Selasa, 16 Juli 2019

Saya (tak Lagi) Mengagumi Erdogan!

Saya (tak Lagi) Mengagumi Erdogan!

Saya termasuk pengagum Recep Tayyib Erdogan, Presiden Turki. Dulu.
REPUBLIKA.CO.ID,  Senin 15 Juli 2019 05:20 WIB
Oleh : Ikhwanul Kiram Mashuri

Saya termasuk pengagum Recep Tayyib Erdogan, Presiden Turki. Lebih dari 20 kolom tentang Turki dan Erdogan telah saya tulis. Saya menyebutnya sebagai Turki Erdogani, sebuah istilah merujuk pada masa 17 tahun kekuasaan AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) yang dipimpin Erdogan.


AKP adalah Erdogan. Sosok karismatik ini merupakan pendiri dan sekaligus pengendali partai berhaluan Islam itu. Sejak 2002 AKP selalu menang pemilu. Kemenangan tersebut kemudian mengantarkan Erdogan menjadi perdana menteri (PM) selama 12 tahun, lalu presiden sejak 2014 hingga sekarang.

Beberapa media Arab menyebut AKP dan Erdogan sebagai contoh kemenangan Islam politik (al-Islam as-siyasi), bukan hanya di Turki melainkan juga di dunia Islam. Tidak mengherankan bila banyak orang Islam yang ngefan berat terhadap Erdogan, termasuk di Indonesia. Bahkan, Turki Erdogani pun dijadikan role modelbagi mereka yang memperjuangkan Islam politik.

Keberhasilan Turki Erdogani sesungguhnya ditempuh lewat gerbang ekonomi. Bayangkan, hanya dalam tempo 10 tahun, Turki yang sebelumnya disebut sebagai negara sakit telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi ke-10 di Eropa. Langkah yang ditempuh antara lain menggenjot sektor industri dan jasa, selain tetap mengandalkan pertanian.

Di sektor pariwisata, misalnya, jumlah turis asing yang sebelumnya hanya 4 juta orang melonjak menjadi lebih dari 40 juta turis per tahun. Penghasilan per kapita yang tadinya di bawah 4.000 dolar naik menjadi di atas 12 ribu dolar per tahun.

Bersamaan dengan perbaikan ekonomi, pemerintahan Erdogan pun membenahi bidang lain. Terkait dengan peran militer yang sering mengudeta kekuasaan sipil, misalnya, ia bersiasat Turki penting menjadi anggota Masyarakat Eropa (ME) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Ia tahu syarat utama menjadi anggota di dua organisasi ini, sebuah negara harus menerapkan demokrasi. Prasyarat demokrasi adalah tidak adanya campur tangan militer dalam urusan politik. Inilah yang sukses dilakukan Erdogan. Kini peran militer sebatas pertahanan negara alias kembali ke barak.

Sementara itu, untuk memberantas korupsi, Erdogan pada awal pemerintahannya sangat keras terhadap dirinya dan partainya sebelum memberlakukannya ke pihak lain. Ia tak segan-segan menghukum orang-orang partainya apabila terlibat korupsi. Hasilnya, pemerintahan Erdogan dikenal sangat bersih. Bersamaan dengan itu ia pun memangkas birokrasi panjang warisan pemerintahan sebelumnya.

Sementara itu, terhadap suku Kurdi, pemerintahan Erdogan menempuh langkah lebih soft antara lain dengan mengakui hak-hak suku Kurdi dalam menggunakan bahasa dan budaya mereka. Hasilnya, pemimpin Kurdi, Abdullah Ocalan, yang berada di penjara pun menawarkan perundingan.

Ocalan pun memerintahkan tentaranya meletakkan senjata. Apalagi, Erdogan juga berjanji menjamin keterwakilan suku Kurdi dalam parlemen. Sebelumnya, militer Turki telah menghabiskan miliaran dolar dari pajak rakyat untuk memerangi mereka yang selalu menuntut kemerdekaan ini.

Terkait dengan busana Muslimah alias jilbab, Erdogan tampaknya sadar betul bahwa ia memerintah di negara sekuler. Menurut undang-undang Turki, busana Muslimah dilarang dikenakan di kantor-kantor dan institusi pemerintahan.

Untuk mengubah undang-undang itu, ia pun menggunakan dalih hak asasi manusia yang menjamin kebebasan berpakaian. Begitu pula ketika membatasi minuman keras. Alasan yang ia gunakan adalah melindungi anak-anak. Ia tak pernah menggunakan undang-undang syariah.

Berbagai kebijakan Erdogan itu ternyata disambut baik seluruh masyarakat Turki. Sambutan baik itu terwujud di kotak suara ketika pemilu diselenggarakan, yang selalu memenangkan AKP.

Sayangnya, berbagai keberhasilan itu tampaknya telah menjadikan Erdogan besar kepala dan terlena. Seperti terjadi di banyak negara, kekuasaan yang terlalu lama terkadang membuat seseorang lupa diri, sering kali menyebabkan seseorang menjadi otoriter bahkan korup. Hal inilah yang juga dialamatkan kepada Erdogan ketika mengincar posisi presiden setelah 12 tahun menjadi PM. Posisi itu kemudian ia peroleh pada 2014 setelah ia memenangkan pemilu presiden secara langsung.

Namun, dalam konstitusi Turki, presiden hanyalah simbolis. Peranannya hanyalah seremonial, sebuah peran yang tentu tidak diinginkan Erdogan. Tiga tahun kemudian, dalam sebuah referendum, ia pun mengegolkan perubahan konstitusi yang memberikan peran lebih besar kepada presiden sebagai kepala negara dan sekaligus kepala eksekutif. Perubahan konstitusi ini juga memungkinkan dia untuk berkuasa hingga tahun 2029.

Di sinilah kemudian muncul persoalan. Para lawan politik menuduh Erdogan sebagai ambisius, haus kekuasaan, dan otoriter. Mereka mengatakan perubahan konstitusi dari sistem parlemen menuju sistem presidensial hanyalah untuk memenuhi ambisi pribadi Erdogan agar tetap berkuasa.

Tuduhan miring itu sebenarnya sudah mulai muncul ketika Erdogan menyingkirkan tokoh-tokoh partai yang bersama-sama Erdogan membesarkan AKP, seperti halnya Abdullah Gul. Ia lalu menggantikan mereka dengan kader-kader yang lebih loyal kepadanya.

Selanjutnya ia pun menyingkirkan para pengikut Fathullah Gulen, ulama dan intelektual Muslim yang kini bermukim di AS. Erdogan menuduh Gulen sebagai otak kudeta gagal tiga tahun lalu. Ia juga menyatakan mereka—para pengikut Gulen—sebagai "negara di dalam negara", merujuk kepada lembaga-lembaga sosial dan pendidikan yang tersebar di seluruh penjuru Turki yang dikelola orang-orang Gulen. Padahal, para pengikut Gulen ini ikut berperan memenangkan AKP dalam Pemilu 2002 dan setelahnya.

Kini teman-teman seperjuangannya pun mulai meninggalkan Erdogan, yakni Abdullah Gul, Ali Babacan, dan Ahmad Daud Oglu. Ketiganya merupakan pendiri AKP bersama Erdogan. Mereka juga pernah menduduki jabatan-jabatan penting. Gul adalah mantan presiden dan PM Turki. Babacan pernah menjadi menteri ekonomi, menteri luar negeri, dan wakil PM. Sementara itu, Oglu pernah menjabat sebagai PM. Ketiganya menyatakan keluar dari AKP dan akan mendirikan partai baru.

Bersamaan dengan itu, ekonomi Turki pun terus memburuk. Salah satu penyebabnya menteri-menterinya tidak profesional. Mereka dipilih lebih karena loyalitas dan kekerabatan. Pemerintahan Erdogan juga dituduh korup.

Puncaknya tahun lalu, ketika inflasi mencapai 25 persen dan mata uang lira terjun bebas hingga 40 persen. Popularitas Erdogan pun kalah dengan kenyataan hidup. Hasil kerjanya yang hebat selama 17 tahun seolah dilupakan. Padahal, perbaikan di sektor ekonomi inilah yang membuat AKP dan Erdogan terpilih dan terpilih lagi.

Lihatlah, rakyat Turki kini sepertinya menghukum Erdogan. Dalam pilkada serentak empat bulan lalu, calon-calon AKP kalah di empat kota besar meskipun secara umum mereka masih menang. Namun, empat kota besar—Ankara, Istanbul, Izmir, dan Antalya—ini merupakan kunci, terutama Istanbul. "Siapa yang menang di Istanbul akan memenangkan Turki," kata Erdogan yang pernah terpilih menjadi Wali Kota Istanbul.

Dalam pemilihan ulang di kota ekonomi ini pun calon dari AKP tetap kalah. Pemenangnya adalah Ekrem Imamoglu, calon dari Partai Rakyat Republik (CHP) yang berhaluan sekuler. Padahal, calon yang dipasang AKP merupakan anak emas Erdogan, Binali Yildirim. Ia merupakan PM terakhir sebelum Turki berganti ke sistem presidensial.


Perkembangan Turki tentu sangat menarik untuk terus diikuti. Namun, saya tak lagi mengagumi Erdogan. Alasan utamanya karena ia ingin lebih lama berkuasa dengan segala cara, termasuk cara-cara yang otoriter sekalipun! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar