Ikhwanul
Muslimin Pascarevolusi
Zuhairi Misrawi, SEDANG RISET TENTANG IKHWANUL MUSLIMIN DI KAIRO, MESIR
Sumber
: KOMPAS, 25 Februari 2012
Pemilu parlemen pascarevolusi telah menaikkan
pamor Ikhwanul Muslimin sebagai salah satu kekuatan politik di Mesir. Jika tak
ada aral melintang, hampir bisa dipastikan dalam pemilu presiden, Ikhwanul Muslimin
mengendalikan politik pada tahun-tahun mendatang.
Sejak didirikan pada 1928, Ikhwanul Muslimin
(IM) telah menjadi kekuatan politik yang mengakar kuat. Carrie Rosefsky Wickham
dalam Mobilizing Islam: Religion, Activism, and Political Change in Egypt
secara gamblang menggambarkan keberhasilan IM dalam memobilisasi massa.
Istimewanya, IM tidak hanya menarik perhatian petani dan buruh yang notabene
kalangan bawah, tetapi juga menarik simpati kalangan profesional dan pelajar di
beberapa universitas terkemuka. Bahkan, IM dapat menarik perhatian mahasiswa
universitas Amerika di Kairo.
Ada tiga hal yang jadi kekuatan IM sebagai
gerakan keagamaan dan politik dari dulu hingga pascarevolusi. Pertama, IM
memiliki ideologi yang dapat menyihir publik. Slogan ”Islam sebagai solusi”
merupakan ideologi pemantik yang dengan mudah mendulang respons positif
kalangan Muslim. Yang dimaksud Islam oleh IM bukanlah Ahlussunnah wal Jamaah,
melainkan Islam seperti digariskan Hasan al-Banna dan Sayyed Qutb.
Kedua, IM punya kelas menengah yang mapan
dalam ekonomi. Bahkan, beberapa sektor perekonomian di Mesir sebenarnya
dikuasai aktivis IM. Meski rezim Hosni Mubarak selama 30 tahun represif
terhadap IM, mereka masih bisa bertahan dengan mengandalkan pendanaan dari
kelas menengah yang berafiliasi langsung dengan mereka.
Kekuatan kelas menengah di tubuh IM
sebenarnya mirip dengan AKP di Turki. Partai yang diusung kalangan islamis ini
juga punya kelas menengah yang mampu menggerakkan roda perekonomian. Karena
itu, menurut Hakan Yavuz dalam Secularism and Muslim Democracy in Turkey,
faktor kelas menengah menjadi determinan bagi keberhasilan kalangan islamis
membangun soliditas gerakan mereka.
Ketiga, IM punya jaringan dan massa militan.
Sebagai organisasi dan pergerakan, IM dikelola secara modern dengan
mengandalkan self financing dan manajemen modern. Mereka menggunakan pengaderan
sebagai instrumen pembentuk kader yang militan dengan visi sebagaimana
digariskan pendiri mereka, Hasan al-Banna dan Sayyed Qutb.
Istimewanya, jaringan dan massa yang militan
itu tidak hanya tersebar di Mesir sebagai basis pergerakan, tetapi juga
berkembang di dunia Arab lain, bahkan di Eropa, Amerika Serikat, dan di Tanah
Air. Mereka punya soliditas dan solidaritas yang sangat tinggi sebagaimana nama
pergerakan mereka Jamaat al-Ikhwan al-Muslimin yang berarti Perkumpulan
Persaudaraan Muslim.
Rahasia
Kemenangan
Ketiga hal itu merupakan fakta yang dapat
menjelaskan rahasia kemenangan telak IM dalam pemilu parlemen pascarevolusi
hingga meraih 47 persen suara. Pertanyaannya, apakah IM akan bersikap keras
sebagaimana para pendiri dan pendahulunya yang cenderung menolak demokrasi dan
anti-Barat atau justru melakukan moderasi dan revitalisasi?
Revolusi yang bergulir pada 25 Januari 2011
yang berhasil menggulingkan rezim Hosni Mubarak merupakan realitas
sosial-politik yang harus dihadapi secara saksama oleh IM. Tuntutan kaum muda
dan mayoritas publik Mesir: demokrasi. Maka, IM tak bisa mengabaikan realitas
sosial politik yang menghendaki demokrasi sebagai sistem alternatif.
Muhammad Badi, tokoh utama IM, dalam Mishr
bayn al-Ams wa al-Yawm, menegaskan bahwa pihaknya berupaya membangun
sungguh-sungguh negara modern yang demokratis, yang berlandaskan prinsip
kewarganegaraan, supremasi hukum, kebebasan, keadilan, pluralisme, hak asasi
manusia, dan pergantian kekuasaan secara damai melalui pemilihan umum yang
bersih, jujur, dan transparan.
Dalam perayaan Natal Kristen Koptik, pemimpin
IM hadir sebagai komitmen mereka membangun demokrasi yang memastikan
perlindungan, harmoni, dan kesetaraan bagi kelompok minoritas. Bahkan, Partai
Kebebasan dan Keadilan (Hizb al-Hurriyyah wa al-’Adalah) sebagai partai yang
berafiliasi langsung dengan IM sejak pendiriannya telah melibatkan kalangan
Kristen Koptik. Salah satu tokoh Kristen Koptik yang menjadi wakil ketua partai
itu ialah Rafiq Habib.
Pemandangan itu merupakan perubahan menarik
yang sedang terjadi di dalam tubuh IM. Sayyed Yasin dalam al-’Aql al-Islami
bayn al-Infitah wa al-Inghilaq menegaskan IM telah berubah signifikan karena
telah meninggalkan kebijakan lama yang secara implisit menolak demokrasi.
Pada 1994, IM mengeluarkan sebuah keputusan
penting tentang pentingnya syura dan multipartai dalam Islam. Pada masa itu, IM
masih alergi dengan istilah demokrasi karena identik dengan politik luar negeri
AS yang diusung George W Bush. Mereka memilih istilah syura daripada demokrasi.
Namun, angin revolusi yang sedang berembus
kencang di ”Negeri Seribu Menara” itu telah menuntut demokrasi sebagai pilihan
alternatif. IM mau tak mau harus berubah radikal dengan menerima dan menegaskan
komitmen mereka terhadap demokratisasi.
Apalagi, demokrasi sama sekali tak
merugikan IM, bahkan justru menguntungkan mereka.
Ganjalan
Serius
Tentu saja dalam rangka mewujudkan demokrasi
yang kukuh, IM akan menghadapi ganjalan serius. Pertama, berkaitan dengan upaya
memulihkan perekonomian Mesir yang dalam beberapa bulan terakhir turun
signifikan akibat situasi keamanan yang makin karut-marut dan lumpuhnya
pemasukan dari sektor pariwisata. IM harus berpikir keras menciptakan lapangan
kerja, menaikkan upah buruh dan gaji pegawai, serta menciptakan rasa aman yang
kian mahal dalam beberapa minggu terakhir.
Kedua, membangun komunikasi yang baik dengan
Barat, khususnya AS. Perdamaian Israel-Mesir yang ditandatangani Anwar Sadat di
Camp David pada 1979 merupakan titik krusial yang akan menentukan keamanan di
kawasan Timur Tengah. Di satu sisi, publik menghendaki agar perjanjian itu
direvisi untuk meningkatkan daya tawar Mesir di hadapan Israel dan AS, tetapi
realitas sosial-ekonomi menghendaki agar Mesir harus membangun sinergi dengan
negara Barat, baik dalam investasi ekonomi maupun pertahanan militer.
Ketiga, fragmentasi pemikiran di dalam tubuh
IM, antara kalangan konservatif dan kalangan moderat. Kalangan konservatif masih
cenderung dengan ideologi Hasan al-Banna dan Sayyed Qutb, sementara kalangan
moderat menghendaki perubahan signifikan, terutama dalam rangka merespons
tuntutan warga Mesir secara umum.
Sebagai sebuah kekuatan politik, IM akan
mengalami pergulatan dinamis. Tidak hanya antara mereka dan pihak lain,
khususnya kalangan salafi, liberal, dan kiri, tetapi juga di lingkungan
internal mereka. Bahkan, pergulatan internal di dalam IM merupakan faktor yang
tak bisa diabaikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar