Uji
Kompetensi Guru
Mohammad Abduhzen, DIREKTUR EKSEKUTIF INSTITUTE FOR EDUCATION REFORM UNIVERSITAS
PARAMADINA JAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 24 Februari 2012
Meskipun ditolak sebagian besar guru,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap akan menyelenggarakan uji
kompetensi awal sebagai persyaratan bagi guru agar dapat mengikuti proses
sertifikasi.
Sekitar 300.000 guru di seluruh Tanah Air,
Sabtu 25 Februari 2012 ini, akan diuji kompetensi untuk memenuhi 250.000 kuota
sertifikasi tahun 2012. Sebelumnya, 1.102.021 guru telah disertifikasi melalui
penilaian portofolio tanpa ujian kompetensi, dan sebagian besar telah menerima
tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.
Istilah uji kompetensi (apalagi menggunakan
”awal”) tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen (UUGD). Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 yang
mendasari penyelenggaraan sertifikasi portofolio, uji kompetensi memang
disebutkan sebagai cara memperoleh sertifikat pendidik bagi guru dalam jabatan
(Pasal 12 Ayat 1). Akan tetapi, maksud uji kompetensi dalam PP ini tidak lebih
dari penilaian portofolio (Pasal 12 Ayat 3). Di sinilah titik awal kekeliruan
dan kekisruhan sertifikasi guru.
Sertifikasi pendidik merupakan upaya serius
dengan fungsi utama memperbaiki kinerja guru. Guru yang berkualitas diharapkan
akan menjadi agen perubahan dalam peningkatan mutu dan pembaruan pendidikan
nasional (UUGD Pasal 4). Oleh sebab itu, setiap langkah sertifikasi senantiasa
dikaitkan dengan kualifikasi, kompetensi, dan pendidikan profesi. Institusi
yang dapat menyelenggarakan sertifikasi pun hanya perguruan tinggi yang
memiliki program pengadaan tenaga kependidikan: terakreditasi; dan ditetapkan
oleh pemerintah.
Dengan demikian, proses sertifikasi yang sesuai
dengan perundang-undangan dan spirit profesionalisme, baik bagi calon guru
maupun bagi guru dalam jabatan, adalah jalur pendidikan dan atau latihan.
PP No 74/2008, khususnya Pasal 4 Ayat (1)
sudah tepat ketika menetapkan bahwa sertifikat pendidik bagi guru diperoleh
hanya melalui program pendidikan profesi. Sayangnya, karena sikap pragmatis
pemerintah dan para guru (yang sering berdemonstrasi) ketika itu, ketentuan
tersebut direduksi menjadi sekadar uji kompetensi dengan penilaian portofolio
seperti tercantum dalam Pasal 12 Ayat (1) dan (3) di atas.
Sertifikasi portofolio
Sertifikasi portofolio yang berlangsung sejak
2007 tersebut hanya menilai berkas-berkas dokumen yang dianggap mendeskripsikan
kompetensi guru. Kebijakan ini oleh berbagai kalangan dianggap keliru dan tidak
berdampak positif terhadap peningkatan kinerja dan kompetensi guru. Fakta
empiris, berupa temuan dari tim monitoring dan evaluasi independen dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang sertifikasi portofolio selama
hampir lima tahun, mendukung anggapan tentang kekeliruan tersebut.
Sertifikasi portofolio telah menyimpangkan
tujuan utama dari perbaikan mutu menjadi peningkatan kesejahteraan.
Kesejahteraan guru memang penting, tetapi mengasumsikan bahwa dengan
peningkatan mutu akan terjadi peningkatan kesejahteraan menurut logika
kausalitas sangat lemah. Pada sisi lain, kegiatan ini dan implikasinya berupa
tunjangan profesi telah menghabiskan biaya triliunan rupiah (tahun 2011 saja
sekitar Rp 15 triliun).
Kenyataan ini kemudian mendorong Mendikbud
membuat kebijakan baru untuk peningkatan kompetensi dan profesionalisme dalam
proses sertifikasi guru. Kebijakan itu berupa penggantian prosedur sertifikasi
portofolio dengan pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) yang didahului
oleh seleksi melalui uji kompetensi awal. Jadi, uji kompetensi awal pada
hakikatnya adalah koreksi atas kekeliruan sertifikasi model portofolio.
Iktikad baik Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mengembalikan sertifikasi kepada filosofi perbaikan mutu seperti tuntutan
undang-undang patut dihargai. Namun, sebagai sesuatu yang menyangkut hajat
orang banyak, kebijakan tersebut sepatutnya disertai oleh rasionalitas,
legalitas, dan akseptabilitas yang baik pula.
Penyelenggaraan uji kompetensi awal yang
dikaitkan dengan seleksi sertifikasi bukanlah ide yang baik karena
keterkaitannya dengan peningkatan mutu kurang begitu jelas. Jika kegiatan ini
dimaksudkan sebagai upaya pemetaan kompetensi dan mutu guru—sebagaimana sering
dikemukakan oleh Mendikbud dan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kemdikbud—selain diskriminatif dan
kontraproduktif, juga secara metodologis tidaklah tepat.
Sekarang ada sekitar 2,4 juta guru yang telah
lama menanti untuk disertifikasi hingga akhir 2015. Mereka merasakan kecemasan
dan ketidakadilan dengan diwajibkan mengikuti uji kompetensi awal dan PLPG.
Sementara lebih dari 1 juta teman mereka telah disertifikasi dan menikmati
tunjangan profesi tanpa direpotkan oleh ujian dan pelatihan (kecuali yang tidak
lulus portofolio). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebaiknya belajar dari
berbagai kasus pada ujian nasional (UN). Kebijakan yang dipaksakan pada situasi
yang tidak siap hanya akan menghasilkan formalitas yang berdampak buruk.
Butuh strategi baru
Pemetaan kompetensi dan mutu guru memang
sangat penting. Peta tersebut seharusnya sudah dimiliki oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sebelum gebyar kebijakan profesionalisme ini
dilakukan.
Selain itu, upaya pemetaan mutu selayaknya merepresentasikan
kondisi riil kualitas guru pada suatu masa secara menyeluruh. Metode uji
kompetensi awal tidak memadai untuk pemetaan serupa itu. Oleh karena itu,
pemerintah sebaiknya memilih cara lain yang secara metodologis lebih bisa
dipertanggungjawabkan dan hasilnya lebih berdaya guna, tidak sekadar
persyaratan dan dikaitkan dengan keikutsertaan pada PLPG.
Kebijakan sertifikasi guru selama ini telah
telanjur berjalan dengan paradigma kesejahteraan, dan para guru pun terjebak
dalam euforia tunjangan profesi. Kita tak lagi dapat mengharapkan peningkatan
mutu guru dan perbaikan kualitas pendidikan nasional melalui upaya sertifikasi
yang ada. Upaya apa pun untuk memperbaikinya akan selalu menimbulkan resistansi
kecuali kebijakan yang mempermudah proses tersebut.
Maka, sikap bijak dari pemerintah, meskipun
pahit, adalah menuntaskan sertifikasi segera tanpa uji kompetensi awal.
Sementara untuk meningkatkan mutu dibutuhkan strategi baru dalam platform
reformasi yang utuh dan menyeluruh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar