Kamis, 18 Juli 2019

Tantangan Etika dalam Praktik Demokrasi

Rabu 17 Juli 2019, 11:03 WIB

Tantangan Etika dalam Praktik Demokrasi

Inayah Putri Wulandari - detikNews

Melibatkan rakyat untuk menjadi agen perubahan serta subjek utama tata kelola sebuah bangsa merupakan hal yang lumrah utamanya bagi sebuah negara demokrasi. Sebuah tatanan yang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan meminimalisir kekuasaan absolut demi mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dianggap beberapa negara sebagai sebuah rezim terbaik.
Namun, kembali lagi, sebuah rezim terbaik juga tidak dapat menjamin keberhasilan tata kelola sebuah negara karena adanya tantangan yang berbeda setiap berkembangan zaman. Pada era sekarang, orang kerap memainkan peran ganda untuk mencapai sebuah tujuan tertentu. Penggunaan kalimat Hak Asasi Manusia ataupun berlindung di bawah payung demokrasi terkadang membuat orang bertindak sewenang-wenang tanpa memiliki batasan.
Demokrasi sebagai sebuah kebaikan bersama yang memiliki konstitusi jelas terkadang malah dijadikan sebagai kebaikan bersama yang berdiri di atas kepentingan individu. Ketika masyarakat tidak menyukai sebuah rezim kekuasaan, maka masyarakat akan cenderung menyalahkan sistem, begitu pula sebaliknya.
Demokrasi memang tidak membatasi suara ataupun kebebasan rakyat, tetapi demokrasi membatasi peran pemerintah agar tidak bertindak sewenang-wenang. Indonesia memegang prinsip demokrasi Pancasila di mana nilai-nilai Pancasila haruslah digunakan dalam praktik demokrasi, kebebasan dan aspirasi rakyat adalah hal yang paling utama namun jika kebebasan itu tidak dilandasi pada hukum yang jelas maka akan menimbulkan konflik.

Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan sehingga dalam bernegara semua elemen atau semua pihak harus patuh terhadap hukum yang berlaku. Hukum lebih dikodifikasi dan hukum memiliki kepastian lebih besar dan bersifat lebih objektif daripada moralitas. Maka kecenderungan orang adalah bertindak karena patuh terhadap hukum bukan bertindak karena sebuah etika atau moralitas.

Problematika akan muncul ketika seseorang bernegara dengan memakai hak warga negara berdasarkan hukum, tetapi lalai dan tidak melaksanakan kewajibannya untuk patuh terhadap hukum. Ketika masalah ini timbul maka yang perlu dijabarkan adalah mengenai bagaimana seseorang dapat bertindak dengan menggunakan etika. Dan juga ketika hukum belum mencakup semua hal mengenai tingkah laku manusia, maka seseorang perlu membangun kesadaran diri akan moralitas dalam ranah demokrasi.

Dalam praktiknya, etika memiliki substansi dan fondasi yang jelas guna mengatur sebuah tata kelola masyarakat secara tidak tertulis. Etika mengarah terhadap kesadaran individu dengan hati nurani sedangkan hukum adalah sebuah paksaan. Tatanan masyarakat yang baik adalah ketika orang-orang memiliki standar yang tinggi dalam menilai sebuah kualitas moral.

Demokrasi sering disalahartikan sebagai sebuah kebebasan mutlak, sehingga inilah yang akhirnya membuat orang bertindak sewenang-wenang. Tantangan baru muncul ketika etika yang menjadi garda terdepan untuk membuka jalan menuju sebuah kebaikan bersama yang hakiki menjadi terabaikan oleh kebebasan individu.

Rachels (2004) menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri yang disebut sebagai sebuah egoisme. Maka dalam berjalannya manusia menuju sesuatu yang baru akan selalu berdampingan dengan egoisme. Egoisme terkadang dapat menimbulkan konflik, karena egoisme membuat orang lain merasa dirugikan. Namun pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik, hal inilah yang perlu dijadikan sebuah pertimbangan mengapa etika seharusnya dapat mengontrol ritme demokrasi agar menjadi sebuah kebaikan bersama yang hakiki.

Demokrasi tidak membatasi peran masyarakat, namun hukumlah yang membatasi peran masyarakat dalam sistem demokrasi. Jika etika mampu membuat masyarakat mengerti tentang apa yang menjadi kewajiban dan apa yang menjadi hak dalam berdemokrasi, maka tantangan etika dalam demokrasi selesai. Namun masalahnya lebih rumit daripada itu. Sistem demokrasi di Indonesia adalah sistem demokrasi perwakilan, di mana suara rakyat diwakilkan oleh wakil masyarakat dalam kursi pemerintahan.

Ketidakcocokan aspirasi tidak jarang terjadi karena masing-masing individu maupun golongan memiliki kepentingan masing-masing. Oleh sebab itu muncullah berbagai tanggapan ataupun aspirasi masyarakat yang disuarakan, namun bertentangan dengan moralitas maupun hukum yang berlaku di Indonesia. Banyak diskusi yang memperdebatkan apakah sesuatu yang yang diperjuangkan bersifat etis ataupun tidak etis, lalu terjadi kesepakatan antarindividu yang membentuk hukum, namun kemudian hukum itu dilanggar oleh dirinya sendiri.

Etika tidak memperjuangkan sesuatu karena etika adalah sebuah penilaian terhadap sesuatu, pantas atau tidak pantas, baik atau tidak baik, etis atau tidak etis. Ketika seseorang mengabaikan etika sebagai sebuah prinsip dasar, maka seseorang itu secara otomatis melanggar sebuah kesepakatan bersama. Pelanggaran moral itulah yang membuat seseorang akhirnya berbuat sewenang-wenang dan tidak peduli lagi terhadap sebuah aturan tertulis.

Demokrasi menolak pemerintahan yang otoriter, demokrasi menuntut agar masyarakat menyuarakan aspirasinya dengan bebas. Namun seyogianya kebebasan itu tidak menjadi alasan untuk masyarakat berbuat semena-mena apalagi melanggar nilai moralitas dirinya sendiri.

Kenyataan bahwa norma dapat diberlakukan oleh semua orang menyadarkan bahwa sesungguhnya norma moral merupakan sebuah kesepakatan yang seharusnya tidak dapat dilanggar namun dapat memberi acuan serta kebebasan yang rupawan. Seseorang harus mampu untuk mengatur kehendak dalam dirinya agar tidak bertentangan dengan nilai demokrasi Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia, dorongan hati untuk berbuat baik haruslah menciptakan proses dan hasil akhir yang baik pula.

Inayah Putri Wulandari ; Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar