Involusi
Partai Bunglon
Wahyu Prasetyawan, PENGAJAR
EKONOMI-POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA; LULUSAN PROGRAM DOKTOR BIDANG
EKONOMI-POLITIK UNIVERSITAS KYOTO, JEPANG
Sumber
: KORAN TEMPO, 28 Februari 2012
Menurut undang-undang yang berlaku, partai
politik dirumuskan sebagai organisasi sekumpulan orang yang secara sukarela
bergabung untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan
negara melalui pemilihan umum. Apakah binatang seperti yang dirumuskan oleh
undang-undang tersebut ada di bumi tercinta? Jawabannya sudah hampir pasti:
tidak ada. Selama lebih dari sepuluh tahun lalu, ketika parpol ramai-ramai
didirikan para politikus, yang ada hanyalah sekumpulan orang yang
mengorganisasikan diri untuk meraih kepentingan mereka sendiri.
Jika diselidiki lebih teliti, hampir sebagian
parpol lebih digunakan oleh para pendirinya atau penggagasnya untuk
memperjuangkan cita-cita mereka sendiri. Kepentingan tersebut sebagian besar,
atau bahkan seluruhnya, adalah memperebutkan jabatan politis yang hanya
didapatkan melalui kompetisi politik yang disebut sebagai pemilu, baik
legislatif maupun eksekutif. Harus diakui, sebetulnya ada juga parpol yang
didirikan karena gagasan banyak orang. Namun, dalam perjalanannya, parpol ini
juga dibajak oleh para elitenya, sehingga hubungan dengan pendukungnya semakin
lemah. Justru parpol yang disebutkan terakhir itu lebih parah karena
mentah-mentah menipu kader-kader di tingkat akar rumput yang rajin berhubungan
dengan pemilih dan juga pendukungnya.
Itulah parpol bunglon. Bunglon adalah sejenis
binatang yang mampu mengubah warna kulit tubuhnya sesuai dengan lingkungan
untuk melindungi diri. Namun, yang terkait dengan tulisan ini, bunglon
sejatinya tidak memiliki jati diri kuat. Parpol di sini, dilihat dari
penampilan luarnya, memang mirip sekali bunglon karena tidak memiliki jati diri
yang kuat. Parpol bunglon memiliki lima karakter yang saling terkait: 1) tidak
memiliki ideologi yang jelas; 2) amat sangat pragmatis karena pandai
beradaptasi dengan lingkungan; 3) plinplan dan tidak memiliki komitmen kepada
pemilihnya karena hanya mementingkan para elitenya; 4) tidak
terinstitusionalisasi dengan baik, ini seperti bunglon yang kehadirannya tidak
dapat dirasakan; dan 5) mengandalkan kamuflase, di depan publik mengatakan
antipolitik uang, sedangkan di dalam ruang-ruang gelap melakukan politik uang.
Tulisan ini hanya akan mendiskusikan dua
karakter, nomor 4 dan 5. Dimulai dari nomor 5: hampir sebagian besar parpol
melakukan kamuflase atas politik transaksional atau politik uang yang
dilakukannya. Bentuk politik uang yang kerap dilakukan adalah menerima dukungan
keuangan dari pengusaha yang memberikan donasi legal atau tidak legal dalam
suatu pemilihan ataupun melakukan korupsi karena jabatan politik yang
dimilikinya. Buktinya cukup banyak. Bayangkan saja, terdapat sekitar 138 kepala
daerah (wali kota/bupati) dan 17 gubernur yang tersangkut rasuah. Jumlah ini
cukup fantastis: untuk gubernur, itu artinya sekitar 50 persen lebih, dan untuk
bupati/wali kota, itu artinya sepertiga dari jumlah keseluruhan. Para tersangka
yang terhormat tersebut hampir dapat dipastikan merupakan anggota parpol. Ini
merupakan indikator yang amat kuat jika parpol hanya digunakan sebagai alat
mencari uang untuk keperluan macam-macam, baik terkait maupun tidak dengan
kegiatan parpolnya. Dan dari sisi jumlah, itu masih perlu ditambah dengan
anggota DPR/DPRD yang terkait dengan rasuah. Walaupun pada sebagian besar
parpol ada anggota yang terlibat rasuah, yang saat ini menjadi sorotan publik
adalah Partai Demokrat melalui kasus mantan bendaharanya, Nazaruddin, dan
Angelina Sondakh. Apakah pemilih masih dapat mempercayai slogan kampanye parpol
itu yang "mengatakan tidak pada korupsi"?
Untuk karakter nomor 4: parpol tidak
terinstitusionalisasi dengan baik, sehingga kehadirannya tidak dirasakan oleh
pemilihnya. Sesungguhnya ini terkait dengan karakter nomor 3. Sebagian besar
parpol didirikan untuk memuluskan jalan para elitenya guna meraih kekuasaan.
Alasan paling utama parpol didirikan sama sekali bukan untuk menyampaikan
aspirasi anggotanya, sehingga tidak terlalu mengherankan jika parpol tidak
memiliki basis pendukung yang kuat. Kalaupun ada, jumlahnya kecil. Indikasinya
dapat dilihat dari besarnya pemilih yang berpindah (swing voter) dalam
setiap pemilu sejak 1999. Setidaknya parpol di Indonesia belum mampu
mengorganisasikan kepentingan para pendukungnya dengan cara yang sistematis dan
baik. Ini merupakan titik terlemah dari hampir semua parpol di sini.
Kenyataannya memang hanya ada amat sedikit masyarakat yang mengakui memiliki afiliasi
dengan parpol. Pada titik ini, amat sah untuk bertanya: apakah parpol masih
dibutuhkan oleh masyarakat? Toh, kenyataannya parpol belum mampu menampung
aspirasi masyarakat, karena partai asyik dengan dirinya sendiri. Lebih parah
lagi, parpol masih tegak berdiri hanya untuk melayani pengurus atau
elite-elitenya.
Selain masyarakat sudah mulai muak terhadap
perangai parpol yang sibuk melayani kepentingan elitenya, masalah serius yang
dihadapi masyarakat, parpol tidak memiliki hubungan kuat dengan pemilihnya.
Implikasinya dapat dilihat, secara umum, dari kebijakan pembangunan ekonomi.
Selama ini parpol atau anggota masyarakat hanya menyalahkan ketidakmampuan
pemerintah yang menyangkut kegagalan mengurangi jumlah kemiskinan, mengurangi
pengangguran, atau masuknya produk pertanian impor yang melumpuhkan
petani-petani Indonesia. Tudingan itu tidak terlalu salah, tapi kurang patut
jika menyalahkan pemerintah saja. Bukankah yang namanya pemerintah juga
didukung oleh elite-elite parpol yang kini menjadi menteri atau jabatan-jabatan
publik lainnya? Jadi sesungguhnya keadaan yang buruk tersebut juga disebabkan
oleh mandulnya parpol dalam menyampaikan aspirasi politik/ekonomi pendukungnya
di tingkat bawah.
Sejatinya tugas parpol adalah mengagregasikan
kepentingan pemilihnya, dan ketika berkuasa menjadikannya kebijakan politik
untuk memenuhi aspirasi pemilihnya. Dan itulah hubungan yang paling hakiki
antara parpol dan pemilihnya. Hingga saat ini, tingkat keyakinan para pemilih
bahwa parpol bisa menjalankan tugas tersebut amat rendah. Hubungan yang terjadi
antara pemilih dan parpol bersifat semu, dan mungkin hanya terjadi sekali dalam
lima tahun ketika ada pemilu. Parpol kurang menjalankan fungsinya di antara
jeda pemilu. Berapa banyak anggota parpol yang menyambangi pemilihnya dari
rumah ke rumah atau berapa banyak politikus yang berdiri di pinggir jalan
menyampaikan salam kepada pendukungnya? Yang terjadi adalah politikus yang
terpilih menjadi anggota parlemen berubah menjadi Tuan Besar yang harus
dihormati, disanjung, dan didekati karena memiliki kekuasaan yang bersumber
dari pemilihnya.
Nah, dalam konteks parpol tidak mampu
menjalankan fungsi utamanya sebagai penampung aspirasi pemilihnya dan kelakuan
buruk yang mendewakan politik uang itulah kualifikasi menjadi penting bagi
parpol yang mengalami involusi. Kenapa? Sebab, parpol mengecilkan dirinya
sendiri dengan melayani kepentingan para elitenya saja, dan bukannya para
pemilih yang menjadi alasan utama berdirinya sebuah parpol. Involusi semakin
nyata karena parpol betul-betul digunakan sebagai wahana untuk
"bagi-bagi" kekuasaan dan kesejahteraan untuk elitenya saja. Terus
terang saja, jika kondisinya masih seperti sekarang, pembangunan ekonomi di
masa mendatang tidak akan pernah memberi perhatian yang serius kepada pemilih.
Jika parpol masih mengalami involusi, ia hanya menjadi pelayan bagi pemiliknya.
Maka, sebagai akibatnya, pembangunan ekonomi hanya akan melayani
kekuatan-kekuatan, baik kapital maupun politik, yang kelasnya jauh lebih kuat
daripada parpol. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar