tutup,” katanya, setahun lalu.
Ritme dan cara kerja dengan tulis tangan dan bolpoin ini serupa dengan Pater J Zoetmulder SJ (alm), ahli sastra Jawa kuno di Yogyakarta. Belakangan hari, selain tulis tangan, Pater Heuken sebagian menggunakan mesin ketik.
Kesamaan lain dalam kecintaan yang obsesif di bidang masing-masing. Setia tiada akhir, kecuali oleh kematian. ”Sampai menjelang sakit, Pater Heuken sedang menyelesaikan ensiklopedia orang-orang kudus jilid dua. Sudah selesai hampir 80 persen. Jilid satu sudah terbit beberapa tahun lalu,” kata Pater Heru Hendarto SJ, yang belakangan ini juga berkantor di CLC, sekaligus tempat tinggal Pater Heuken, Jalan Mohamad Yamin, Menteng, sejak 1971.
Sejarah kota Jakarta
Obsesi Pater Heuken tentang rusaknya kota-kota, terutama Jakarta, berangkat dari jati dirinya yang selalu bekerja tuntas. Baginya, sejarah kota adalah peradaban, hasil budaya kehidupan manusia bereksistensi. Menurut Pater Heuken, semakin banyak wajah kota yang sengaja dihancurkan demi pembangunan, sering hanya demi perwujudan keserakahan, berarti menghancurkan juga peradaban.
Tentang Jakarta, dia merasa prihatin. Banyak bangunan tua tidak bersisa, padahal setiap kota dirancang untuk dihidupi sepanjang masa. Kali Gresik, yang memisahkan jalan sepanjang Jalan Sutan Sjahrir dan Jalan Mohamad Yamin—kawasan Menteng, Jakarta Pusat—dulunya dirancang untuk mengamankan kawasan Menteng, tempat tinggal kaum elite. ”Sekarang tidak terpelihara, dan belum lama ini banjir karena pintu Ciliwung di Manggarai dibuka,” kata Pater Heuken, ketika Jakarta jadi lautan di tahun 2000-an.
Dia pun akan berapi-api bicara tentang kerusakan lingkungan kota Jakarta, terutama tentang dirobohkannya beberapa bangunan bersejarah atau ditelantarkan. Tidak hanya soal Kali Gresik, tetapi juga yang lain, seperti Sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta bisa dilayari kapal-kapal besar.
”Tinggal nostalgia,” katanya, sambil merendah banyak sekali tahu tentang Jakarta, tetapi kurang tahu kota-kota lain. Paling-paling Bogor dan Tangerang. ”Sudah lama saya cemas dengan masa depan pelestarian kota Jakarta,” katanya lagi, yang pada tahun 2011-2016 menjadi anggota Tim Penasihat Arsitektur Kota Jakarta.
Kecemasan tentang kota Jakarta dia tuangkan dalam buku-buku serial kota Jakarta, khususnya sejarah kota Jakarta berikut aktivitas sosial budaya masyarakatnya. Hampir semuanya ensiklopedis, lengkap, komprehensif, mendalam. Satu di antara bukunya yang monumental berjudul The Historical Sites of Jakarta, yang jadi rujukan para ilmuwan dan kekaguman banyak orang. Beberapa pejabat yang pernah memimpin Jakarta, seperti Fauzi Bowo dan Basuki Tjahaja Purnama, pernah menyatakan secara eksplisit kekaguman mereka.
Pater Heuken memahami posisi dan kondisi kota Jakarta, sebagai ibu kota negara dengan posisi ganda pusat pemerintahan dan pusat bisnis. ”Jakarta jadi tujuan banyak orang yang dengan sendirinya memiliki potensi besar kerusakan. Pindah ibu kota? Itulah kemungkinan sebagai salah satu cara menyelamatkan kota Jakarta,” kata Pater Heuken dalam sebuah perjumpaan kami tahun silam.
Ketika ditanyakan lebih jauh tentang kemungkinan pindah ibu kota, Pater Heuken saat itu mengatakan, ”Itu keputusan politis. Tugas saya cukup merasa cemas, dan mengingatkan pentingnya melestarikan sejarah kota Jakarta.”
Buku-buku monumentalnya tentang sejarah kota Jakarta, terutama tentang bangunannya, hingga kini banyak dibaca, dijadikan rujukan, dan dikoleksi banyak orang. Banyak orang mengagumi totalitas kerjanya, ditopang kemampuannya memanfaatkan banyak sumber pustaka. Hasil buku-bukunya tentang kota Jakarta tidak hanya arkeologi kota Jakarta tempo dulu, tetapi juga pesan-pesan profetis yang disampaikan, yang berangkat dari kecemasan dan kecintaan.
Cemas karena semakin tidak ada yang peduli, padahal masa lampau sebuah kota yang direkam dalam bentuk tertulis bagi Pater Heuken adalah rekaman memori tempat berpijak masa kini dan nanti. Penulis sejarah biasanya sekaligus kolektor buku. Pater Heuken menurut Pater Franz Magnis-Suseno SJ, salah satu sejawat Jesuit yang seasal dari Jerman, menyimpan koleksi buku-buku tentang sejarah kota Jakarta terlengkap, tidak ada yang lain, sebagian di antaranya dalam bahasa Portugis.
Selain dikenal sebagai sejarawan dan ahli tentang sejarah kota Jakarta kuno dengan buku-buku monumentalnya tentang sejarah kota Jakarta, Pater Adolf Heuken SJ juga dikenal sebagai penulis dan penerjemah produktif yang sangat antusias dengan sejarah Indonesia, selain Batavia.
Puluhan buku—sebagian besar berbentuk serial ensiklopedis tentang kehidupan rohani dan perkamusan—dihasilkan dari kecintaan dan obsesinya. Dedikasi dan keseriusan kerjanya niscaya menjadi warisan lain bagi generasi muda dan tidak hanya warisan fisik berupa buku-buku. Talenta yang dianugerahkan Tuhan oleh Pater Heuken dikembangkan berlipat-lipat bagi kemaslahatan banyak orang.
Pater Heuken telah menerjunkan diri sepenuhnya dalam karya pelayan lewat bidang yang digeluti selama ini. Keteladanan itu pula yang ditegaskan Pater Padmoseputra SJ dalam khotbah misa arwah konselebrasi pada 26 Juli 2019 di Kapel Kanisius, Jakarta, dan Pater Heru Hendarto SJ sebagai konselebran utama. Selamat jalan Pater Heuken.
ST Sularto ; Wartawan Kompas 1977-2017