Dampak
Putusan MK
Irsyad Dhahri S Suhaeb, DOSEN HUKUM UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
Sumber
: REPUBLIKA, 25 Februari 2012
Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) pekan lalu menyangkut Pasal 43 (1) UU No 1/1974
tentang Perkawinan yang memberikan pengakuan hubungan antara anak di luar nikah
dan ayah biologisnya sempat menimbulkan polemik. Sebab, putusan itu
mengindikasikan anak yang lahir di luar nikah bukan lagi anak haram sesuai
aturan hukum Islam positif di Indonesia.
Orientasi Masa Depan
Harus
diakui bahwa putusan MK di atas adalah terobosan baru. Selain itu, putusan ini
cenderung akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana pada masa mendatang,
sebab putusan ini akan memengaruhi ketentuan-ketentuan hukum lain yang terdapat
pada sistem hukum nasional, seperti UU perkawinan, warisan, perwalian, atau
hubungan perdata lainnya dalam hukum keluarga.
Harus
disadari bahwa putusan ini telah membuka peluang timbulnya per masalahan sosial
lain dalam ketentuan undang-undang nasional, khususnya UU Perkawinan. Sebab,
dengan putusan ini, minat masyarakat untuk melangsungkan seremoni formal
pernikahan sesuai UU perkawinan akan berkurang, sebab tanpa pernikahan resmi
pun, status anak yang akan lahir dari suatu hubungan laki-wanita akan diakui
oleh negara.
Dengan
kata lain, kebiasaan yang selama ini berlaku dalam masyarakat bahwa salah satu
tujuan untuk melakukan ikatan pernikahan karena adanya keinginan agar anak yang
akan lahir dari hubungan seorang lelaki dan seorang wanita, baik melaui
pernikahan ataupun tidak, tidak akan mendapatkan kesulitan untuk diakui hak
keperdataannya dengan ayah ibunya secara hukum, tidak perlu lagi dilakukan.
Dalam
aspek hukum agama, putusan MK terhadap UU No 1/1974 ini akan berdampak luas
dalam rangka kelanjutan pelaksanaan syiar Islam. Sebagaimana diketahui bahwa
salah satu dasar pembentukan UU Perkawinan selain sebagai lembaga sosial adalah
agar berfungsi sebagai lembaga agama.
Ini
berarti melalui UU perkawinan, ajaran Islam yang mayoritas dipeluk oleh penduduk
Indonesia dapat diterapkan secara lengkap. Salah satu contoh ajaran Islam yang
melarang seorang wanita untuk mempunyai lebih dari seorang suami, bertujuan
untuk menghindari kebingungan dan kesalahan dalam mengidentifikasi siapa ayah
dari anak yang akan lahir dari rahim ibunya, diaplikasikan dalam Pasal 3 UU
Perkawinan. Sebagai konsekuensinya, anak yang lahir di luar pernikahan dianggap
tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya sebab hubungan ayah ibunya
dianggap tidak pernah ada.
Dengan
putusan MK tersebut, anak yang lahir di luar penikahan, secara hukum nasional
tidak akan dianggap haram lagi oleh agama Islam, agama yang masih diharapkan
untuk diterap kan nilai-nilainya oleh masyarakat pada institusi perkawinan.
Selanjutnya,
putusan MK yang membatalkan Pasal 43 UU ini akan berdampak pula pada Pasal 3
yang menyatakan bahwa seorang wanita hanya boleh menikah dengan seorang pria,
sebab berapa pun pria yang berhubungan dengan seorang wanita, tidak akan
mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi siapa nantinya ayah biologisnya
melalui pembuktian ilmu pengetahuan. Gambaran konflik ini, yakni dengan adanya
putusan MK itu tidak mustahil akan menimbulkan kegaduhan hukum dan politik,
bila diarahkan pada diskursus pemilihan antara ketaatan masyarakat pada hukum
nasional atau hukum agama.
Keadilan Restoratif
Terlepas
dari penilaian aspek hukum nasional dan agama di atas, putusan MK ini secara
kemanusiaan dan hak asasi manusia menjadi acuan yang signifikan bagi
terciptanya konsep sistem yang bertujuan keadilan restoratif. Keadilan ini
berupaya mengembalikan situasi dan kondisi korban yang telah dirusak oleh
adanya serangan atau aturan hukum yang dianggap dan telah merugikan seseorang
serta mengganggu perlindungan hak asasi manusianya.
Menurut
J Braithwaite (2009) “human rights must
be protected by restorative justice processes”, perlindungan hak asasi
sebaiknya dilakukan dengan berorientasi pada keadilan retoratif ini. Dengan
adanya pengakuan hak anak yag berhubungan dengan ayah biologisnya maka salah
satu hak asasi manusia anak telah dipulihkan sesuai konsep keadilan restoratif.
Ini berarti pula bahwa seorang anak yang lahir sebagai akibat interaksi seorang
wanita dan seorang lelaki, untuk mendapatkan pengakuan secara lengkap dari ibu
dan ayahnya meski interaksi mereka tersebut tidak melalui pernikahan.
Sebagai penutup, tentu masih banyak
pertanyaan lain yang harus dijawab dari implikasi putusan MK ini, termasuk
apakah dengan memberikan pengakuan hak anak-ayah biologis pada seorang anak
yang lahir di luar nikah masih bernilai manusiawi bila mana justru pengetahuan
ini akan berkibat buruk pada masa depan anak itu sendiri. Ini terlihat ketika
ia mengetahui bahwa ayah biologis yang sebenarnya dimilikinya adalah seorang
narapidana, atau mereka yang terbukti mempunyai perilaku negatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar