Menempuh
Jalan Tuhan
Saiful Amin Sholihin Al-Ishaqi, PENGASUH GD MAMBAUL HIKMAH,
KOTA MOJOKERTO, JAWA TIMUR
Sumber
: KOMPAS, 28 Februari 2012
Islam, sebagaimana agama lain, merupakan
agama dakwah; agama yang mengajak ke jalan Allah SWT, jalan Tuhan.
Namun, dakwah Islam harus dilakukan dengan
bijak, penuh hikmah, dengan pelajaran (al-mau’idlah) dan contoh (al-uswah)
baik. Seruan berdakwah itu tak harus dilakukan setiap orang. Cukup sebagian orang
saja.
Ajakan menuju jalan Allah merupakan nilai
sangat luhur. Suatu ajakan untuk beribadah kepada Allah serta menginternalisasi
dan mengaktualisasi nilai-nilai Ilahiah. Setelah shalat, manusia diharap bisa
ikhlas, sabar, serta berbuat baik kepada manusia dan makhluk lain, tanpa
membedakan identitas.
”Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik. Dan, bantahlah mereka dengan cara yang baik pula.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih tahu tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih tahu tentang orang-orang yang mendapat
petunjuk” (Surat An-Nahl, 16: 125).
Bagi anak-anak di pesantren, ayat ini
terkategori muta’addi; kata kerja (fi’il) yang membutuhkan obyek (maf’ul).
Namun, dalam ayat itu tak disebutkan siapa yang harus diajak ke jalan Allah.
Sebagian ulama ahli tafsir menambahkan ”manusia” sebagai obyek dalam Surat 16:
125 tadi. Seruan ini untuk Nabi Muhammad SAW, tetapi berlaku bagi para pengikut
Nabi.
Begitu pula obyek ayat tersebut. Meski tak
disebutkan, ditafsirkan secara umum, yaitu manusia. Lalu, manusia seperti apa
yang diajak menuju jalan Allah? Tentu saja manusia yang belum mengenal atau
belum menempuh jalan Allah. Bukan manusia yang sudah mengenal, apalagi yang
sudah menempuh jalan Allah.
Dengan demikian, ada pertanyaan: apakah
ceramah agama yang digelar di forum-forum formal terkategori dakwah dalam Surat
16: 125 tadi atau bukan? Sebab, yang hadir dalam forum itu sudah mengenal jalan
Allah. Bahkan, ada yang sudah menempuh jalan Allah. Jika demikian, kenapa harus
diajak menempuh jalan Allah lagi?
Dalam hal ini, penulis berpendapat,
pengajian-pengajian di masjid, langgar, pengajian akbar, apalagi di TV, bukan
termasuk dakwah dalam kategori Surat 16: 125 itu. Pengajian itu terkategori
pembelajaran ilmu keagamaan (al-ta’lim), bukan dakwah (al-da’wah). Dalam Islam,
pembelajaran ilmu agama berkedudukan tinggi dan sangat mulia.
Ironisnya, banyak penceramah tidak
proporsional: semestinya memberi pelajaran dan pengetahuan agama, tetapi materi
ceramah malah materi dakwah. Mengajak orang miskin bersabar, tetapi si
penceramah kaya raya. Mengajak sederhana, tetapi ia hidup mewah. Ironis lagi,
bukan ilmu agama atau dakwah yang disampaikan, tetapi lelucon berbungkus agama.
Efektivitas penyisipan lelucon bisa
diperdebatkan. Ada yang setuju, ada yang menolak. Penulis termasuk yang setuju
sebagai metode pembelajaran dan ceramah. Namun, lebih banyak lelucon juga naif.
Sebab, pendengar lebih teringat lelucon, bukan inti ilmu agama dari si
penceramah.
Fanatisme
Buta
Ada pula ceramah yang tidak disisipi lelucon,
tetapi dipenuhi provokasi berbalut dalil agama sehingga para pendengar membenci
kelompok lain. Hasilnya bukan pencerahan keagamaan, melainkan sikap fanatisme
buta suatu kelompok terhadap kelompok lain. Selalu merasa benar dengan
menyalahkan kelompok lain. Padahal, menjadi benar tak harus menyalahkan yang
lain.
Dakwah juga bisa berbentuk nonceramah, yaitu
dengan tindakan. Organisasi keagamaan semisal NU, Muhammadiyah, Persis, dan
Al-Irsyad juga memiliki agenda dakwah Islam. Mendirikan lembaga perekonomian,
pendidikan, rumah sakit, mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi melawan
koruptor, menolak terorisme, termasuk bagian dari dakwah Islam. Saat ini,
hal-hal itu semestinya menjadi prioritas dakwah.
Ajakan ke jalan Allah juga harus dengan cara
bijak, penuh hikmah, serta dengan pelajaran dan contoh yang baik. Tak
seharusnya mengajak orang menuju jalan Allah, tetapi yang dilakukan cara-cara
tidak benar. Semisal menyerang, mengusir, melukai, dan bahkan membunuh mereka
yang hendak diajak ke jalan Allah.
Dalam konteks ini, para pegiat ormas yang
terkadang kerap memakai cara kekerasan harus mereformulasi pola dakwah. Sebab,
dakwah dengan model seperti itu terbukti ditolak masyarakat. Tak hanya
masyarakat non-Muslim, umat Islam juga menolak. Semisal yang terjadi di Jombang
dan Kediri, Jawa Timur, serta Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Dari perspektif ini pula tuntutan pembubaran
FPI harus dilihat. Bagi penulis, tuntutan pembubaran FPI dan ormas sejenis
sebangun dengan yang dilakukan FPI dan ormas sejenis tadi. Jika tetap memilih
cara-cara anarkistis, semakin kuat pula penolakan itu. Jika santun, menghargai
keragaman Indonesia, tentu akan disambut masyarakat. Alhasil, akhiri kekerasan
di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar