Sejarah tak pernah berjalan lurus. Globalisasi yang ditopang teknologi tinggi telah meningkatkan konvergensi, tetapi dinamika politik justru makin divergen. Terpilihnya Boris Johnson sebagai Perdana Menteri Inggris menguatkan gelombang antiglobalisasi.
Kemajuan teknologi justru memicu paradoks melalui perseteruan tingkat tinggi antara Amerika Serikat dan China yang berimplikasi pada perdagangan, investasi, dan pertumbuhan global yang meredup. Dana Moneter Internasional (IMF) kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan global 2019 menjadi 3,2 persen dan 3,5 persen pada 2020.
Pelambatan pertumbuhan ekonomi global dimotori negara maju, sementara negara berkembang masih mempunyai ruang memacu potensi pertumbuhan. Bagi kita, saatnya berbenah secara serius.
Visi Presiden Republik Indonesia terpilih Joko Widodo sangat fokus pada masalah ekonomi; yaitu melanjutkan pembangunan infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia (SDM), mendorong investasi, reformasi birokrasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera.
Jika pidato itu dirasa kurang utuh karena tidak menyinggung aspek lingkungan, penegakan hukum, dan isu sosial lain, bukan berarti bangsa ini salah arah.
Periode lima tahun ke depan memang harus fokus pada masalah ekonomi karena momentumnya tersedia lebar, sedangkan waktunya sempit.
Persoalan paling mendasar dalam jangka pendek adalah meningkatkan resiliensi dari gejolak global. Kita masih mempunyai kelemahan penting, yaitu ketergantungan pada pihak luar yang tinggi. Sejak triwulan IV-2011, perekonomian kita mengalami defisit transaksi berjalan.
Pada 2018, defisit transaksi berjalan mencapai 31 miliar dollar AS atau 2,98 persen produk domestik bruto (PDB), sedangkan pada triwulan I-2019 defisit mencapai 6,9 miliar dollar AS atau 2,6 persen PDB. Defisit transaksi berjalan dibentuk dari defisit neraca dagang, neraca migas, dan jasa. Perlu transformasi mendasar pada tiga sektor tersebut.
Persoalan daya saing
Secara normatif, konflik AS-China menciptakan peluang, tetapi faktanya daya saing ekspor kita justru makin merosot. Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor pada Juni 2019 merosot 20,54 persen dibandingkan pada Mei 2019, dari 14,83 miliar dollar AS menjadi 11,78 miliar dollar AS. Ekspor industri pengolahan merosot 19,62 persen, padahal kontribusinya 76,57 persen dari total ekspor.
Ekspor ke pasar AS turun paling besar atau berkurang sekitar 560 juta dollar AS, sedangkan ekspor ke China turun 450 juta dollar AS dan India merosot 327 juta dollar AS. China merupakan destinasi ekspor terbesar, menguasai 15 persen pangsa ekspor, disusul AS sebesar 11 persen, dan India sebagai destinasi ekspor terbesar keempat setara 7,6 persen dari total ekspor.
Dari sisi impor, proporsi terbanyak adalah bahan baku sebesar 76,16 persen, disusul barang modal 14,93 persen dan konsumsi hanya 8,91 persen. Neraca dagang perlu diperbaiki dengan cara meningkatkan daya saing produk ekspor sekaligus membangun industri penghasil bahan baku di dalam negeri.
Industri penghasil bahan baku dalam skala besar harus menjadi perhatian dengan mengundang investasi asing.
Berdasarkan catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengutip data badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan perdagangan dan pembangunan, stok investasi langsung Indonesia hanya 22,1 persen dari PDB. Sementara Filipina 25,1 persen, Malaysia 43 persen, Thailand 45 persen, dan Vietnam 60 persen dari perekonomian mereka.
Mengundang investasi asing dalam jumlah besar memang menjadi agenda penting dalam mengakselerasi perekonomian domestik. Namun, bukan berarti melupakan investasi dalam negeri. Ada banyak sektor industri yang berhasil mengembangkan bahan baku domestik berorientasi ekspor, seperti banyak terjadi di sektor farmasi. Akan tetapi, karena skala mereka masih tergolong kecil, perannya sering dilupakan.
Daya saing industri dalam negeri harus menjadi fokus perhatian utama. Berbagai persoalan regulasi dan kelembagaan telah menggerogoti daya saing perekonomian kita.
Di bidang ketenagakerjaan, Bappenas mengutip data Global Innovation Index 2018, untuk menghentikan seorang pekerja di Indonesia, diperlukan biaya dua kali lebih besar dibandingkan dengan Turki, atau empat kali lipat daripada Brasil, dan enam kali lipat daripada Afrika Selatan.
Sementara kita cenderung membatasi peran tenaga kerja terampil asing dibandingkan dengan banyak negara lain. Di Indonesia, hanya ada 1 pekerja asing di antara 763 tenaga kerja lokal. Sementara di Malaysia 1:11, Thailand 1:19, Nigeria 1:154, dan Brasil 1:258.
Dari sisi peningkatan kapasitas pekerja, Indonesia cenderung paling sedikit dibandingkan negara lain. Hanya kurang dari 10 persen perusahaan Indonesia yang memberikan pelatihan formal. Bandingkan dengan Vietnam 20 persen, Filipina 60 persen, dan 80 persen di China.
Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 bisa difokuskan pada penurunan beban perusahaan di satu sisi dan peningkatan keterampilan karyawan di sisi lainnya. Peraturan Pemerintah No 45/2019 mengenai Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan bisa diarahkan untuk mengakselerasi peningkatan kapasitas karyawan.
Di bidang kepabeanan, kendati sudah dilakukan banyak terobosan, waktu untuk menyelesaikan dokumen ekspor masih tinggi, yaitu sekitar 4,5 hari. Bandingkan dengan Singapura yang hanya 0,5 hari, Malaysia 1,6 hari, dan Thailand 2,3 hari. Transformasi kelembagaan melalui berbagai upaya meringkas peraturan masih terus dilakukan.
Di masa mendatang, fokus pada peningkatan daya saing sangat diperlukan agar kita tak terempas dari siklus ekonomi (politik) global. Momentum tersedia lebar, tetapi perlu usaha keras untuk memanfaatkannya.
Melihat fakta ini, tak berlebihan jika tim ekonomi kabinet mendatang sebaiknya diisi profesional independen, bukan profesional yang diusung partai politik. Sebagaimana hasil survei Katadata Insight Center (KIC), sebanyak 65 persen responden yang terdiri atas investor institusi berharap tim ekonomi kabinet dari kalangan murni profesional. ***