Tidak bisa dimungkiri, usaha pemerintah membangun infrastruktur sangat masif dalam lima tahun terakhir. Indonesia membangun dari Sumatera hingga Papua. Bukan hanya di kota, namun pembangunan dirasakan hingga pulau-pulau terluar dan terpencil Indonesia, dari pelabuhan hingga bandara.
Namun, pembangunan infrastruktur akan selalu dirasa kurang. Mengapa demikian? Paling tidak ada dua alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara besar yang garis pantainya terpanjang kedua di dunia. Secara geografis, Indonesia memiliki 17.504 pulau.
Kedua, kebutuhan infrastruktur Indonesia cukup banyak untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan penduduknya yang mencapai 264 juta jiwa.
Inilah yang mendasari semangat pembangunan infrastruktur saat ini. Kita semua sama-sama ingat, pidato besar Presiden Joko Widodo saat diambil sumpahnya pada Oktober 2014. “Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk.
Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia.”
Dalam seruan pidato tersebut, Indonesia digambarkan sebagai negara maritim. Sayang seribu sayang, kesadaran kita menjadikan kapal atau armada pelayaran nasional sebagai salah satu tumpuan mendongkrak kehidupan kemaritiman nasional masih kurang.
Hidup dikelilingi lautan dan selat seharusnya menyadarkan kita bahwa armada kapal yang kuat dan lengkap adalah keutamaan dalam kehidupan sebagai bangsa maritim. Kapal sebagai alat pertahanan, kapal sebagai alat angkut orang dan logistik barang, adalah infrastruktur krusial.
Posisi pelayaran juga sangat strategis bagi ekonomi nasional, mengingat pelayaran sebagai motor penggerak dari 18 klaster bisnis lainnya. Sebut saja seperti galangan, industri komponen, asuransi, hingga SDM pelaut.
Jika pelayaran bertumbuh, seluruh roda bisnis terkait akan berkembang. Begitupun sebaliknya, bila pelayaran meredup, dipastikan sektor bisnis lainnya akan kuncup.
Atas dasar itu, pengembangan pelayaran nasional semestinya dimasukkan dalam kategori infrastruktur strategis nasional sehingga posisinya akan berdampak positif terhadap industri pelayaran dan galangan.
Dampak positif yang paling mungkin terasa terutama  dalam skema penyediaan pendanaan bagi pembangunan kapal, yang selayaknya setara dengan skema pendanaan infrastruktur sarana seperti jalan raya dan jalan tol, ataupun jalur kereta dan lainnya.
Benar. Pemerintah membangun dan mengadakan banyak kapal dengan pembiayaan dari APBN. APBN adalah hak sekaligus kewajiban istimewa. Sementara itu, bagi swasta, pembelian atau pembangunan armada kapal nasional masih diartikan sama dengan pembelian kendaraan pribadi.
Swasta tidak berharap banyak dari APBN. Namun, fasilitas pendanaan ‘menarik’ yang bisa digunakan para pelaku usaha pelayaran nasional untuk berinvestasi masih sangat minim.
Perusahaan pelayaran harus menanggung beban bunga bank yang mencapai 11-14 persen. Jauh lebih tinggi dari negara tetangga, yang hanya mengenakan beban bunga tidak lebih dari 2 persen saja.
Sementara jangka waktu pengembalian uang pinjaman yang diberikan juga relatif pendek. Tenor hanya berkisar lima tahun. Jauh dari harapan tenor pembiayaan ideal yang berkisar 15-20 tahun.
Bunga bank yang tinggi dan tenor yang pendek menyulitkan pelayaran dalam berinvestasi kapal baru, apalagi bagi pelayaran kecil di daerah. Alih-alih pelayaran nasional dapat bersaing menghadapi kapal asing, beban pelayaran membuat mereka hanya berjuang untuk dapat bertahan hidup.
Alhasil defisit neraca jasa yang banyak disumbang  transportasi laut selalu terjadi di Indonesia selama ini, karena ekspor impor masih didominasi kapal asing. Pemain domestik sulit bersaing.
Sumber pendanaan baru
Dengan menjadikan armada pelayaran nasional sebagai infrastruktur kemaritiman, maka akan membuat perbankan nasional dan lembaga pendanaan mau tak mau mulai melirik pembangunan dan pengembangan infrastruktur armada kapal dalam negeri.
Namun, ada solusi lain yang patut dipertimbangkan. Pertama, pemerintah dapat membentuk bank infrastruktur atau bank pembangunan yang khusus memberikan pembiayaan kredit yang kompetitif dengan tenor panjang.
Bank atau lembaga pembiayaan tersebut harus mampu menjadi fasilitator pembiayaan non kredit. Contohnya melalui instrumen unit penyertaan terbatas, seperti produk Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT).
Pemerintah bisa membentuk bank tersebut dari awal atau cukup menunjuk bank pelat merah yang sudah mapan (established). Indonesia sudah saatnya memiliki bank pembangunan dalam negeri sehingga pelayaran di dalam negeri tidak perlu repot-repot mencari utang di luar negeri.
Kedua, pemerintah bisa menyediakan insentif kredit khusus infrastruktur maritim yang penyalurannya fokus pada pemberian bunga rendah dan tenor panjang. Program ini serupa program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dengan program ini, pemerintah sebenarnya tidak perlu membangun bank atau lembaga pembiayaan.
Dengan langkah terukur dan rencana yang matang, bukan tidak mungkin keberadaan bank pembangunan atau lembaga pendanaan baru bagi industri pelayaran nasional dan galangan, akan mendongkrak kemampuan industri pelayaran dan perkapalan untuk bersaing di kancah internasional.
Jika langkah ini bisa diambil, industri pelayaran nasional akan lebih berdaya saing dan tentu saja akan berdampak dalam menyeimbangkan defisit neraca jasa transportasi ekspor dan impor nasional. Sehingga, Indonesia sebagai negara poros maritim bukan lagi utopia, tapi tujuan yang dapat diraih.
(Carmelita Hartoto ;  Ketua Umum INSA, Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Perhubungan)