Komisi Pemilihan Umum secara resmi telah menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Sekarang saatnya menyusun langkah ke depan, menyelesaikan rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk periode kepemimpinan kedua Presiden Jokowi. 

Selama 2020-2024, Indonesia akan berada dalam periode keemasan. Rasio ketergantungan mencapai titik terendah sepanjang sejarah yang mungkin tak akan pernah terulang lagi. Hanya dalam rentang lima tahun itu, Indonesia berada di puncak periode bonus demografi, sering disebut dengan istilah ”The Window of Opportunity”.
Saat itu, setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 45 penduduk usia nonproduktif. Agar kita mampu mentransformasi bonus demografi menjadi bonus ekonomi, pembangunan mutlak harus didasarkan pada analisis situasi kependudukan. Tulisan ini mengurai tantangan dan peluang yang dihadapi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, dalam perspektif kependudukan, dikaitkan dengan pembangunan wilayah.
Jumlah dan persebaran penduduk
Berdasarkan data BPS untuk proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035, pada awal masa pemerintahan Jokowi-Kalla, jumlah penduduk Indonesia mencapai 252 juta jiwa (2014) dan diproyeksikan terus bertambah hingga 282 juta jiwa di akhir pemerintahan Jokowi-Ma’ruf (2024).
Dalam 10 tahun Jokowi mengemban amanah sebagai presiden, jumlah penduduk bertambah sekitar 30 juta jiwa, berimplikasi terhadap tambahan kebutuhan pelayanan publik.
Selama periode 2014-2024, kontribusi pertambahan penduduk paling besar disumbangkan Jawa Barat, mencapai lebih dari 6,2 juta jiwa, diikuti Banten sebanyak 2,3 juta jiwa. Kedua provinsi yang dulunya satu wilayah tersebut menyumbang hampir sepertiga pertambahan penduduk Indonesia.
Dampaknya, terjadi tekanan penduduk yang besar di wilayah Banten dan Jawa Barat sebagai penyangga ibu kota Jakarta. Tidaklah berlebihan jika Presiden Jokowi berencana memindahkan ibu kota negara ke luar Jawa.
Persebaran penduduk antarpulau relatif tidak banyak berubah. Penduduk yang tinggal di Jawa dan Bali sedikit mengalami penurunan, dari 58,57 persen menjadi 57,44 persen. Adapun Sumatera dan Kalimantan mengalami sedikit kenaikan proporsi penduduk.
Persentase penduduk di Pulau Sumatera naik dari 21,58 persen menjadi 22,05 persen. Sementara proporsi penduduk Kalimantan sedikit bertambah dari 5,97 persen menjadi 6,32 persen.
Untuk memperbaiki kesenjangan pembangun tentu dibutuhkan persebaran penduduk yang lebih merata. Dalam ekonomi regional dijelaskan kemungkinan terjadinya fenomena ”people follow firm (PFF)” atau ”firm follow people (FPP)”. Pada kasus PFF, penduduk memilih lokasi tinggal dengan mengikuti konsentrasi aktivitas ekonomi.
Asumsinya, jika kita menebar ”gula”, ”semut” akan datang menghampiri. Namun, pada fenomena FFP, justru aktivitas ekonomi yang mengikuti di mana penduduk terkonsentrasi. Investasi memilih wilayah-wilayah yang padat penduduknya. Indonesia cenderung mengalami fenomena PFF atau FFP?
Dengan mengamati persebaran penduduk Indonesia selama hampir 50 tahun terakhir, FFP lebih mendominasi. Jika kita membiarkan mekanisme pasar bekerja sendiri, aktivitas ekonomi akan terus memilih lokasi dengan konsentrasi penduduk besar.
Kesenjangan pembangunan antarwilayah semakin besar. Kebijakan pemindahan ibu kota dapat menjadi alternatif, mengurangi beban konsentrasi penduduk di wilayah Jawa bagian barat dan mendorong persebaran penduduk yang lebih merata.
Perubahan komposisi penduduk
Dari data BPS untuk proyeksi penduduk 2010-2035 basis data Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk usia anak balita (di bawah lima tahun) akan turun dari sekitar 24,0 juta jiwa (2014) menjadi 22,8 juta jiwa (2024).
Kebijakan pendidikan anak usia dini (PAUD) sebaiknya fokus pada peningkatan kualitas PAUD yang ada dan bukan sekadar penambahan PAUD baru. Jumlah penduduk usia sekolah (7-18 tahun) sedikit mengalami kenaikan dari 31,5 juta anak (2014) menjadi 32,5 juta anak (2024).
Lonjakan penduduk terjadi pada kelompok lanjut usia. Penduduk usia di atas 60 tahun (memasukkan kelompok lansia muda) akan melonjak drastis dari 20,8 juta jiwa (2014) menjadi 32,3 juta jiwa (2024). Kebijakan pembangunan Jokowi-Ma’ruf perlu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lansia.
Agar dapat mendukung lansia produktif, perlu kebijakan strategi investasi untuk pekerja lansia sehingga mengurangi ketergantungannya pada kelompok penduduk usia produktif.
Tahun 2020, hampir 57 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan, menyisakan 43 persen penduduk perdesaan. Pada 2025, diproyeksikan angkanya terus naik, 60 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan.
Ada tiga sumber pertumbuhan penduduk perkotaan, yaitu migrasi penduduk desa ke kota, tingginya pertambahan penduduk alamiah (kelahiran dikurangi kematian) di perkotaan, dan berubahnya status kawasan perdesaan menjadi perkotaan.
Namun, perlu dipahami, persentase penduduk perkotaan itu merupakan angka proyeksi yang belum memperhitungkan dampak kebijakan pembangunan desa. Selama lima tahun terakhir, pemerintah menyalurkan lebih dari Rp 257 triliun dana desa ke desa.
Belum lagi alokasi dana desa yang besarnya minimal 10 persen dari dana transfer umum pemerintah pusat ke daerah dengan akumulasi lebih dari Rp 176 triliun. Setidaknya Rp 433 triliun uang mengalir ke desa selama 2015-2019. Aktivitas ekonomi desa terus bergeliat.

Migrasi balik kota ke desa
Desa masa depan Indonesia adalah desa yang mampu menyediakan dan mendukung kualitas hidup manusia Indonesia setidaknya sama baiknya dengan kualitas hidup di kota, tanpa kehilangan ciri desa yang berbasis pertanian.
Penduduk desa masa depan harus dapat menikmati pendidikan yang sama kualitasnya dengan pendidikan di kota. Pelayanan kesehatan di desa sama baiknya dengan di kota. Peluang untuk memperoleh pekerjaan layak di desa sama dengan di kota, dan sebagainya.
Pembangunan desa dapat dikatakan berhasil, salah satunya jika terjadi penurunan laju urbanisasi. Apabila Sensus Penduduk 2020 menghasilkan persentase penduduk perkotaan kurang dari 57 persen, maka mengindikasikan keberhasilan pembangunan desa dalam menahan laju urbanisasi, lebih rendah dari yang diproyeksikan.
Beban penduduk perkotaan yang semakin besar berimplikasi terhadap penurunan daya dukung lingkungan perkotaan. Tanpa antisipasi yang memadai, kualitas hidup penduduk perkotaan akan menurun. Sebaliknya, pembangunan secara masif di desa berdampak pada peningkatan kualitas hidup penduduk perdesaan.
Dampaknya, dimungkinkan selama lima tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf ke depan, justru terjadi arus migrasi balik dari kota ke desa. Kita perlu mengantisipasi ini. Antisipasi terhadap berkurangnya ketersediaan pekerja di perkotaan.
Antisipasi meningkatnya kebutuhan pelayanan publik di perdesaan.
Infrastruktur yang dibangun dari dana desa telah berhasil membuka keterisolasian di banyak desa. Namun, desa tidak memiliki skala ekonomi yang memadai untuk bisa berkembang sendiri..
Ke depan, kita perlu mendorong pembangunan kawasan perdesaan, mencakup beberapa desa dalam satu wilayah yang memiliki tipologi sama. Pada RPJMN 2015-2019, target pembangunan kawasan perdesaan mencakup 60 kawasan perdesaan prioritas nasional (KPPN), melibatkan 689 desa.
Dibandingkan 74.954 desa yang ada, tentu 689 desa KPPN masih terlalu sedikit. Di periode kedua Jokowi, kebijakan pengembangan KPPN perlu menjangkau lebih banyak kawasan perdesaan. Tujuannya agar tercipta skala ekonomi yang lebih besar sehingga desa berkembang dalam kawasan yang lebih luas, dan mampu menampung arus balik migrasi.
Capaian pembangunan desa selama periode pertama pemerintahan Jokowi patut diapresiasi. Namun, kita harus mengantisipasi kemungkinan lonjakan kebutuhan pelayanan publik di desa. Peningkatan kebutuhan karena kesejahteraan penduduk desa meningkat dan kemungkinan arus balik migrasi kota ke desa.
Dengan antisipasi kebijakan yang tepat, desa dapat mencegah kehilangan penduduk usia produktifnya dan mampu mengembangkan potensi ekonominya secara mandiri berkelanjutan. ***