Saya (tak Lagi) Mengagumi Erdogan!
Saya termasuk pengagum
Recep Tayyib Erdogan, Presiden Turki. Dulu.
REPUBLIKA.CO.ID,
Senin 15 Juli 2019 05:20 WIB
Oleh : Ikhwanul Kiram Mashuri
Saya termasuk pengagum Recep Tayyib Erdogan, Presiden Turki.
Lebih dari 20 kolom tentang Turki dan Erdogan telah saya tulis. Saya
menyebutnya sebagai Turki Erdogani, sebuah istilah merujuk pada masa 17 tahun
kekuasaan AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) yang dipimpin Erdogan.
AKP adalah Erdogan. Sosok karismatik ini merupakan pendiri dan
sekaligus pengendali partai berhaluan Islam itu. Sejak 2002 AKP selalu menang
pemilu. Kemenangan tersebut kemudian mengantarkan Erdogan menjadi perdana
menteri (PM) selama 12 tahun, lalu presiden sejak 2014 hingga sekarang.
Beberapa media Arab menyebut AKP dan Erdogan sebagai contoh
kemenangan Islam politik (al-Islam as-siyasi), bukan hanya di Turki melainkan juga di dunia Islam. Tidak
mengherankan bila banyak orang Islam yang ngefan berat terhadap Erdogan, termasuk di
Indonesia. Bahkan, Turki Erdogani pun dijadikan role modelbagi mereka yang memperjuangkan Islam politik.
Keberhasilan Turki Erdogani sesungguhnya ditempuh lewat gerbang
ekonomi. Bayangkan, hanya dalam tempo 10 tahun, Turki yang sebelumnya disebut
sebagai negara sakit telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi ke-10 di Eropa.
Langkah yang ditempuh antara lain menggenjot sektor industri dan jasa, selain
tetap mengandalkan pertanian.
Di sektor pariwisata, misalnya, jumlah turis asing yang
sebelumnya hanya 4 juta orang melonjak menjadi lebih dari 40 juta turis per
tahun. Penghasilan per kapita yang tadinya di bawah 4.000 dolar naik menjadi di
atas 12 ribu dolar per tahun.
Bersamaan dengan perbaikan ekonomi, pemerintahan Erdogan pun
membenahi bidang lain. Terkait dengan peran militer yang sering mengudeta
kekuasaan sipil, misalnya, ia bersiasat Turki penting menjadi anggota
Masyarakat Eropa (ME) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Ia tahu syarat utama menjadi anggota di dua organisasi ini,
sebuah negara harus menerapkan demokrasi. Prasyarat demokrasi adalah tidak
adanya campur tangan militer dalam urusan politik. Inilah yang sukses dilakukan
Erdogan. Kini peran militer sebatas pertahanan negara alias kembali ke barak.
Sementara itu, untuk memberantas korupsi, Erdogan pada awal pemerintahannya
sangat keras terhadap dirinya dan partainya sebelum memberlakukannya ke pihak
lain. Ia tak segan-segan menghukum orang-orang partainya apabila terlibat
korupsi. Hasilnya, pemerintahan Erdogan dikenal sangat bersih. Bersamaan dengan
itu ia pun memangkas birokrasi panjang warisan pemerintahan sebelumnya.
Sementara itu, terhadap suku Kurdi, pemerintahan Erdogan
menempuh langkah lebih soft antara lain
dengan mengakui hak-hak suku Kurdi dalam menggunakan bahasa dan budaya mereka.
Hasilnya, pemimpin Kurdi, Abdullah Ocalan, yang berada di penjara pun
menawarkan perundingan.
Ocalan pun memerintahkan tentaranya meletakkan senjata. Apalagi,
Erdogan juga berjanji menjamin keterwakilan suku Kurdi dalam parlemen.
Sebelumnya, militer Turki telah menghabiskan miliaran dolar dari pajak rakyat
untuk memerangi mereka yang selalu menuntut kemerdekaan ini.
Terkait dengan busana Muslimah alias jilbab, Erdogan tampaknya
sadar betul bahwa ia memerintah di negara sekuler. Menurut undang-undang Turki,
busana Muslimah dilarang dikenakan di kantor-kantor dan institusi pemerintahan.
Untuk mengubah undang-undang itu, ia pun menggunakan dalih hak
asasi manusia yang menjamin kebebasan berpakaian. Begitu pula ketika membatasi
minuman keras. Alasan yang ia gunakan adalah melindungi anak-anak. Ia tak
pernah menggunakan undang-undang syariah.
Berbagai kebijakan Erdogan itu ternyata disambut baik seluruh
masyarakat Turki. Sambutan baik itu terwujud di kotak suara ketika pemilu
diselenggarakan, yang selalu memenangkan AKP.
Sayangnya, berbagai keberhasilan itu tampaknya telah menjadikan
Erdogan besar kepala dan terlena. Seperti terjadi di banyak negara, kekuasaan
yang terlalu lama terkadang membuat seseorang lupa diri, sering kali
menyebabkan seseorang menjadi otoriter bahkan korup. Hal inilah yang juga
dialamatkan kepada Erdogan ketika mengincar posisi presiden setelah 12 tahun
menjadi PM. Posisi itu kemudian ia peroleh pada 2014 setelah ia memenangkan
pemilu presiden secara langsung.
Namun, dalam konstitusi Turki, presiden hanyalah simbolis.
Peranannya hanyalah seremonial, sebuah peran yang tentu tidak diinginkan
Erdogan. Tiga tahun kemudian, dalam sebuah referendum, ia pun mengegolkan
perubahan konstitusi yang memberikan peran lebih besar kepada presiden sebagai
kepala negara dan sekaligus kepala eksekutif. Perubahan konstitusi ini juga
memungkinkan dia untuk berkuasa hingga tahun 2029.
Di sinilah kemudian muncul persoalan. Para lawan politik menuduh
Erdogan sebagai ambisius, haus kekuasaan, dan otoriter. Mereka mengatakan
perubahan konstitusi dari sistem parlemen menuju sistem presidensial hanyalah
untuk memenuhi ambisi pribadi Erdogan agar tetap berkuasa.
Tuduhan miring itu sebenarnya sudah mulai muncul ketika Erdogan
menyingkirkan tokoh-tokoh partai yang bersama-sama Erdogan membesarkan AKP,
seperti halnya Abdullah Gul. Ia lalu menggantikan mereka dengan kader-kader
yang lebih loyal kepadanya.
Selanjutnya ia pun menyingkirkan para pengikut Fathullah Gulen,
ulama dan intelektual Muslim yang kini bermukim di AS. Erdogan menuduh Gulen
sebagai otak kudeta gagal tiga tahun lalu. Ia juga menyatakan mereka—para
pengikut Gulen—sebagai "negara di dalam negara", merujuk kepada
lembaga-lembaga sosial dan pendidikan yang tersebar di seluruh penjuru Turki
yang dikelola orang-orang Gulen. Padahal, para pengikut Gulen ini ikut berperan
memenangkan AKP dalam Pemilu 2002 dan setelahnya.
Kini teman-teman seperjuangannya pun mulai meninggalkan Erdogan,
yakni Abdullah Gul, Ali Babacan, dan Ahmad Daud Oglu. Ketiganya merupakan
pendiri AKP bersama Erdogan. Mereka juga pernah menduduki jabatan-jabatan
penting. Gul adalah mantan presiden dan PM Turki. Babacan pernah menjadi
menteri ekonomi, menteri luar negeri, dan wakil PM. Sementara itu, Oglu pernah
menjabat sebagai PM. Ketiganya menyatakan keluar dari AKP dan akan mendirikan
partai baru.
Bersamaan dengan itu, ekonomi Turki pun terus memburuk. Salah
satu penyebabnya menteri-menterinya tidak profesional. Mereka dipilih lebih
karena loyalitas dan kekerabatan. Pemerintahan Erdogan juga dituduh korup.
Puncaknya tahun lalu, ketika inflasi mencapai 25 persen dan mata
uang lira terjun bebas hingga 40 persen. Popularitas Erdogan pun kalah dengan
kenyataan hidup. Hasil kerjanya yang hebat selama 17 tahun seolah dilupakan.
Padahal, perbaikan di sektor ekonomi inilah yang membuat AKP dan Erdogan
terpilih dan terpilih lagi.
Lihatlah, rakyat Turki kini sepertinya menghukum Erdogan. Dalam
pilkada serentak empat bulan lalu, calon-calon AKP kalah di empat kota besar
meskipun secara umum mereka masih menang. Namun, empat kota besar—Ankara,
Istanbul, Izmir, dan Antalya—ini merupakan kunci, terutama Istanbul.
"Siapa yang menang di Istanbul akan memenangkan Turki," kata Erdogan
yang pernah terpilih menjadi Wali Kota Istanbul.
Dalam pemilihan ulang di kota ekonomi ini pun calon dari AKP
tetap kalah. Pemenangnya adalah Ekrem Imamoglu, calon dari Partai Rakyat
Republik (CHP) yang berhaluan sekuler. Padahal, calon yang dipasang AKP
merupakan anak emas Erdogan, Binali Yildirim. Ia merupakan PM terakhir sebelum
Turki berganti ke sistem presidensial.
Perkembangan Turki tentu sangat menarik untuk terus diikuti.
Namun, saya tak lagi mengagumi Erdogan. Alasan utamanya karena ia ingin lebih
lama berkuasa dengan segala cara, termasuk cara-cara yang otoriter sekalipun!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar