SBY,
Anas, dan Problem Demokrat
Syamsuddin Haris, PROFESOR RISET LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Sumber
: KOMPAS, 27 Februari 2012
Meski Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat
Susilo Bambang Yudhoyono telah bicara terkait dugaan suap dan korupsi yang
melibatkan beberapa kader partai, status mutakhir partai segitiga biru itu
tampaknya belum berubah. Simfoni ”hening” sejenak yang muncul ternyata tak
mampu meredam gejolak internal. Mengapa?
Pada mulanya para pengurus dan kader Partai
Demokrat di pusat dan daerah agak tenang setelah akhirnya SBY bicara. Namun,
pernyataan SBY bahwa tidak ada penonaktifan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum
Dewan Pemimpin Pusat Partai Demokrat masih terus terngiang-ngiang di telinga
para pengurus dan kader. Pasalnya, jika harus menunggu proses hukum di Komisi
Pemberantasan Korupsi, yang bakal menggantung bukan hanya nasib sang ”Ketua
Besar”, melainkan juga popularitas dan elektabilitas Demokrat pada Pemilu 2014.
Apalagi, KPK tidak hanya menyidik kasus
pembangunan wisma atlet yang telah mengantarkan Muhammad Nazaruddin, mantan
Bendahara Partai Cemokrat, menjadi terdakwa dan mantan Wakil Sekretaris
Jenderal Angelina Sondakh menjadi tersangka, tetapi juga perkara dugaan korupsi
pembangunan sarana olahraga terpusat di Hambalang, Bogor.
Itu artinya, jika Anas bisa lolos dari kasus
wisma atlet, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam itu
belum tentu lolos dalam perkara Hambalang. Karena itu, meski dari luar tampak
tenang, para pengurus dan kader Demokrat sebenarnya semakin gelisah sesudah
konferensi pers SBY.
Tatkala soal status Anas masih diperdebatkan,
kegelisahan baru muncul di jeroan Demokrat terkait status Angelina Sondakh
dalam partai. Setelah dinyatakan sebagai tersangka, DPP Demokrat melalui
fraksinya di DPR merotasi keanggotaan Angie dari Komisi X (bidang pendidikan,
pariwisata, dan olahraga) ke Komisi VIII (agama, sosial, perempuan) kemudian ke
Komisi III (hukum) DPR.
Pemindahan itu ternyata menimbulkan kemarahan
SBY sehingga Puteri Indonesia 2001 itu pun dikembalikan lagi ke Komisi X.
Diakui atau tidak, tarik-menarik kursi Angie ini adalah refleksi adanya
”ketegangan” dalam relasi antara SBY selaku Ketua Dewan Pembina dan Anas
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Di atas Partai
Beberapa hasil survei publik yang
mengindikasikan merosotnya popularitas Demokrat di bawah Partai Golkar dan PDI
Perjuangan ditengarai merupakan sumber kegelisahan internal Demokrat. Penyebab
kemerosotan itu bisa jadi adalah dugaan keterlibatan sejumlah kader Demokrat
dalam perkara suap dan korupsi yang didakwakan kepada Nazaruddin.
Belakangan sejumlah kader partai di daerah
membuka adanya indikasi politik uang di balik pemilihan ketua umum dalam
Kongres Bandung. Realitas yang mencemaskan ini semestinya bisa menjadi dasar
bagi SBY untuk meminta Anas mundur atau nonaktif sementara dari kepemimpinan
Demokrat.
Namun, harapan tak bersuara dari jajaran
Demokrat itu tampaknya tak menggoyahkan SBY untuk tetap mempertahankan Anas.
Ada beberapa kemungkinan mengapa sang pendiri menolak desakan bisu pelengseran
Anas.
Pertama, secara faktual Anas terpilih secara
absah melalui Kongres Bandung (2010) dan terus merawat basis dukungannya di
sejumlah daerah. Kedua, SBY mencoba konsisten dengan posisinya selama ini untuk
tak mencampuradukkan perkara hukum dan persoalan politik sehingga apa boleh
buat, nasib Anas harus menunggu proses hukum di KPK.
Ketiga, Demokrat tampaknya
belum memiliki mekanisme internal yang memungkinkan SBY, baik sebagai Ketua
Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, maupun Ketua Dewan Kehormatan,
menonaktifkan Anas.
Di sisi lain, tak seorang pun yang berani
terang-terangan menggugat keputusan SBY. Pasalnya, SBY bukan sekadar pendiri
sekaligus Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, dan juga Ketua Majelis
Tinggi Partai, melainkan juga figur sen- tral yang berada ”di atas” partainya.
Seperti diakui para deklarator dan pengurus, SBY adalah satu-satunya sosok
pemersatu dan bahkan personifikasi partai yang diharapkan dapat menyelamatkan
Demokrat dari kebangkrutan.
Persaingan Legitimasi
Upaya pemindahan kursi Angelina jelas
bukanlah ”rotasi biasa” seperti pembelaan Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah.
Bagaimanapun fraksi politik di DPR, per definisi, adalah kepanjangan tangan
(DPP) partai. Karena itu, rotasi Angie yang akhirnya gagal tidak hanya dapat
ditafsirkan sebagai upaya Anas menyelamatkan sang ”Putri”, tetapi juga
merupakan ”perlawanan” terhadap lembaga Dewan Kehormatan yang sebelumnya telah
merekomendasikan pemecatan Angie sebagai Wakil Sekjen.
Kemarahan SBY timbul karena DPP lebih sibuk
mengurusi rotasi Angie ketimbang menindaklanjuti rekomendasi Dewan Kehormatan
untuk memberhentikan Angie dari jabatan wakil sekjen.
Persaingan legitimasi antara Ketua Dewan
Pembina dan Ketua Umum Partai Demokrat ini jelas tidak menguntungkan Demokrat
dalam upaya membangun kembali kepercayaan publik yang selama ini dijaga oleh
SBY melalui sejumlah klaim prestasi pemerintah dalam mempertahankan pertumbuhan
ekonomi relatif tinggi, menjaga stabilitas moneter, meningkatkan cadangan
devisa, dan mengurangi proporsi utang terhadap total produk domestik bruto
negara kita yang terus meningkat. Jika Demokrat terus terpenjara oleh
ketidakjelasan status hukum Anas, sementara pada saat yang sama publik telanjur
memvonisnya ”bersalah”, tak mustahil popularitas partai akan terus anjlok
hingga menjelang saat-saat persiapan Pemilu 2014.
Karena itu, satu-satunya pilihan bagi Anas
untuk menyelamatkan Demokrat adalah mengembalikan mandat kongres dengan cara
mundur sementara dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat. Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Demokrat memang belum mengatur soal ini. Namun, jika
Demokrat menyelenggarakan kongres luar biasa seperti dimungkinkan oleh Pasal
100 AD/ART, antara lain, atas permintaan Majelis Tinggi Partai, bisa jadi lebih
berisiko dibandingkan dengan jika Anas mundur sementara secara ksatria dari
posisi ketua umum.
Friksi internal partai yang saat ini relatif
tak tampak di permukaan justru bisa ”meledak” dan jadi bumerang bagi upaya
konsolidasi partai jika kongres luar biasa jadi pilihan Demokrat.
Sebagai figur sentral partai yang juga
menjabat Ketua Majelis Tinggi Partai, institusi tertinggi partai di bawah
kongres, SBY sebenarnya bisa mendesak Anas mundur sementara dari posisinya
sebelum Demokrat benar-benar bangkrut secara politik akibat skandal korupsi
wisma atlet. Hanya saja, pertanyaannya, apakah masih ada ruang komunikasi
antara SBY dan Anas, jangan-jangan kalangan internal Demokrat pun tak bisa menjawabnya.
Karena itu, pelajaran amat berharga yang bisa
dipetik dari problem internal Partai Demokrat adalah betapa sulit mengelola dan
menggunakan kekuasaan secara benar dan bertanggung jawab. Para politisi kita
bisa berkoar tentang pemerintahan yang bersih ataupun pemberantasan korupsi.
Para elite parpol juga bisa berdusta, membohongi diri sendiri, publik, ataupun
pengadilan. Mereka acapkali alpa, di luar pengadilan Tuhan, rakyat yang
terdustai sesungguhnya memiliki mekanisme ”peradilan” sendiri yang bisa lebih
menyakitkan dibandingkan dengan lembaga peradilan formal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar