Penyakit
dan Kesejahteraan
Zaenal Abidin, KETUA UMUM TERPILIH PENGURUS BESAR IKATAN
DOKTER INDONESIA (IDI)
Sumber
: SINDO, 27 Februari 2012
Negara
yang mempunyai status kesehatan rendah akan mengeluarkan biaya sangat besar
untuk mengobati dan menyembuhkan penyakit rakyatnya.Demikian halnya, negara
yang memiliki status kesehatan rendah, policy pemerintahnya dalam
mengalokasikan anggaran kesehatan cenderung melihat biaya dan belanja kesehatan
sebagai konsumsi,bukan investasi.
Negara tersebut akan cenderung berkutat di “hilir” dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakatnya.Mereka sibuk membangun rumah sakit, melengkapi dengan peralatan sangat mahal,lalu menganggap upayanya dalam menanggulangi masalah kesehatan rakyat sudah benar. Badan kesehatan dunia WHO pada 2004 melaporkan bahwa Indonesia memiliki status kesehatan yang lebih rendah dibandingkan negaranegara Asia Tenggara lainnya, bahkan lebih buruk dibandingkan Vietnam.
Pada 2000,WHO juga mengemukakan bahwa kinerja sistem kesehatan Indonesia berada pada urutan ke- 92. Hal ini berarti Indonesia berada pada posisi yang jauh lebih rendah dari Malaysia (49),Thailand (47),dan Filipina (60).Rendahnya kinerja sistem kesehatan Indonesia sangat berkorelasi dengan rendahnya belanja kesehatannya. Secara nominal alokasi anggaran Kementerian Kesehatan Indonesia memang meningkat setiap tahun.
Dalam UU tentang APBN 2011, anggaran kesehatan di luar komponen gaji sebesar Rp25,75 triliun atau 1,94 % dari total APBN 2011. Sedangkan pada 2012,Kementerian Kesehatan mendapatkan anggaran sebesar Rp29,9 triliun.Walau demikian, anggaran ini masih di bawah 5% dari APBN di luar gaji,sebagaimana yang diamanatkan Pasal 171 (1) UU Nomor 36 tentang Kesehatan Tahun 2009 dan sesuai standar WHO tentang pembiayaan kesehatan suatu negara.
Rendahnya pembiayaan kesehatan suatu negara merupakan salah satu petunjuk rendahnya komitmen pemerintah dan lemahnya kebijakan sosial bidang kesehatan.Berarti pula bahwa tidak ada yang gratis untuk pemenuhan kesehatan rakyat. Para penggiat sektor kesehatan masih harus berjuang keras agar pembiayaan kesehatan rakyat banyak dapat terpenuhi sebagaimana janji peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesalahan Berpikir
Persoalan semakin menjadi- jadi ketika kesehatan hanya dipahami secara statis, terbatas pada keadaan “sehat dalam arti tidak sakit” dan “sakit dalam arti tidak sehat”. Tingkatan keadaan sehat atau sakit kurang dimengerti. Upaya peningkatan kualitas kesehatan yang mestinya dilakukan pada waktu sehat kurang diperhatikan. Sisi sehat dari pembangunan kesehatan kurang mendapat tempat.
Padahal pemeliharaan kesehatan , mencegah penyakit, nilainya jauh lebih mulia dan lebih baik dibanding mengobati orang sakit. Di Indonesia, orang sakit tidak sampai 15% dari populasi. Sisanya orang sehat, yang bila tidak mendapat perhatian, sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit. Mayoritas orang yang sehat inilah yang mestinya secara seimbang menjadi fokus pembangunan kesehatan agar mereka tetap sehat dan produktif.
Di sinilah letak kesalahan berpikir saat ini. Kesehatan melulu dilihat sebagai soal pengobatan, bukan mempertahankan agar rakyat tetap sehat atau mencegah penyakit. Akibat itu, kesehatan belum dihitung sebagai investasi dan pembangunan kesehatan tidak dipandang sebagai tabungan. Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan pemerintah pusat menyerahkan urusan kesehatan kepada pemerintah daerah.
Ternyata tidak banyak daerah yang sudah menganggarkan hingga 10% dari APBD di luar gaji, sesuai Pasal 171 (2) UU Nomor 36 tentang Kesehatan, 2009. Tantangan lain ada pada implementasi Sistem Jaminan Kesehatan Universal sebagaimana diatur UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No 24 tentang BPJS yang baru saja disahkan. Layanan kesehatan cuma-cuma lewat jaminan kesehatan selama ini belum menyelesaikan masalah biaya pelayanan kesehatan.
