Upaya
Menangani Bencana Alam yang Efektif
Justin Yifu Lin dan Apuvira
Singhi, Justin
Yifu Lin, Senior vice President/Chief Economist
Apuvira Sanghi,
Senior Economist Bank Dunia, Ketua Tim penyusun laporan Natural Hazards,
Unnatural
Disasters: the Economics of Effective Prevention Bank Dunia
Sumber : KORAN TEMPO, 6 Februari 2012
Kendati
ramai berita mengenai krisis ekonomi yang melanda dunia saat ini, jika kita
kira situasinya tidak akan bertambah parah, kita diingatkan akan kenyataan yang
pahit bahwa tidak ada negara yang kebal terhadap kekuatan dan kemarahan alam. Dua
tahun lalu, pada 12 Januari, Haiti dilanda gempa bumi yang menewaskan lebih
dari 220 ribu orang dan memporak-porandakan prospek masa depan negeri itu.
Kedengarannya
memang aneh, ilmu pengobatan tradisional Cina bisa mengajarkan banyak hal
kepada kita bagaimana menangani bencana--khususnya dengan memberi perhatian
yang lebih besar pada pencegahan daripada pada penyembuhan. Begitu juga, kita
sebaiknya berfokus pada upaya mengurangi risiko bencana alam dengan upaya
pencegahan.
Menurut
laporan yang baru-baru ini dirilis Bank Dunia dan Perserikatan BangsaBangsa
dengan judul “Natural Hazards, Unnatural Disasters: The Economics of Effective
Prevention“, satu ons upaya pencegahan dengan mempersiapkan diri menghadapi
bencana sama nilainya dengan satu kilo upaya penyembuhan sesudahnya. Jadi,
mencegah itu lebih penting jika dilakukan dengan benar. Dan itu berarti adanya
pula insentif yang benar.
Insentif
pada setiap tingkatan--internasional, pemerintah, dan individu--bisa memainkan
peran yang penting untuk mencegah gejolak alam berubah menjadi bencana alam.
Sebuah laporan yang diterbitkan Tearfund, suatu badan amal bantuan dan
pembangunan yang terkemuka, memberi contoh apa yang terjadi di Mozambique. Pada
2000, Mozambique meminta bantuan sebesar US$ 3-4 juta dari negara-negara donor
dalam upayanya mempersiapkan diri menghadapi banjir yang bakal melanda negeri
itu. Ia menerima cuma sekitar separuh dari jumlah itu. Tapi, setelah banjir
benar-benar terjadi, negara-negara donor memberikan bantuan lebih dari US$ 100
juta kepada Mozambique untuk meringankan penderitaan rakyatnya dan menjanjikan
lebih dari US$ 450 juta untuk upaya pemulihan dan pembangunan kembali negeri
itu.
Bagaimana
negara-negara donor menyalurkan bantuan itu memang penting. Investasi di bidang
upaya pencegahan sering berarti belanja pembangunan dalam jangka panjang.
Negara-negara donor bisa secara khusus memperuntukkan bantuan pembangunan itu
bagi upaya yang terkait dengan pencegahan, berbeda dengan ban tuan kemanusiaan,
yang fokus utamanya adalah memberi respons dan bantuan yang segera.
Tapi
bukan tanggung jawab negara-negara donor saja agar semua itu dilakukan dengan
benar. Pemerintah memainkan peran yang krusial dalam mencegah terjadinya
bencana--terutama dengan memberi informasi yang diperlukan masyarakat guna
memahami ancaman yang bakal terjadi, memperingatkan masyarakat akan risiko yang
mereka hadapi, dan memastikan perilaku pasar dan individu-individu mencerminkan
risiko-risiko yang bakal dihadapi itu.
Ada
teknologi untuk menghasilkan informasi yang berguna itu. Tapi, sayangnya,
banyak negara tidak sepenuhnya memanfaatkan teknologi tersebut. Misalnya,
walaupun Jepang dan Indonesia menghadapi ancaman gempa bumi yang serupa, Jepang
dilengkapi dengan lebih dari 1.000 seismograf dibanding cuma sekitar 160 di
Indonesia, yang luas wilayahnya lima kali lipat.
Tapi
ada juga persoalan yang lebih mendasar mengenai perlunya informasi itu terbuka
dan mudah diakses oleh publik, sesuatu yang sering tidak demikian halnya, acap
kali dengan alasan keamanan nasional, komersial, dan kerahasiaan. Di Amerika
Serikat, misalnya, Federal Emergency Management Authority selalu memutakhirkan
peta daerah-daerah pantai yang rawan bencana alam di Teluk Meksiko, tapi ada
resistansi terhadap diadopsinya peta semacam itu karena informasi yang
dikandungnya bisa menurunkan harga properti di daerah-daerah pantai tersebut.
Soal
hargalah yang justru pada akhirnya direspons individu-individu itu, dan banyak
contoh distorsi lainnya yang menyumbang kepada terjadinya bencana di mana
insentif yang benar bisa membantu memajukan budaya pencegahan. Jika campur
tangan politik terus menekan, hal itu akan menurunkan harga asuransi sehingga
mendorong orang untuk membangun di daerah-daerah rawan bencana, dan dengan
demikian meningkatkan kerawanan daerah-daerah itu terhadap bencana.
Contoh
lainnya soal distorsi harga da tang dari Mumbai, India, di mana pengawasan
terhadap harga sewa bangunan sangat menyeluruh. Pemilik bangunan mengabaikan
perawatan bangunan selama bertahan-tahun karena tidak boleh menaikkan sewa
untuk mengembalikan modal yang mereka tanamkan. Akibatnya, banyak bangunan
ambruk di musim hujan. Seperti pengawasan terhadap harga sewa, pemilikan yang
tidak terjamin juga menurunkan insentif individu untuk melakukan investasi
jangka panjang dalam upaya pencegahan bencana ini.
Di
Peru, pengembangan lahan dikaitkan dengan kenaikan biaya renovasi bangunan
sebesar hampir 70 persen dalam waktu empat tahun. Akibatnya, pemerintah
terpaksa membiarkan pasar tanah dan rumah yang menentukan harga, tapi
melengkapinya dengan target intervensi bila perlu. Karena, ketika orang
mendapat informasi dan insentif yang benar, mereka pada umumnya akan dengan
baik mengambil keputusannya sendiri.
Pertimbangan-pertimbangan
ini semakin penting mengingat makin rawannya dunia terhadap bencana alam.
Menjelang 2050, jumlah orang yang menghadapi bencana badai dan gempa bumi di
kota-kota besar bisa meningkat lebih dari dua kali lipat sampai 1,5 miliar—dan
itu tanpa memperhitungkan perubahan iklim. Pertumbuhan kota dan perubahan iklim
telah memberi bentuk upaya pencegahan bencana di masa depan. Tapi,
memperdebatkan apakah banjir atau badai yang baru-baru ini melanda Thailand
atau badai Katrina itu adalah akibat perubahan iklim, telah mengalihkan perhatian
dari kebijakan yang dalam jangka panjang terus salah menghitung harga risiko,
menyubsidi kerawanan bencana, dan mendorong perilaku yang berbahaya.
Insentif yang benar, yang didukung
lembaga-lembaga yang kredibel dan dapat diandalkan pada semua tingkatan, bisa
memberi jaminan bahwa meningkatnya keterbukaan kita pada bencana bukan berarti
meningkatkan kerawanan. Bahaya alami itu tidak bisa dielakkan, tapi pada setiap
tingkatan kita punya kekuatan untuk menjamin bahwa bahaya alami itu tidak
menjadi bencana alam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar