Mengawal Agenda Kebangsaan
KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan sengketa hasil Pilpres 2019 menjadi penanda akhir pergulatan dan dinamika kompetisi politik yang berlangsung selama ini. Putusan ini menjadi dasar bagi KPU menetapkan pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024.
Tentu putusan ini tidak bisa menyenangkan semua pihak. Apalagi mengingat panasnya kontestasi politik yang sempat terjadi. Namun, realitas politik ini harus disadari bersama sebagai sejarah politik bangsa yang memang harus dilalui. Perjalanan politik lima tahun terakhir harus menjadi pelajaran esensial dalam pembangunan demokrasi Indonesia ke depan yang harusnya semakin berkualitas.
Sebagai bangsa, kita harus segera bangkit, berbenah, dan melakukan transformasi. Dari bangsa yang terpolarisasi secara politik sepanjang satu tahun terakhir bergerak menjadi sebuah kekuatan kebangsaan yang solid dan kukuh. Tujuannya tak lain ialah mewujudkan negara-bangsa yang berdaulat, maju, dan sejahtera.
Rekonsiliasi
Rekonsiliasi politik, baik dilakukan terang-terangan maupun tertutup, kedua belah pihak yang bertarung harus menjadi visi satu pintu antarpemimpin nasional demi menyamakan pandangan yang sama tentang Indonesia masa depan, khususnya era pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua nanti.
Rekonsiliasi politik, baik dilakukan terang-terangan maupun tertutup, kedua belah pihak yang bertarung harus menjadi visi satu pintu antarpemimpin nasional demi menyamakan pandangan yang sama tentang Indonesia masa depan, khususnya era pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua nanti.
Komunikasi politik yang positif antarelite yang berkompetisi di pilpres menjadi simbol bagi perbaikan langkah bangsa ini ke depan. Namun, lebih penting dari itu ialah kesadaran rekonsiliatif, kohesivitas, dan sikap dewasa pada tataran masyarakat akar rumput sebagai agenda kebangsaan yang mendesak untuk dilakukan.
Kohesivitas anak bangsa ialah fundamental. Semua bangsa yang maju mensyaratkan adanya konsolidasi dan kohesivitas politik secara internal. Pemerintah yang dipilih rakyat dalam hal ini harus diberikan kesempatan untuk menjalankan tugas-tugasnya; mengamankan kepentingan nasional, melindungi segenap Tanah Air, menghadirkan persatuan dan harmoni sosial, menyejahterakan rakyat secara berkeadilan dan memajukan kepentingan umum.
Tantangannya ialah hari ini masyarakat tidak hanya dipapar isu-isu politik yang memisahkan satu sama lain akibat pilihan-pilihan politik yang berbeda, tetapi juga sebuah kebangkitan politik berbasis identitas yang berpotensi membelah dan membuat rentan persatuan kita sebagai sebuah bangsa majemuk. Di sinilah pentingnya agar berbagai kekuatan sosial politik dilibatkan dalam pembicaraan, perencanaan, dan pengawalan agenda nasional yang komprehensif dan strategis.
Jangan hanya parpol semata, tapi juga organisasi sosial keagamaan, masyarakat sipil, perguruan tinggi, intelektual, media, komunitas anak muda kreatif, startup dan pengusaha harus didengar dan diajak turut serta.
Pendidikan politik
Politik yang tajam dan dinamis, tapi berlangsung rekonsiliatif dan harmoni, menurut hemat saya, ialah sebuah realisasi dari kualitas politik tinggi. Politik menjadi lebih berbobot, sehat, berdimensi kemanusiaan (ketimbang kekuasaan), lebih bijaksana, tidak buntu, dan berdampak positif bagi rakyat.
Politik yang tajam dan dinamis, tapi berlangsung rekonsiliatif dan harmoni, menurut hemat saya, ialah sebuah realisasi dari kualitas politik tinggi. Politik menjadi lebih berbobot, sehat, berdimensi kemanusiaan (ketimbang kekuasaan), lebih bijaksana, tidak buntu, dan berdampak positif bagi rakyat.
Dari semua upaya kehadiran politik yang rekonsiliatif ini, saya meyakini aspek pendidikan politik dan keteladanan harus dijadikan perhatian utama. Terlebih jika kita sebagai bangsa, sebagaimana yang juga menjadi fokus Presiden Jokowi periode kedua, ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia kita menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berkarakter.
Para elite beserta segenap bangunan kekuatan politiknya harus mampu menurunkan ego sektoral dan menjadikan dirinya sebagai figur dan kekuatan politik yang inklusif. Eksklusivitas politik ialah musuh utama dari strategi pembangunan dan penguatan politik demokrasi kita yang berorientasi kemajemukan, kesejahteraan, pemerataan, dan keadilan sosial.
Politik tidak hanya soal mewujudkan ambisi dan mengejar kekuasaan. Politik ialah pengabdian dan pelayanan. Perilaku politik para pemimpin, dapat menjadi budaya politik dan contoh untuk rakyat dalam menjalankan peri kehidupan dan relasi sosialnya dengan kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat yang rentan terpolarisasi akibat berbagai isu. Pancasila ialah fundamental. Namun, yang lebih krusial bagaimanakah para pemimpin bangsa melaksanakan Pancasila secara konsisten dalam praktik berbangsa dan bernegaranya secara keseharian.
Sistem dan institusi ialah utama, tapi aktor politiklah yang memastikan tujuan-tujuan institusi dapat tercapai atau malah menjauh dari cita-cita awal. Perilaku para pemimpin yang bersih, berkomitmen kebangsaan, inspiratif, dan saling menghargai akan menjadi contoh hidup di mata rakyat. Di mata para anak milenial, yang mereka dengar dan hormati ialah para pemimpin yang memberi contoh nyata dalam menjalankan kebajikan dan mewujudkan kemajuan.
Jika ini dilakukan, saya yakin Indonesia akan berada di jalan yang benar. Bahwa persatuan dan kemajuan negara-bangsa ditentukan kebesaran jiwa dan rekonsiliasi politik serta kesadaran para pemimpin dan masyarakatnya. Kesemuanya harus memiliki nilai dan makna pendidikan serta keteladanan politik yang membentuk dan mendewasakan demokrasi kita. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar