Ekonomi-Politik
Kenaikan Harga BBM
Anggito Abimanyu, DOSEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN
BISNIS UGM, YOGYAKARTA
Sumber
: REPUBLIKA, 27 Februari 2012
Kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) bukan merupakan tujuan dari kebijakan energi. Kalau
boleh memilih, meskipun kebijakan di tangan mereka, baik birokrat maupun
politikus, akan menolak kenaikan harga BBM.
Studi
UGM, UI, dan ITB (2011) membuktikan bahwa pilihan kenaikan harga BBM adalah
pilihan terakhir bagi para pengambil kebijakan. Di samping berdampak pada
sosial-ekonomi, secara politis menaikkan harga BBM adalah tindakan yang hanya
akan menurunkan popularitas.
Masalah
BBM tidak dipisahkan dari persoalan politik dan hal tersebut sulit untuk
dipisahkan. Apalagi, menjelang momentum pesta demokrasi di mana ada kelompok
tertentu yang memanfaatkan hal itu. Secara global pun harga minyak mentah
sangat dipengaruhi oleh politik, seperti sering terjadi antara kepentingan
politik negara penghasil minyak, khususnya di Timur Tengah, dan kepentingan
negara adikuasa, khususnya Amerika Serikat.
Negara
net importir seperti Indonesia sering tidak berdaya akan kenaikan harga minyak
dunia yang bersifat artifisial. Untuk menghilangkan politisasi harga BBM, harga
BBM harus disesuaikan secara perlahanlahan dan jika sudah mencapai harga
keekonomian lalu dilepaskan mengikuti perkembangannya. Dengan demikian, harga
BBM tidak lagi ditentukan dengan keputusan politik di DPR.
BBM
hanya akan menjadi urusan DPR jika menggunakan dana subsidi APBN dan menyangkut
hajat hidup orang banyak. Harga produk BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, aftur,
pelumas, ataupun BBM untuk industri tidak diatur lewat keputusan DPR. Karena
itu, jika sudah ada bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi tanpa subsidi,
sudah lepas dari pembahasan rutin di DPR.
Meskipun
masuk di dalam pembahasan DPR, banyak pihak yang menginginkan tidak ada
politisasi dalam penetapan kebijakan BBM. Guru Besar Universitas Indonesia Emil
Salim meminta politikus bersikap kooperatif dan tidak memperkeruh suasana
dengan membuat isu BBM kian memanas.
“Lihat
secara jernih, rasionalnya harga minyak dunia naik, subsidi akan membengkak,
dan kenaikan harga BBM tidak akan meningkatkan jumlah masyarakat miskin,“ kata
Emil Salim, Jumat (24/2). Menurut dia, imbas kenaikan BBM tidak akan berakibat
pada penambahan masyarakat miskin karena distribusi bebannya cenderung lebih
banyak pada kelas menengah ke atas.
Emil
mengimbau masyarakat untuk tidak terjebak kepentingan politis yang menggunakan
isu itu untuk kepentingan politik. Yang jelas, menurut pendapatnya, dampak yang
akan diterima oleh masyarakat miskin kecil dan bisa ter-cover oleh program peningkatan masyarakat.
Sama
halnya yang diungkapkan oleh Ketua Laboratorium Penelitian Pengabdian pada
Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Universitas Padjadjaran, Bandung,
Arief Anshory Yusuf, yang mengatakan, kenaikan harga BBM tidak seharusnya
digembar-gemborkan ke arah kemiskinan. Yang jelas isu kenaikan BBM subsidi
tidak sesensitif dulu saat masih ada minyak tanah yang dikonsumsi oleh sebagai
besar masyarakat menengah ke bawah.
Melindungi Golongan Lemah
Guru
Besar Ekonomi Lingkungan dari Gothenborg University, Swedia, Prof Thomas
Sterner, menyebutkan, kebijakan terkait BBM memang selalu menjadi persoalan di
setiap negara, termasuk di negara maju sekalipun.
“Pemberian subsidi adalah hal wajar di semua negara. Kalau memang akan memberi subsidi untuk transportasi publik, bisa dilakukan dengan cara lain, seperti subsidi terhadap kredit kendaraan umum atau insentif tambahan bagi gaji sopir,“ kata Sterner menyampaikan masukan alternatifnya.
“Pemberian subsidi adalah hal wajar di semua negara. Kalau memang akan memberi subsidi untuk transportasi publik, bisa dilakukan dengan cara lain, seperti subsidi terhadap kredit kendaraan umum atau insentif tambahan bagi gaji sopir,“ kata Sterner menyampaikan masukan alternatifnya.
Alasan
pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah supaya biaya subsidi bisa diberikan
tepat sasaran, yakni kepada mereka yang miskin. Alasan yang dikemukakan itu
memang begitu rasional dan logis. Logika yang dipakai pemerintah selama ini
bahwa yang menikmati harga BBM tersubsidi adalah hanya orang kaya.
Dari
waktu ke waktu, memang kebijakan penaikan harga BBM (dalam berbagai bentuknya)
sering tidak diimbangi kemudahan bagi orang miskin dan perbaikan fasilitas umum.
Ada kecenderungan bahwa dana kompensasi yang ada kurang tepat sasaran karena
disalahgunakan untuk kepentingan di luar hal ini.
Itulah
yang membuat publik selalu ragu akan penaikan harga BBM bisa mengurangi kaum
miskin. Dua hal yang menurut publik, dalam kenyataannya, selalu bertolak
belakang dan tak ada buktinya di lapangan secara konkret. Penaikan harga BBM
sering tidak diimbangi dengan penghapusan praktik pungli yang melekat dalam
diri birokrasi dan pelayanan publik.
Ketidakmampuan
pemerintah menghapuskan biaya tinggi (hight
cost) itulah yang membuat kebijakan penaikan harga BBM tidak mengubah nasib
kaum miskin. Kaum miskin hidupnya semakin tersisih dalam daya tawarnya terhadap
kekuatan global yang sekarang ini telah merasuki kekuatan politik dan pasar.
Kenaikan Harga BBM Sebagai Solusi?
Pada
2012 ini pemerintah kembali dihadapkan pada ke naikan harga minyak dunia. Meskipun
kenaikan tersebut dipicu karena ketegangan politik sesaat di Timur Tengah,
tidak ada seorang pun yang berani memprediksikan berapa lama hal itu akan
berlangsung.
Banyak
yang menyarankan, seharusnya pada 2011 pemerintah sudah menaikkan harga BBM,
khususnya Premium, secara bertahap dan tidak memberatkan. Dengan kenaikan
bertahap tersebut, dampaknya tidak terasa. “Hanya dengan cara menaikkan harga
BBM, kita bisa memperbaiki perekonomian bangsa dan mengurangi beban pemerintah.
Naiknya Rp 2.000 oke, masih dapat dijangkau,“ kata mantan wapres Jusuf Kalla.
Kalla
menambahkan, meskipun kebijakan kenaikan harga BBM dianggap tidak populis,
pemerintah harus segera mengambil langkah itu untuk mengalihkan anggaran
subsidi pada pembangunan infrastruktur nasional. “Bukan soal diterima atau
tidak oleh publik, mau baik infrastruktur atau tidak. Kalau subsidi BBM tinggi,
tidak mungkin kita bisa perbaiki jalan, pilihannya di situ,“ kata JK.
Kepastian
pemerintah untuk menaikkan harga BBM itu disampaikan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono saat sidang kabinet, Rabu (22/2). “Harga BBM mau tidak mau mesti
disesuaikan dengan kenaikan yang tepat, kenaikannya dalam nilai tertentu,“ kata
Presiden SBY tanpa menjelaskan lebih rinci pelaksanaan kenaikan harga BBM
subsidi ini.
Dalam
jangka pendek, daya beli masyarakat sudah pasti akan terpukul walau tak terlalu
lama. Sebab, pemerintah sudah memberikan kompensasi berupa kenaikan gaji PNS,
kenaikan upah tenaga kerja, dan ada bantuan tunai langsung. Butuh waktu sekitar
dua-tiga bulan untuk menyesuaikan dengan kenaikan harga BBM. Setelah itu, akan
kembali normal.
Pada
2005 dan 2008 kenaikan harga BBM tinggi dilakukan karena melonjaknya harga
dunia juga karena keterlambatan pengambilan keputusan yang menimbulkan
ketidakpastian dan spekulasi di pasar uang dan harga-harga komoditas primer.
Pelajaran yang berharga dari pengalaman tersebut adalah keputusan kenaikan
harga BBM tidak boleh terlambat diambil dan diputuskan.
Faktor
pertama tidak dapat dihindari karena faktor eksternal. Namun, faktor kedua
adalah faktor internal ekonomipolitik yang dapat dikendalikan.
Jadi, urusan jadi tidaknya kenaikan harga BBM bukan hanya persetujuan DPR, melainkan di internal ekonomi-politik pemerintahan sendiri. ●
Jadi, urusan jadi tidaknya kenaikan harga BBM bukan hanya persetujuan DPR, melainkan di internal ekonomi-politik pemerintahan sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar