Apakah jabat tangan, baku peluk, antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto, setelah berbulan-bulan perang hoaks, caci dan cerca, silat lidah; sesudah sembilan manusia mati dalam selimut kerusuhan nir-adab, sedemikian penting? 

Rekonsiliasi, dari kata Latin reconciliare, adalah tindakan membuat dua orang atau kelompok berteman kembali setelah mereka berseteru. Ihwal terpenting yang termaktub hakiki di dalam gagasan ”berdamai lagi sesudah berseteru”, adalah ”perseteruan mereka itu apa” dan ”mengapa mereka bermusuhan”.
Kedua kandungan esensial itu tidak musnah begitu saja dengan tabik dan saling dekap.
Kerusuhan sebegitu tak boleh terjadi, tetapi tatkala sudah berlangsung, dapat menggambarkan sebagian dari apa dan mengapanya pertikaian berbungkus pemilu presiden itu. Jauh lebih dalam daripada merebut jabatan pemimpin tertinggi pemerintahan adalah bagaimana elite memaknai kehidupan mereka.
Semula, Freud (terutama dalam kurun 1897 hingga 1923) mengira intisari kehidupan adalah memuaskan kendara (drive), tegangan biologik yang ketika terlampias diyakini mencipta kebahagiaan.
Namun, pengalaman kehidupan dan penelitian klinis yang terus bergulir melahirkan dan membesarkan kesadaran betapa reduksionistiknya ”teori kendara” jika dihadapkan pada kenyataan kehidupan sang manusia.
Setidaknya sejak 1960 hingga kini, para penerus dan pengkritik Freud, antara lain Winnicott (1960), Kohut (1971, 1977, 1984), Greenberg & Mitchell (1983), Bacal & Newman (1990), menolak pandangan bahwa kendara biologik adalah motivator utama dan mendasar kehidupan.
Mereka, dengan cara dan bahasa masing-masing, menegaskan wawasan baru yang lebih cocok dengan realitas hidup sang manusia, bahwa daya pendorong fundamental kehidupan insani adalah meraih keterhubungan bermakna dengan liyan.
Tumbuh kembang potensi-potensi manusia dan kebahagiaannya hanya dicapai bersama dan dalam ketaklepasan relasionalnya dengan orang-orang lain. Tiada perkembangan kehidupan dan makna yang dapat diperoleh dalam kesendirian pelampiasan kendara hayati.
Apabila relasionalitas penuh makna disadari sebagai motivator pokok dan mendasar kehidupan, tidak dapat dikecualikanlah perilaku sosial politik elite dan partai. Justru karena tembereng ini mengandung kepemimpinan berpengaruh luas dan mendalam bagi rakyat, ia perlu diresapi paradigma baru itu.
Saling serang dalam benaman kebohongan dan fitnah, kendatipun berdalih demokrasi, kebebasan berpikir, dan kemerdekaan menyampaikan pendapat, adalah sebuah wujud permukaan dari kehidupan berparadigma lapuk pelampiasan kendara.
Kebutuhan manusia untuk mengalami keterhubungan yang berarti dengan sesamanya tak pernah memberi ruang bagi penghancuran fisik dan psikis liyan dan setiap warga negara. Pamer kekuasaan dan kekuatan fisik, serta kecongkakan wicara bertabir ”intelektualitas”, tak cocok dengan perjuangan mengejawantahkan relasionalitas kaya makna.
Mencipta ketakutan bukanlah strategi yang sejalan dengan wawasan baru bahwa daya penggerak mendasar dan terpenting kehidupan adalah kebutuhan sehat buat terhubung dengan baik dengan insan-insan lain.
Rekonsiliasi sejati
Akan tetapi, mengapa wawasan usang penggancangan kendara masih begitu kuat direngkuh dan diterapkan? Karena keterbiasaan.
Bahkan pendarah-dagingan, internalisasi habitus menggancang kendara, yang menyejarah, telah berlangsung dengan memakan waktu berpuluh-puluh tahun, menjadi ”cara menjalani hidup dan hubungan”, way of being and relating, yang nirsadar, otomatis.
Paradigma pemuasan kendara pernah menjadi wawasan utama, kadang satu-satunya, di kalangan elite, begitu lama. Kematian sembilan warga di seputar tragedi 21-22 Mei 2019, yang masih diselidiki, membuktikan betapa kuatnya rengkuhan model lawas itu. Sampai sekarang pun ia masih dipraktikkan.
Lantas rekonsiliasi apa? Jika jabat tangan erat dan panjang serta peluk-memeluk tidak berarti lepasnya wawasan pelampiasan kendara dan direngkuh-eratnya paradigma relasionalitas bermakna, pertikaian menjadi penyakit menahun dan kambuhan, bisa sementara tertopengi, nanti meledak lagi.
Lalu elite ”berekonsiliasi” lagi, bersalam-salaman dan berangkulan di depan kamera, sementara rakyat senantiasa rentan terkorbankan.
Soal apa dan mengapa, yang di depan tadi, memiliki jawab dalam keterbiasaan lama yang terus mengejawantah nirsadar: memuaskan tegangan biologik dengan melepasnya dalam kekerasan verbal dan fisik: hoaks, fitnah, kekerasan.
Rekonsiliasi yang sejati niscayalah pembebasan dan pemurnian elite dari tradisi lapuk itu, menggantinya dengan kebiasaan baru memperjuangkan keterhubungan bermakna antara mereka, di antara dan di dalam serbaneka warga negara seluruhnya.
Dalam interkoneksi penuh arti itu kebebasan dan demokrasi, yang selama ini pura-pura, mendapatkan pemaknaan dan realisasi yang sungguh.
(Limas Sutanto, Psikiater)