Surat
untuk Presiden
Acep Iwan Saidi, KETUA FORUM STUDI KEBUDAYAAN FSRD ITB
Sumber
: KOMPAS, 23 Februari 2012
Selamat malam, Pak Presiden! Dari Daniel
Sparringa, salah seorang staf Anda, yang berbicara pada acara Soegeng Sarjadi
Syndicate di TVRI—maaf lupa tanggal tayangnya—saya mendapat informasi bahwa
Anda sering bangun malam. Katanya lagi, Anda membaca dan merenung, memikirkan
berbagai permasalahan bangsa yang kian hari kian jelimet, kian ruwet.
Oleh karena itu, saya alamatkan surat ini
kepada Anda yang begitu ”mengakrabi malam”. Saya pun menulisnya dalam larut,
sehari setelah menyaksikan kesaksian Angelina Sondakh untuk kasus yang kita semua
sudah tahu belaka itu.
Angie yang cantik, kita juga tahu, adalah
salah satu pejabat tinggi di partai yang Bapak bina. Artinya, langsung atau
tidak, Angie adalah binaan Anda.
Pak Presiden, sebelumnya perlu Anda ketahui
bahwa pada pemilihan presiden tahun 2004, saya adalah salah seorang yang
memilih Anda.
Tentu saja, sebagai orang yang merasa diri
intelektual, saya tidak sembarang memilih. Sebelum menentukan pilihan, saya
merasa wajib untuk melakukan ”riset kecil-kecilan”, mulai dari menelusuri
kehidupan masa kecil hingga perilaku paling mutakhir para calon presiden saat
itu.
Pilihan saya jatuh kepada Anda karena pada
waktu itu Anda mengingatkan saya pada sosok Arok dalam roman Arok Dedes karya
Pramoedya Ananta Toer.
Tentang
Arok
Dengarlah apa yang dicatat Pram tentang Arok
melalui mulut tokoh Dang Hyang Lohgawe berikut ini. ”Dengan api Hyang Bathara
Guru dalam dadamu, dengan ketajaman parasyu Hyang Ganesya, dengan keperkasaan
Hyang Durga Mahisa suramardini, kaulah Arok, kaulah pembangun ajaran, pembangun
negeri sekaligus. Dengarkan kalian semua, sejak detik ini, dalam kesaksian
Hyang Bathara Guru yang berpadu dalam Brahma, Syiwa, dan Wisynu dengan semua
syaktinya, aku turunkan pada anak ini nama yang akan membawanya pada kenyataan
sebagai bagian dari cakrawati. Kenyataan itu kini masih membara dalam dirimu.
Arok namamu” (1999: 53).
Demikianlah, Pak Presiden, imajinasi saya
tentang Anda kala itu. Namun, dalam perjalanannya, perlahan-lahan imajinasi
tersebut pupus. Entah karena apa, dalam mata batin saya, gambaran tritunggal
(Brahma, Syiwa, dan Wisynu) sirna dari diri Anda. Saya tidak lagi merasakan
sorot mata Sudra, sikap Satria, dan esensi Brahmana.
Hingga hari ini, Anda memang sangat santun,
tetapi kesantunan itu terasa tak memiliki aura. Memandang Anda—artinya mencoba
mengerti dan menerima kepemimpinan Anda—saya seperti menatap sebuah potret
dalam bingkai. Sebuah potret, tentu bukanlah realitas sebenarnya. Ia adalah
realitas citra.
Barangkali tidak ada yang salah dengan Anda,
Pak Presiden. Kekuasaan, dalam sejarah bangsa mana pun, memang memiliki
karakter pengisap. Barangsiapa tidak mampu menaklukkannya, ia akan tersedot
hingga ke rangka. Sirnanya tritunggal yang saya imajinasikan terdapat pada
sosok Anda kiranya juga karena isapan gravitasi kuasa tersebut.
Matinya tritunggal sedemikian meniscayakan
hidupnya kelemahan tak terelakkan pada diri Anda. Lihatlah, sayap Anda patah.
Anda tidak mampu menjadi ”Garuda Yang Terbang Sendiri”—meminjam judul drama
Sanoesi Pane. Ada semacam kekhawatiran pada diri Anda jika terbang sedemikian,
yakni kecemasan untuk tidak bisa kembali hinggap pada takhta yang notabene
mengisap Anda secara terus-menerus itu. Anda lebih suka diisap daripada
menyedot habis daya kuasa. Anda dikuasai, bukan menguasai.
Itulah kiranya, disadari atau tidak, yang
membuat Anda selalu terjaga saat larut seperti dikisahkan Sparringa. Tanpa
keluh kesah kepada Sparringa, saya pikir tubuh Anda sendiri telah berbicara. Di
balik baju kebesaran presiden, Anda tidak bisa mengelak kalau sorot mata Anda
makin sayu, satu-dua keriput bertambah di wajah Anda. Jika saja Anda bukan
presiden, barangkali sepanjang hari Anda akan tampak lusuh, layaknya seorang
bapak yang capek memikirkan ulah anak-anaknya yang kelewat nakal. Wajah Anda
tak lagi bersinar seperti sebelum jadi penguasa.
Gara-gara
Korupsi
Pemberantasan korupsi yang menjadi jargon
partai binaan Anda, Pak Presiden, itulah yang saya pikir menambah satu-dua
kerutan di wajah Anda tahun-tahun terakhir ini. Saya yakin Anda dan keluarga
tidak melakukan tindakan kriminal tersebut, tetapi Anda terjebak dalam kepungan
para bandit.
Kiranya Anda juga sang pemilik gagasan besar
jargon pemberantasan korupsi tadi sehingga dengan sangat yakin Anda memasang
badan di barisan paling depan pendekar pembunuh koruptor. Sayang, nyatanya Anda
dikhianati. Anda jadi sandera di dalam jargon yang Anda gagas. Akibatnya, Anda
menjadi sangat lemah. Anda tahu kepada siapa Anda mesti marah, tetapi Anda juga
tahu hal itu tidak mungkin dilakukan. Ah, betapa menyakitkan hidup seperti itu.
Pak Presiden yang terhormat,
Malam semakin larut, tetapi kian gelap dan
sunyi di luar, kian benderang hati kita di dalam. Drama Nazar dan Angie
pastilah akan semakin jelas jika ditatap dalam suasana seperti ini.
Ketahuilah, penyelesaian kasus pelik yang
menimpa mereka, juga banyak kasus lain, hanya bertumpu kepada Anda. Sekuat apa
pun KPK, saya tidak yakin lembaga ini bisa menyelesaikannya. Anda mungkin tidak
mengintervensi KPK dan penegak hukum dalam arti negatif, tetapi ketahuilah,
tangan Anda bisa memanjang tanpa Anda ketahui, kekuasaan Anda bisa membengkak
tanpa Anda sadari.
Ingatlah selalu bahwa Anda sedang
terus-menerus dikhianati. Jadi, mohon keluarlah. Anda sudah mampu menguasai
malam. Itu artinya Anda bisa menyongsong fajar saat semua makhluk sedang lelap.
Ini kali saatnya Anda meradang, dan menerjang—meminjam sajak Chairil Anwar.
Jadilah garuda agar kami menjadikan Anda lambang yang selamanya terpatri di
dada.
Saya seorang dosen, Pak Presiden. Nyaris
setiap hari saya membicarakan hal-hal ideal dengan mahasiswa. Kepada para
mahasiswa saya selalu mengajarkan mimpi tentang Indonesia yang lebih baik di
masa depan. Jadi, tolong saya, Pak Presiden, tolong bantu saya untuk menjadikan
ajaran itu bukan ilusi, apalagi dusta.
Maka, jawablah permohonan ini dengan sebuah
tindakan: bahwa besok pagi, saat fajar tuntas memintal malam, Anda akan menjadi
presiden yang revolusioner. Atas apa pun yang bernama kuasa, jadikanlah diri
Anda Arok, sang pembangun itu! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar