Tugas
Ketua MA Baru
Oce Madril, DOSEN
FAKULTAS HUKUM UGM;
PENELITI DI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FAKULTAS HUKUM UGM
Sumber
: KORAN TEMPO, 24 Februari 2012
Sungguh menarik setiap kali mencermati
laporan yang disajikan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Dari ribuan lebih laporan hasil analisis (LHA)-PPATK, sangat sedikit yang
ditindaklanjuti dan diperkarakan aparat penegak hukum (Polri, Kejaksaan, maupun
KPK).
Tak aneh kalau akhirnya PPATK sering
“bernyanyi” di luaran. Temuan terakhir menyatakan transaksi keuangan
mencurigakan marak terjadi di Kemenkeu (Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai)
dan pemerintahan daerah (pemda).
Temuan tersebut merupakan hasil analisis
PPATK terhadap 630 kasus transaksi mencurigakan yang melibatkan PNS mulai 2003
hingga 2011, tercatat melibatkan PNS pusat maupun daerah. Nilai transaksi
mencurigakan mulai dari Rp 1-5 miliar lebih.
Biasanya dilakukan dengan cara menggeser uang
dalam pos Dana Alokasi Khusus dan
Umum, dari rekening dinas ke rekening
pribadi, kemudian yang bersangkutan mendapatkan bunganya.
Inilah “nyanyian” pejabat PPATK terbaru,
menyusul nyanyian-nyanyian lainnya. Ini memperlihatkan kegundahan dari lembaga
sekelas PPATK. Maklum, PPATK memang tanpa taring dan gigi untuk menangkap dan
mengadili para koruptor.
PPATK hanya sekadar lembaga independen yang
dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Lembaga ini hanya menghasilkan LHA, yang perlu ditindaklanjuti aparat penegak
hukum.
Kendati demikian, LHA sebenarnya bisa
dijadikan pintu masuk bagi para aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dan
memproses secara hukum para koruptor dan pencuci uang.
Justru laporan yang berjumlah ribuan
ini, apabila ditelusuri, mungkin memerlukan personel aparat penegak hukum yang
sangat besar. Mungkin, pihak aparat hukumnya justru yang tidak siap dengan
banyaknya kasus korupsi yang akan ditangani. Kamar penjara mungkin tidak akan
cukup untuk menampung para koruptor yang tertangkap di Indonesia.
Rekening Koruptor
Menurut UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU) yang sudah direvisi dengan UU No 25 Tahun 2003, khususnya
Pasal 13, para Pengelola Jasa Keuangan (PJK) wajib menyampaikan kepada PPATK
untuk dua hal.
Pertama, laporan transaksi keuangan
mencurigakan (LTKM), dan kedua, transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai
(baik setor maupun tarik tunai) (LTKT) dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau
lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara, baik yang dilakukan dalam
satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari (dari satu
rekening yang sama).
Hal yang pertama sangat sering dijumpai,
yakni transaksi tak wajar (unusual transactions), di mana transaksi yang
dilakukan keluar dari profil nasabah yang bersangkutan.
Mengapa dikatakan transaksi tak wajar sering
terjadi di bank, karena hampir semua pelaku kejahatan keuangan (termasuk
koruptor) bisa dipastikan memiliki rekening di bank/PJK lainnya. Di sini pihak
PJK sebenarnya sudah memiliki profil dari nasabah, termasuk profil sang
koruptor.
Pada saat awal berhubungan dengan pihak PJK,
nasabah biasanya diwajibkan mengisi formulir know your customer (KYC) yang
berfungsi mengetahui profil dan karakteristik transaksi dari nasabah yang
bersangkutan. Di sinilah titik awal para pengelola PJK mengenal nasabahnya,
termasuk profil dan kekuatan keuangannya.
Logikanya, para PJK semestinya juga bisa
mengendus dan mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan
si pelaku tindak kejahatan keuangan tersebut.
Misalnya, seorang pegawai negeri golongan
III-D dengan kisaran penghasilan di bawah Rp 50 juta per tahun kok tiba-tiba
melakukan transaksi keuangan di atas profil yang tersedia, maka sistem komputer
secara otomatis akan mengeluarkan laporan keuangan mencurigakan pada akhir
harinya.
Oleh PJK, transaksi ini akan dilaporkan ke
pihak PPATK setiap akhir bulan. Di sinilah pentingnya laporan PPATK, yang akan
menganalisis LTKM dari para PJK.
Apabila LTKM pada satu orang ini dilakukan di
banyak PJK dengan identitas yang sama, pihak PPATK biasanya akan memberikan
rekomendasi bahwa transaksi keuangan dari seseorang tersebut berindikasi
menyimpang dan perlu ditelusuri lebih lanjut.
Apabila semua PJK, seperti halnya bank,
asuransi, pedagang valas, pemain pasar modal, manajer investasi, multifinance,
kospin, leasing, diler mobil, pengembang (developer), agen properti, sudah
memberikan LTKM ke pihak PPATK, bisa dipastikan ruang gerak para koruptor
dan pencuci uang akan semakin terbatas.
Sayangnya, belum begitu banyak para koruptor
yang terjerat hukum, akibat pelaporan langsung dari para PJK, yang kemudian
dianalisis PPATK. Padahal, LHA-PPATK ini bisa dijadikan entry point bagi
para aparat penegak hukum untuk segera bergerak dan “mengobok-obok” para
koruptor.
Nyanyian merdu rekening gendut PNS muda
semestinya menjadi momentum bagi aparat penegak hukum untuk memprosesnya lebih
lanjut. Persoalannya, juga belum banyak PJK yang mau memberikan secara rutin
LTKM ke PPATK. Banyak alasan yang mendasarinya sehingga mereka belum tertib
menyampaikan LTKM.
Namun, di atas semua itu, tindak lanjut dari
LHA-PPATK sebenarnya sangat ditunggu masyarakat banyak. Aneka kepentingan
(politik-ekonomis) semestinya disingkirkan dan kepentingan publiklah yang
diutamakan. Para aparat penegak hukum tidak perlu takut karena tekanan dari
berbagai pihak.
Tekanan yang bergitu besar dari masyarakat sebenarnya
yang harus diutamakan, yakni memberdayakan LHA-PPATK semaksimal mungkin. Ini
karena di sanalah muara dari berbagai transaksi ilegal dari para koruptor.
Masyarakat menunggu kiprah lebih lanjut dari para aparat penegak hukum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar