Dramatika
Perupa, Inspirasi Sinema
Agus Dermawan T., KRITIKUS
SENI,
PENULIS BUKU RIWAYAT YANG TERLEWAT – 111 CERITA AJAIB DUNIA SENI
Sumber
: KORAN TEMPO, 25 Februari 2012
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang
mengeluh ihwal film Indonesia yang semakin klise, lantaran berpuluh kali
mengangkat horor pocong. Tentu ada film-film serius non-pocong yang lahir di
tengah kelindan para hantu itu. Namun jumlahnya yang sedikit menyebabkan
industri ini tertumbur pada anggapan: dunia film Indonesia tidak memiliki
perbendaharaan tema.
Tulisan ini ingin menyentuhkan kenyataan
bahwa, dari dunia seni rupa Indonesia, banyak inspirasi cerita bisa digali,
untuk kemudian dielaborasi menjadi kisah besar sebuah karya sinema. Pengunjukan
ini diilhami oleh Hollywood, yang pernah mengangkat pelukis Jan Vermeer dalam
film The Girl with a Pearl Earing, Pablo Picasso dalam Surviving
Picasso, Frida Kahlo dalam Frida, Jackson Pollock dalam Pollock.
Tentu juga Vincent van Gogh, pelukis Belanda yang sudah digubah dalam 70 film.
Saleh, Henk, Basoeki
Kisah hidup perupa terkenal pada umumnya
memiliki banyak nuansa human interest, dengan di dalamnya melibatkan
kompleksitas persoalan sosial, budaya, ekonomi, dan politik di tengah
kesenyapan desa dan kompleksitas kota atau negara. Sebab, seorang seniman utama
adalah ex speciali gratia, “orang langka”, yang selalu tertempatkan pada
posisi “ada di mana-mana”. Mereka seperti siluman yang tak henti melahirkan
cerita.
Berikut ini adalah petikan permukaan
kisah-kisah besar dengan latar peristiwa (sangat) sinematografis, sehingga
layak diangkat ke layar lebar.
Raden Saleh (1807-1880) adalah pelukis
bumiputra pertama yang belajar seni di Belanda. Di Eropa, ia senantiasa
mengenakan busana kebesaran Jawa, sehingga disambut sebagai “Pangeran dari
Timur”. Ketika kembali ke Indonesia, ia hidup di Bogor dan menikahi Constancia
Winkelhagen, janda pemilik pabrik gula. Di kurun berikutnya, ia ingin menikah
lagi dengan wanita Jawa, Raden Ajeng Danurejo. Hasrat menggebu ini menimbulkan
keributan besar dalam keluarga, sehingga Winkelhagen meminta cerai.
Raden Saleh meninggal diduga lantaran diracun
dengan zat arsenik. Si pembunuh konon adalah pembantu yang dendam lantaran
dituduh mencuri lukisannya. Ia meninggal pada Jumat, 23 April 1880, dengan
mewariskan kebesaran serta kekayaan yang menggetarkan bumiputra abad ke-19.
Rumah Raden Saleh, yang seperti istana, kini jadi Rumah Sakit Cikini, Jakarta.
Kebon binatangnya yang luas jadi Taman Ismail Marzuki. Makamnya di kawasan
Bondongan, Bogor, dikeramatkan dan acap dikunjungi para pemburu wangsit!
Kehidupan Basoeki Abdullah (1915-1993) tak
kalah menarik dan filmis. Pelukis paling populer di Indonesia ini menjalani
hidup dengan petunjuk Tuhan lewat Nyi Loro Kidul. Namun di sebalik yang mistik
itu ia hidup sangat modern dan glamor. Ia dikelilingi wanita cantik. Ia
keliling dunia dan jadi pelukis istana Belanda, Muangthai, Filipina, Kamboja,
dan Brunei. Kawin empat kali dengan wanita asing. Namun ia wafat dengan
“sederhana” di Jakarta: dibunuh maling yang akan mencuri arlojinya.
Kisah hidup Henk Ngantung (1921-1991)
menyimpan gelora untuk menghidupkan layar sinema. Henk adalah seniman yang
punya karier monumental. Pada umur 13 tahun, ia telah menyelenggarakan pameran
tunggal di Manado. Ia pernah bekerja sebagai wartawan tulis dan lukis. Kisah
perundingan Linggarjati pun ia liput dengan laporan visual berbentuk sketsa
coretannya. Kemampuannya yang berganda membawa ia menjadi Wakil Gubernur dan
Gubernur DKI Jakarta pada 1964.
Henk disayangi Sukarno, dan ia Sukarnois.
Karena itu, ketika G30S (Gerakan 30 September) 1965 meletus dan para Sukarnois
ditangkap, Henk ikut dibekuk. Indonesia merehabilitasi namanya menjelang
1980-an. Momentum ini membakar semangatnya untuk melukis lagi. Tapi matanya
mendadak buram, dan bahkan cenderung buta. Namun, dalam keburaman, ia terus
berkarya dan berpameran tunggal di Ancol pada akhir November 1991. Anehnya,
pemerintah kembali mempersulitnya dan mengerahkan banyak intel dalam
pergelarannya. Bahkan pameran ditutup sebelum waktunya. Henk, yang buta, bisa
melihat kenyataan pedih itu. Hatinya merana, sampai kemudian ia meninggal
sepekan setelah pamerannya dibongkar.
Riwayat pelukis S. Sudjojono (1913-1986),
sang “bapak seni lukis Indonesia modern”, punya peluang menjadi dongeng besar
di layar lebar. Sudjojono adalah anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat,
institusi budaya milik PKI) yang berpengaruh. Namun ia dipecat dari Lekra
karena memadu Mia Bustam, dan mengawini Rose Pandanwangi, penyanyi seriosa
keturunan Belanda. Ketika penangkapan kader Lekra-PKI dilakukan pasca-G30S,
Sudjojono lolos. Sedangkan Mia Bustam justru masuk penjara tahanan politik selama
berbilang tahun. Tragedi Mia, komedi Rose, dan sikap Sudjojono di tengah
kegaduhan gendang politik adalah cerita gila.
Lempad dan Spies
Bali adalah lokasi yang luar biasa seksi
untuk dunia sinematografi. Kisah hidup I Gusti Nyoman Lempad bisa dipakai untuk
jalan menuju ke sana. Lempad lahir pada 1847 dan meninggal pada 1978. Usia 131
tahun menjadikan dia sebagai saksi mata jagat Bali tiada duanya. Ia
mengembuskan napas terakhir setelah mendengar kabar bahwa sahabatnya, Rudolf
Bonnet, baru saja tutup usia di Belanda. “Saya dan Tuan Bonnet sudah janji
untuk jalan bareng ke nirwana,” kata Lempad kala masih sehat.
Yang ajaib, ketika Lempad dinyatakan
meninggal, masyarakat Ubud tenang-tenang saja. Masalahnya, pada saat itu di
Pura Besakih sedang berlangsung upacara Panca Wali Krama. Dalam upacara sebulan
penuh itu ada ketentuan: tidak boleh ada orang mati. Dengan begitu, tak ada
orang yang melayat Lempad. Tak ada kentongan berbunyi. Masyarakat bekerja
seperti biasanya.
Ketika jenazahnya diaben, puluhan stasiun
televisi internasional meliput, belasan ribu orang Bali mengantar, tokoh seni
dari seluruh dunia datang. Di antaranya adalah Paloma Picasso, putri pelukis
terbesar dunia abad ke-20 Pablo Picasso. Pada saat itu Paloma mengatakan,
“Upacara kematian Lempad lebih besar dari upacara kematian ayah saya....”
Yang paling menggetarkan bagi dunia sinema
mungkin historiografi dramatik Walter Spies (1895-1942). Ia adalah pelukis
Jerman yang hidup di Bali. Pertama ke Indonesia, ia menginjak Batavia, kemudian
ke Bandung dengan bekerja di bioskop sebagai pengisi musik film bisu. Kemudian
ke Yogyakarta untuk mengajar musik Barat atas undangan petinggi keraton. Spies
pernah dipenjara oleh Belanda lantaran homoseks. Ketika Jerman menistakan
Belanda di kancah Perang Dunia II, pemerintah Belanda di Indonesia ngamuk
dan memenjarakan Spies. Beberapa bulan sekeluar dari penjara, Spies diungsikan
dengan kapal laut Van Imhoff. Oleh Jepang, kapal ini dibom di sekitar laut
Makassar. Spies tewas.
Ooo, film mungkin akan menayangkan realitas
ini pada menit-menit terakhir: gemuruhnya lelang lukisan kecil Walter Spies
yang harganya terus mendaki mencapai bilangan rupiah Rp 15 miliar! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar