Disagregasi
Kebijakan Ekonomi Pangan
Bustanul Arifin, GURU BESAR ILMU EKONOMI
PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG;
EKONOM SENIOR INDEF
Sumber
: KOMPAS, 27 Februari 2012
Memasuki babak akhir bulan Februari, diskusi
publik pelan-pelan bergeser pada anjloknya harga gabah petani. Sebelumnya,
diskusi lebih pada melonjaknya harga pangan, terutama beras sebagai kontributor
penting laju inflasi nasional.
Kecenderungan pergeseran diskusi ini akan
berlangsung sampai musim panen raya April-Mei karena musim hujan diperkirakan
akan lebih panjang.
Pemerintah sedang mempersiapkan kebijakan
harga pembelian pemerintah (HPP) untuk beras dan gabah yang baru sebagai
perbaikan dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009 soal Kebijakan Perberasan.
HPP untuk gabah kering panen diusulkan Rp 3.400 per kilogram dan HPP beras Rp
6.600 per kilogram dengan persyaratan teknis yang relatif tidak terlalu
berbeda.
Pada 2011, pemerintah urung merevisi angka
HPP beras dan gabah walaupun telah dibahas maraton yang melibatkan akademisi,
organisasi petani, dan masyarakat madani. Pertimbangan pemerintah adalah karena
khawatir dampak inflatoir yang lebih buruk jika harga gabah dan beras
dinaikkan. Menariknya, laju inflasi kumulatif tahun 2011 ternyata di bawah 4
persen. Laju inflasi kelompok makanan cukup rendah, yaitu 3,64 persen untuk
bahan makanan dan 4,51 persen untuk makanan jadi.
Dari sanalah, diskusi di tingkat akademik
soal kebijakan pangan cukup krusial terhadap pandangan yang menghendaki harga
pangan rendah dan yang mengadvokasi harga pangan tinggi. Perbedaan pandangan
dan kepentingan merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Namun, jika perbedaan pandangan itu sampai
menimbulkan perpecahan dan permusuhan, tentulah merupakan kewajiban negara
menemukan titik konvergensi pada dunia nyata. HPP yang lebih rendah daripada
harga pasar telah mewarnai kinerja pengadaan beras oleh Perum Bulog yang jauh
dari memadai. Akibatnya, Indonesia kembali harus mengimpor beras untuk menjaga
stok nasional pada kondisi ideal 1,5-2 juta ton.
Impor beras yang masuk pada Februari ini,
seperti yang terjadi di Lampung, tentu menimbulkan protes keras dari masyarakat
serta bagi siapa pun yang bermaksud membela kepentingan dan menjaga tingkat
kesejahteraan petani. Demikian sebaliknya, HPP yang ditetapkan tinggi dari
harga pasar dapat menjadi salah satu pendorong melonjaknya harga kebutuhan
pokok dan laju inflasi nasional, yang berdampak terhadap menurunnya daya beli
masyarakat.
Analisis ekonometrika yang mengestimasi
tingkat kasualitas antara HPP dan harga beras di pasar ternyata tidak terlalu
konklusif. Pola pergerakan harga beras di pasar mengikuti kondisi penawaran dan
permintaan di dalam negeri, fluktuasi harga beras di pasar global, plus
dinamika psikologis masyarakat produsen dan konsumen yang juga dipengaruhi
faktor non-ekonomi.
Sementara itu, pola pergerakan kenaikan HPP
cenderung tidak lancar, seperti tangga, tergantung pada kebijakan perberasan
pemerintah. HPP bergeser secara vertikal saat Inpres Kebijakan Perberasan
diumumkan, lalu melandai untuk waktu yang cukup lama, kemudian melonjak secara
vertikal lagi ketika terdapat inpres baru, dan begitu seterusnya.
Sementara itu, kebijakan ekonomi pangan
ternyata belum mampu meningkatkan produksi dan produktivitas pangan pokok,
terutama beras. Penurunan produksi beras 1,63 persen tahun 2011 seharusnya
dijadikan catatan penting bagi pemerintah bahwa kebijakan ekonomi pangan
cenderung bersifat agregat dan pukul rata.
Pemerintah kesulitan menjelaskan secara
memadai, kecuali alasan fenomena perubahan iklim ekstrem, musim hujan
berkepanjangan dan musim kemarau menyengat, plus serangan hama wereng yang
tidak terduga. Penjelasan tentang penurunan produksi jagung sampai 6 persen
karena penurunan areal panen di sentra produksi jagung di Lampung, Jawa Timur,
dan Jawa Tengah terkesan tidak profesional.
Pasar komoditas pangan global sebenarnya
tidak buruk dibandingkan dengan krisis pangan tahun 2008. Produksi biji-bijian
dunia tahun ini diramalkan naik 3,7 persen, sedangkan cadangan pangan akhir
(ending stock) juga naik 3,3 persen sehingga indeks harga menurun (FAO,
November 2011).
Pasar beras diramalkan naik 3,4 persen dan
cadangan akhir naik 7,7 persen karena cukup banyak produsen menahan cadangan
beras untuk konsumsi domestik. Akibatnya, tren harga beras naik.
Dari uraian di atas, kini saatnya bagi
Indonesia mulai melakukan disagregasi kebijakan ekonomi pangan agar lebih tepat
sasaran. Di tingkat teori, kebijakan HPP dimaksudkan untuk menjaga kejatuhan
harga gabah di tingkat petani dan menekan aneka risiko sosial-ekonomi petani.
Kebijakan HPP seharusnya ditetapkan pada awal
musim tanam karena akan bermanfaat sebagai sinyal penting bagi pengambilan
keputusan ekonomi petani. Apalah gunanya menetapkan Inpres Kebijakan Perberasan
jika musim tanam sudah selesai dan musim panen segera tiba.
Kebijakan melindungi konsumen beras, terutama
dari kelompok rumah tangga miskin, perlu dirumuskan khusus. Kebijakan ini perlu
secara perlahan mengganti konsep kebijakan subsidi beras untuk keluarga miskin
yang sudah berjalan 13 tahun. Amat tidak bijak jika pemerintah (dan Bulog)
menaikkan jumlah rumah tangga sasaran sampai 18 juta atau 33 persen dari
penduduk. Sementara di sisi lain, pemerintah melaporkan penurunan angka
kemiskinan sampai 30 juta jiwa atau 12,5 persen dari penduduk. Di sinilah
manfaatnya bahwa disagregasi kebijakan ekonomi pangan mampu meningkatkan
pencapaian sasaran yang lebih spesifik, plus konsistensi kebijakan itu sendiri.
●
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus