Oh,
Yunani…
Jaya Suprana, BUDAYAWAN
Sumber
: KOMPAS, 25 Februari 2012
Sebenarnya tujuan utama menelusuri Kepulauan
Siklada, Kreta, Rhodos, Itaka, Peloponesa, Sterea Elada, Thesalia, sampai
Meteora pada awal 2012 adalah tapak tilas perjalanan sejarah kebudayaan Yunani,
mulai dari neolitikum sampai bizantium.
Namun, kemelut yang di masa kini sedang
terjadi di negara kelahiran demokrasi itu ternyata tak kalah menarik
dipelajari.
Sejak akhir 2009 mendadak ekonomi Yunani
menghadapi kemelut krisis paling parah sejak restorasi demokrasi 1974.
Pemerintah Yunani kalang kabut merevisi prediksi defisit 3,7 persen menjadi
12,7 persen dari GDP. Terbongkar rahasia: sebelumnya Pemerintah Yunani sengaja
berdusta dengan konsisten merekayasa statistik ekonomi nasional agar tetap di
dalam ambang batasan monetary union guidelines demi menyembunyikan fakta aktual
defisit dari audit Uni Eropa.
Mei 2010, sekali lagi defisit direvisi dengan
prediksi 13,6 persen GDP, bahkan disertai data total public debt 120 persen
GDP, yang berarti sudah termasuk rekor terburuk di dunia. Kepercayaan internasional
terhadap kemampuan Yunani melunaskan utang luar negeri merosot, maka negara
anggota Euro yang kaya raya bersama IMF merestui paket penyelamatan dengan
suntikan dana 110 miliar euro. Tentu disertai syarat-syarat pengencangan ikat
pinggang ekonomi yang diawasi dan dikendalikan oleh European Commission,
European Central Bank, dan IMF.
Demokrasi
Permainan angka statistik sangat mudah
direkayasa sesuai selera dan kepentingan pembuat atau pemanfaatnya. Maka, saya
berusaha menimba informasi bukan dari para ekonom—apalagi politisi—melainkan
langsung mendengar suara rakyat, seperti para pengemudi taksi, concierge hotel,
pelayan rumah makan, dan pemandu wisata yang belum terkontaminasi kepentingan
politis.
Umumnya mereka sepakat: krisis ekonomi Yunani
sangat memprihatinkan. Bahkan, memalukan rakyat Yunani yang begitu bangga
terhadap bangsa dan negara mereka yang memang layak dibanggakan karena telah
melahirkan karsa-karya kebudayaan adiluhung, mulai dari seni rupa, teater,
arsitektur, sains, filsafat, sampai demokrasi. Namun, ternyata kini melahirkan
kaum politisi yang pendusta, pengingkar janji, serakah, dan korup!
Mengenaskan! Citra demokrasi Yunani masa kini
dicoreng-moreng kaum politisi sedemikian korup sehingga berhasil membangkrutkan
negara!
Kaum politisi yang mengaku penjunjung tinggi
paham demokrasi ternyata jauh lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang
negara, bangsa, dan rakyat. Sampai ada yang tega menilai kondisi Yunani tempo
doeloe di masa monarki, bahkan saat dijajah imperium Ottoman masih lebih baik
ketimbang di alam demokrasi masa kini.
Mereka tidak bicara jargon-jargon
politik-ekonomi yang di luar jangkauan pemahaman awam, tetapi langsung menuding
sikap, perilaku, dan akhlak kaum politisi sebagai biang keladi malapetaka
nasional Yunani! Janji-janji menggiurkan para politisi yang diobral habis di
masa kampanye pemilu segera dilupakan, bahkan diingkari, setelah rakyat memilih
mereka untuk bertakhta di singgasana penguasa.
Berlindung di balik kedok demokrasi, para
politisi konsisten dan konsekuen mengeruk uang negara untuk kepentingan pribadi
dengan semangat mumpungisme luar biasa menggelora. Masa jabatan tidak dianggap
batasan masa untuk tulus berjuang demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat,
tetapi justru sebagai batasan masa untuk dimanfaatkan secepat dan sebanyak
mungkin memindah uang dari kas negara ke kocek pribadi.
Korupsi ditempuh melalui berbagai jalur dan
jurus, mulai dari yang terang-terangan (maka mudah ketahuan) sampai jurus
bersolek akuntantif sehingga sulit dideteksi oleh mereka yang bukan ahli
akuntan. Semua seolah sepaham dalam persepsi bahwa korupsi bukan kriminal
selama tidak ketahuan. Maka, para politisi itu asyik bersaing adu ketangkasan
melakukan korupsi mumpung belum ketahuan.
Pilar-pilar demokrasi di Yunani masa kini
sudah runtuh menjadi puing-puing; berserakan seperti reruntuhan di akropolis
Athena, Rhodos, Lindos dari masa lalu itu.
Prihatin
Ratapan rakyat jelata Yunani yang saya dengar
selama hanya beberapa hari di awal 2012 itu membuat saya prihatin atas nasib
Yunani. Di samping itu, saya pun semakin yakin: pada hakikatnya yang terpenting
bagi suatu negara-bangsa sebenarnya bukan sistem kepemerintahan, melainkan
sikap, perilaku, dan akhlak para insan kepemerintahan.
Sekembali di Tanah Air, saya tersadar bahwa meski
berdasarkan data statistik resmi kondisi ekonomi kita terkesan masih jauh lebih
baik ketimbang Yunani, pada hakikatnya perangai dan sepak terjang politisi di
masa reformasi yang berhasil meruntuhkan rezim Orba di bumi Indonesia ini
terkesan mirip alias tak jauh beda dari apa yang sedang meradang di Yunani. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar