Hasil survei Institute for Management Development (IMD) 2018 menempatkan daya saing pekerja Indonesia pada peringkat ke-4 di ASEAN. Hal ini tentu tidak lagi sekadar alarm, namun sudah menjadi ancaman serius. Pasalnya, integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tidak terbatas pada perdagangan bebas, namun juga merambah pasar tenaga kerja. Artinya, jika tidak segera berbenah, maka pasar kerja Indonesia dapat diserbu Singapura, Malaysia, dan Thailand. 

Penyebabnya, antara lain, pendidikan yang rendah dan ketidaksesuaian antara pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha.
Padahal, kualitas pekerja sangat menentukan produktivitas dan daya saing global. Terbukti, indeks daya saing global Indonesia dalam The Global Competitiveness Report 2018 yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (WEF) di peringkat 45. Tambahan penyebabnya adalah keterbatasan kemampuan inovasi. Indonesia ada di peringkat ke-68, terutama dalam hal penelitian dan pengembangan.
Tantangan berikutnya, suka tidak suka, Indonesia harus siap memasuki era industri 4.0. Hal ini tidak hanya membutuhkan kesiapan tenaga kerja terampil, akan tetapi juga harus adaptif dan mampu menguasai tehnologi secara masif. Persoalannya, kendati sudah ada kebijakan afirmatif anggaran pendidikan 20 persen, faktanya, hampir 60 persen tenaga kerja Indonesia berpendidikan sekolah menengah pertama (SMP) ke bawah. Jika masalah struktural ini tidak segera dicari jalan keluarnya, bisa menjadi ancaman nyata bagi produktivitas dan daya saing Indonesia. Kondisi ini sudah terlihat nyata dengan tekanan defisit neraca perdagangan yang kian besar.
Terobosan
Pemerintah mencoba melakukan terobosan dengan melibatkan dunia usaha melalui kebijakan insentif pajak jumbo (super deductible tax). Pemerintah memperluas indikator untuk memperoleh insentif pajak (deduction). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 menyebutkan, Pemerintah akan memberi insentif bagi pelaku usaha yang melakukan riset, inovasi, dan vokasi melalui pengurangan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Biaya yang dikeluarkan untuk dukungan kegiatan itu akan dikonversi dengan penurunan PKP yang dapat mengurangi Pajak Penghasilan (PPh).
Pertama, Pemerintah akan mengurangi PKP hingga 200 persen bagi pelaku usaha dan industri yang melaksanakan kegiatan vokasi, investasi di bidang pendidikan, dan pelatihan kerja. Alternatif pelatihan sangat beragam, dapat diarahkan untuk eksternal perusahaan. Misalnya, bagi calon pekerja mulai program pelatihan, pemagangan, hingga sertifikasi kompetensi. Obyek kegiatan vokasi juga bisa untuk internal, yaitu meningkatkan keterampilan, keahlian, dan kompetensi pekerja. Jika obyeknya internal, tentu harus memenuhi indikator dampak berganda terhadap perekonomian, tidak hanya untuk kepentingan internal perusahaan. Misalnya, berdampak pada peningkatan produktivitas dan daya saing sehingga terjadi peningkatan kesempatan kerja dan nilai ekspor yang signifikan.
Kedua, pengurangan PKP hingga 300 persen bagi perusahaan yang mau melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan. Industri berteknologi tinggi sangat membutuhkan pengembangan tenaga kerja ahli dan intensitas penelitian yang berbiaya mahal. Apalagi, praktiknya, transfer atau alih teknolgi sulit diharapkan dari investasi asing. Sebab, teknologi baru dan tepat guna menentukan efisiensi usaha untuk memenangi persaingan bisnis.
Ketiga, insentif investment allowance untuk industri padat karya yang memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Investor yang menanamkan modal baru atau perluasan usaha pada industri padat karya dapat diberi pengurangan PKP hingga 60 persen dari jumlah penanaman modal baru. Termasuk industri pionir yang memiliki keterkaitan luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Diskon pajak diberikan untuk mendorong dunia usaha agar berpartisipasi dalam percepatan peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia (SDM). Terutama, agar memenuhi kebutuhan industri serta mendorong riset yang menghasilkan inovasi dan penguasaan teknologi baru. Juga untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan daya saing tenaga kerja. Oleh karena itu, harus ada sinergi yang sistemik antara pemangku kepentingan. Sinergi antara Balai Latihan Kerja (BLK), Lembaga Pelatihan Keterampilan (LPK), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Politeknik dengan dunia industri maupun asosiasi profesi. Sinergi mulai dari penyusunan kurikulum dan instruktur hingga teknis penyelenggaraan pelatihan.
Namun, mesti dikalkulasi juga konsekuensi kebijakan diskon pajak ini terhadap risiko target penerimaan pajak tak tercapai. Apalagi, Pemerintah telah merelaksasi tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 20 persen. Padahal, PPh Badan masih menjadi primadona penerimaan Pajak. Disamping itu, investasi SDM memiliki jeda waktu cukup panjang. Maka, detail, kejelasan, dan transparansi aturan teknis diskon pajak ini perlu dijabarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Satu sisi harus memberi kepastian terhadap dunia usaha yang berminat memanfaatkan program ini sekaligus mendeteksi dan mencegah terjadinya niat buruk. Terutama, harus ada kalkulasi ekonomi yang komprehensif dalam mendorong produktivitas dan daya saing perekonomian. Harus ada standar baku untuk kriteria dan nilai pengurangan di masing-masing industri.
Dari sisi dunia usaha, super deductible tax merupakan insentif pajak berbasis biaya. Artinya, jika program itu mampu meningkatkan efisisensi yang berujung pada peningkatan produktiviats dan daya saing, tentu akan sangat diminati. Sebaliknya, investasi Pemerintah juga harus mampu mengkompensasi realisasi yang lebih rendah dari target, dengan meningkatkan investasi swasta. Alhasil, kendati pengeluaran pemerintah berpotensi menurun akibat penerimaan pajak yang turun, namun akan digantikan dengan peningkatan investasi swasta dalam perekonomian. ***