Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 telah usai dan Joko Widodo ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai presiden RI. Jokowi menyatakan akan membuka peluang dan mengajak semua partai politik bekerja sama (koalisi) di pemerintahannya. 

Sejauh ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Nasdem, Hanura, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dipastikan akan ada di garda depan pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, tetapi belakangan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Demokrat sebagai parpol pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menunjukkan sinyal akan merapat ke koalisi pemerintahan Jokowi.
Sementara itu, Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tak menutup kemungkinan akan merapat pula dalam satu gerbong pemerintahan Jokowi setelah bubarnya koalisi parpol pengusungnya beberapa waktu lalu. Tampaknya komposisi kabinet dan parpol di DPR akan terhipnotis dalam genggaman Jokowi.
Urgensi parpol oposisi
Dengan komposisi ini, akan nihil kekuatan oposisi di pemerintahan Jokowi 2019-2024. Fenomena ini akan membahayakan jalannya pemerintah demokratis.
Jika semua parpol memosisikan diri mendukung pemerintahan Jokowi dan tidak ada satu pun yang beroposisi, hal itu akan berdampak buruk bagi demokratisasi di Indonesia, antara lain macetnya kontrol masyarakat lewat parpol di DPR.
Kehadiran parpol oposisi menjadi penting guna menjadi kanal dan akomodasi terhadap suara kritis dari kalangan akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat. Kekuatan informal di luar struktur pemerintahan memerlukan kekuatan formal untuk terlibat dalam hidup bernegara. Peran itulah yang akan dilakoni parpol oposisi.
Ludger Helms (2004) dalam Five Ways of Institutionalizing Political Opposition: Lessons from the Advanced Democracies mengingatkan, demokrasi tanpa oposisi adalah demokrasi beku yang tak sehat karena tanpa kritik konstruktif dan tanpa program alternatif. Demokrasi modern membutuhkan saling kontrol (checks and balances) antara parpol pemerintah dan parpol oposisi.
Jika semua parpol berkoalisi dalam pemerintahan, DPR hanya akan menjadi tukang ketuk palu (rubber stamp) kehendak pemerintah. Akan berpotensi menciptakan kartel politik dan potensi praktik koruptif.
Pemerintahan Jokowi 2019-2024 berpotensi sulit dikontrol dan mudah disalahgunakan jika semua kekuatan politik silau untuk masuk ke dalamnya. Absennya parpol oposisi juga bisa menunjukkan bahwa tujuan utama elite politik Indonesia hanya memperoleh kekuasaan semata dan berpotensi tak melahirkan negarawan.
Belajarlah bagaimana sikap dan praktik demokrasi di Amerika Serikat, begitu militan dan ideologis oposisi di sana. Misalnya, pertarungan antara Partai Demokrat dan Partai Republik. Demokrat terus mengambil jarak dengan pemerintahan Trump. Ini dilakukan semata-mata untuk melakukan kontrol dan menunjukkan kebijakan alternatif pada publik.
Ajakan kerja sama (koalisi) Jokowi kepada PAN, Demokrat, PKS, dan Gerindra, parpol seterunya dalam pilpres, untuk masuk dalam kabinet akan berpotensi menafikan arti militansi, ideologi, dan platform kepartaian yang berbeda semestinya tak perlu bersekutu dan harus memelihara perseteruan dalam bentuk oposisi konstruktif.
Tidak selayaknya Jokowi mendesain kabinetnya dengan menggelar karpet merah untuk akomodasi kepada lawan politiknya saat berlaga di pilpres.
Jokowi harus menegakkan prinsip sistem presidensial murni dengan menghidupkan hak prerogatifnya untuk memilih sendiri kabinetnya tanpa perimbangan atau tekanan dari parpol lawan dalam pilpres.
Menurut Scott Mainwaring, sesungguhnya watak sistem presidensial tidak mengenal koalisi. Model koalisi hanya dikenal di dalam sistem parlementer. Sistem pemerintahan presidensial tidak akan stabil jika dikombinasikan dengan sistem multipartai ekstrem yang memaksa presiden terpilih untuk menyusun kabinet koalisi besar (oversize coalition).
Koalisi parpol rasional
Gotong royong dan persatuan dalam membangun bangsa tak harus dimaknai dengan akomodasi terhadap semua kekuatan politik untuk bersama-sama menjalankan pemerintahan. Langkah merangkul semua parpol memang akan menurunkan tensi ketegangan politik pasca-pilpres, tetapi berpotensi menurunkan wibawa Jokowi dalam kepemimpinan nasional untuk menjalankan pemerintahan efektif yang demokratis.
Selayaknya konstruksi koalisi pemerintahan Jokowi 2019-2024 bukan policy blind coalition, yaitu koalisi yang hanya untuk memaksimalkan kekuasaan (office seeking), tetapi policy based coalition, yakni koalisi berdasarkan pada preferensi tujuan kebijakan yang hendak direalisasikan.
Di titik ini diperlukan koalisi pemerintahan yang ramping dan cukup mengakomodasi parpol pengusung dalam pilpres yang lolos ambang batas 4 persen suara di DPR pada Pemilu 2019, yakni PDI-P, Golkar, PKB, PPP, dan Nasdem. Ini pilihan politik yang rasional dan cukup akomodatif. ***