Sementara penduduk yang bisa mengakses pelayanan kesehatan dengan menggunakan jaminan sosial hanyalah yang bermukim di dekat fasilitas pelayanan kesehatan, yakni mereka yang berada di wilayah perkotaan. Persoalan lain adalah kurang berfungsinya layanan kesehatan dan kedokteran primer sebagai penyangga (buffer) di masyarakat.
Karena itu,strategi jitu untuk mengejar tenggat waktu adalah melakukan revolusi pada sistem kesehatan yang sementara berjalan, dengan menuntaskan agenda revitalisasi layanan kesehatan dan kedokteran di garda terdepan. Di sinilah letak kunci keberhasilan penguasaan dan pengendalian penyakit di sektor hulu. Harus ada gatekeeper yang kuat dan gatekeeper itu adalah dokter umum bersama tim, yang bekerja di sektor layanan primer.
Di dalamnya terdapat perawat, bidan, ahli kesehatan masyarakat, ahli gizi, ahli farmasi, dan sebagainya lain, bekerja bahumembahu, melakukan program pendampingan dan pemberdayaan kesehatan masyarakat. Saat ini tugas dokter ke pelosok atau daerah terpencil bukanlah kewajiban, melainkan menjadi pilihan. Wajar bila laporan dari Pusrengun (Anna Kurniati, 2007) menyebutkan, 30% dari 7.500 puskesmas di daerah terpencil tidak memiliki dokter.
Padahal pemerintah sudah mengimingimingi dengan insentif yang besar. Karena itu, sering timbul pertanyaan, apakah dokter dan bidan telah luntur atau kehilangan kepedulian sosialnya untuk mewakafkan diri bertugas di pelosok terpencil? Ternyata masalahnya mungkin saja bukan soal insentif yang kurang menarik, melainkan lebih pada infrastruktur dasar di daerah sangat terpencil, tak ada listrik, sulit saluran komunikasi, sulit air bersih, dan sebagainya. Karena itu, persolan ini tidak cukup untuk sekadar diratapi, tapi harus diupayakan maksimal secara kreatif dan inovatif oleh pengambil kebijakan.
Health Centre
Kadangkala terjadi keteledoran dalam kebijakan pembangunan kesehatan di Indonesia. Pemerintah berlomba mengambil jalan pintas dengan membangun begitu banyak rumah sakit dan alat canggih yang melimpah ruah di dalamnya. Pembangunan kesehatan kian bersifat fisik,mekanistik, kapitalistik, dan sekaligus kuratif.
Memang benar bahwa tidak ada yang salah pada kuratif dan sesungguhnya kuratif itu bukan hal yang negatif, pelayanan kuratif tetap penting, tapi harus berimbang dengan upaya kesehatan yang lain. Tentu juga kurang tepat bila menempatkan kuratif sebagai lawan dari preventif karena mengobati orang sakit adalah bagian dari upaya memutus mata rantai penyakit.
Karena itu, sejatinya upaya kuratif juga upaya preventif. Selain usaha kesehatan preventif, dikenal pula istilah pengobatan preventif. Pengobatan preventif dilakukan pada waktu permulaan penyakit agar tidak bertambah parah dan lebih sukar menyembuhkannya. Berkaitan dengan aktivitas preventif dan promotif,mungkin tidak ada salahnya kembali mencontoh sesuatu yang baik dari pengelolaan puskesmas di masa lalu, pada periode-periode awal berdirinya.
Puskesmas bermula dari program kesehatan masyarakat desa yang membutuhkan sarana untuk ditempatkan di kecamatan, yang disebut “health centre” atau puskesmas.Aktivitas utama kesehatan masyarakat desa adalah promotif dan preventif. Mulai dari program kesehatan sekolah, pengajaran sanitasi dan higienis, kebun sekolah, perbaikan gizi, kebun keluarga, peternakan keluarga, pemberantasan penyakit endemik, pencegahan wabah,balai pengobatan, serta pendidikan kesehatan rakyat.
Semuanya diselenggarakan dengan melibatkan partisipasi aktif anggota masyarakat. Untuk menyehatkan rakyat, pelayanan kesehatan harus difasilitasi pemerintah dan dirasakan manfaatnya, setidaknya mulai dari hulu, yaitu layanan primer seperti puskesmas. Puskesmas harus fungsional dan beroperasi secara optimal agar penyakit bisa dikendalikan dan dikuasai dari hulu, bukan ditanggulangi di hilir.
Puskesmas hendaknya lebih mengutamakan program yang bernilai promotifpreventif agar mampu mengendalikan dan menguasai penyakit masyarakat. Kala Winisesa Batara Sri: “Menguasai penyakit akan mendatangkan kesejahteraan”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar