Industri
Tanpa Akar Budaya
Roos Diatmoko, ANGGOTA DRN KOMTEK TRANSPORTASI 2005-2011
Sumber
: KOMPAS, 23 Februari 2012
Budaya kerap terkait dengan mitos dan adat
masyarakat. Budaya menjadi identitas dan artefak manusia. Budaya industri
terbentuk dari budaya nasional dan organisasi yang berperan dalam
industrialisasi.
Dalam era globalisasi, tidak hanya alih
teknologi dan modal, budaya yang masuk pun bisa memengaruhi kebijakan industri.
Prof Mudrajad Kuncoro dalam tulisannya
tentang kebangkitan mobil nasional (Kompas, 6/2) mengingatkan empat syarat agar
mobnas tidak sekadar impian. Pesannya, jangan sampai Kiat Esemka gagal seperti
Timor.
Daftar syarat akan bertambah karena Kiat
berawal dari bengkel mobil yang bermitra SMK. Dalam konteks budaya, kendala
akan muncul dalam hal tata nilai dan tujuan industri.
Transformasi
Budaya
Perubahan dari ekonomi yang berbasis
pertanian dan sumber daya alam menuju ekonomi berbasis industri manufaktur
butuh transformasi budaya. Lambannya adaptasi perubahan menyebabkan sektor jasa
jadi lebih dominan dibandingkan budaya industri. Hasilnya, pertumbuhan
pendapatan yang tidak bisa diperdagangkan (non-tradeable)
lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang bisa diperdagangkan (tradeable) dari manufaktur.
Dalam laporan The Global Innovation 1000 oleh Booz & Company Inc (2011),
inovasi tidak cukup didorong dengan besarnya biaya penelitian dan pengembangan.
Kemajuan inovasi bisa ditingkatkan melalui sinergi strategi dan budaya.
Hofstede (1991) menyimpulkan adanya budaya
terkait perilaku tenaga kerja. Di AS, misalnya, yang menonjol kepentingan
individu, sedangkan Jepang mengutamakan kerja kelompok.
Polemik mobnas dan mobil Indonesia mungkin
berawal dari persepsi dan kepentingan bisnis berbeda. Dalam diskusi, Ketua
Asosiasi Industri Automotif Nusantara menyampaikan perlunya budaya industri
melalui program mobnas terkait kemandirian industri otomotif. Selama ini,
industri otomotif nasional masih dalam fase lisensi dan agen tunggal pemegang merek
fokus pada kemampuan manufaktur. Padahal, pengusaha nasional seharusnya mampu
menjadi prinsipal di negeri sendiri dengan merek nasional. Syaratnya, mampu
mendesain integrasi teknologi.
Di pihak lain, peningkatan daya saing
industri otomotif dibutuhkan. Industri otomotif nasional tumbuh hingga 14,54
persen pada 2011. Otomotif berada di depan industri manufaktur yang tumbuh 6,86
persen. Menjelang tembusnya angka penjualan 1 juta mobil, telah digagas program
mobil murah dan ramah lingkungan (low cost and green car/LCGC).
Mobil LCGC ditujukan untuk menyaingi Thailand
sehingga pemerintah menyiapkan insentif fiskal mobil LCGC. Investasi mobil LCGC
yang akan diluncurkan Oktober 2012 bergantung pada strategi bisnis prinsipal
Jepang.
Mobil LCGC direncanakan berjenis MPV,
bermesin 1.000-1.200 cc, dengan konsumsi BBM 20-22 km per liter. Mobil LCGC
dianggap mobil Indonesia dengan kandungan lokal minimal 80 persen. Muncul pola
pikir bahwa program mobil Indonesia lebih membumi dibandingkan mimpi mobnas
yang daya saingnya belum jelas. Ada mitos, mobnas sulit tumbuh di negara mana
pun tanpa dukungan industri otomotif Jepang dan AS!
Artinya, mobnas sukses kalau mendapat restu
prinsipal otomotif Jepang. Contohnya: mobil Proton dan Hyundai berawal dari
dukungan Mitsubishi. Luar biasa apabila mitos tadi dijadikan nilai dan
keyakinan.
Ubah
Pola Pikir
Dalam buku Mind Set, John Naisbitt (2006) membuka rahasia masa depan melalui
pola pikir. Naisbitt menyatakan era kini mirip kebun buah. Jika para pemecah
masalah masih berpikir soal buah masak yang jatuh dari pohon, para pencari
peluang mencari buah ranum untuk dipetik. Jika tidak pernah mencoba, tidak akan
ada hasil dan peluang baru.
Ada pepatah China: bukan kaki yang menggerakkan
kita, melainkan pikiran kita. Perlu peran pemimpin proaktif yang bisa mengurai
polemik mobnas. Sebagai pendiri Astra, dulu William Soeryadjaya mampu
meyakinkan Toyota membangun mobil MPV Kijang dengan karakter Indonesia.
Tahun 1977, pangsa pasar didominasi kendaraan
niaga minibus versi Jepang. Desain Kijang kotak dengan mesin depan dianggap
tidak umum. Mobil keluarga dengan DNA Indonesia sukses dan lahir lebih awal
dari Renault Espace, mobil MPV pertama di dunia tahun 1984.
Dalam The
Honda Way, Masaaki Sato (2006) menuturkan cara Honda memulai mobnas tanpa
dukungan industri AS. Tahun 1965, industri otomotif Jepang maju pesat dengan
mobil pribadi. Penjualan sedan naik 5,8 kali dalam lima tahun dan mencapai 3,18
juta unit tahun 1970.
Kembangkan
Inovasi
Honda nekat merintis mobil mini ”kei-car”
dengan mesin 354 cc berpendingan udara. Terjadilah skandal cacat mutu mobil
tipe N360 tersebut. Tanpa patah semangat, Honda meluncurkan Civic hasil
kombinasi inovasi bodi dua kotak (hatchback)
dan mesin kompak ramah lingkungan CVCC berpendingin air, dan sukses. Honda
bahkan memberikan lisensi desain mesin CVCC ini ke GM dan Toyota!
Kisah inovasi Kijang dan Civic bukan sekadar
sejarah masa lalu. Dalam buku Nanovation
(Freiberg, 2011) dikisahkan Ratan Tata sebagai pemimpin bisnis yang mampu
mewujudkan Tata Nano, mobil termurah di dunia seharga 1 lakh (100.000 rupee
atau sekitar 2.500 dollar AS).
Visi Ratan Tata berawal dari kepeduliannya
atas statistik jumlah sepeda motor dan angka kecelakaan. Nanovation bukan mimpi
inovasi mobil murah, melainkan tentang budaya industri peduli rakyat!
Kisah mobil Esemka juga mendasarkan
kepedulian tentang tenaga kerja yang akan mencapai 132 juta jiwa pada 2020.
Selain pendidikan tenaga terampil, perlu pengembangan industri nasional. Di
lain pihak, mobil Tawon dan GEA diposisikan sebagai kendaraan angkutan umum
rakyat. Mobil GEA (Gulirkan Energi Alternatif) menggunakan alternatif solusi
bahan bakar gas jenis LPG. Berbekal mesin mini seperti Honda, riset bisa
bergulir untuk mesin hibrida setara 1.000 cc. Budaya industri pun jadi
prinsipal mandiri untuk rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar