Darurat
Premanisme
Kiki Syahnakri, KETUA DEWAN PENGKAJIAN PERSATUAN PURNAWIRAWAN ANGKATAN DARAT
Sumber
: KOMPAS, 28 Februari 2012
Jumat, 24 Februari 2012, harian ini
menurunkan berita utama di halaman depan dengan judul: ”Tak Ada Tempat bagi
Premanisme”. Berita tersebut mewartakan kembali aksi premanisme di Rumah Duka
RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, rumah sakit milik TNI Angkatan Darat, Kamis
(23/2) dini hari. Tercatat, dua orang tewas akibat serangan brutal oleh sekitar
50 preman bersenjatakan parang tersebut.
Aksi kriminalis ini mengangkat lagi memori
kita tentang berbagai aksi premanisme yang mengakibatkan korban jiwa,
termasuk tewasnya Irzen Octa (Sekjen Partai Pemersatu Bangsa)
setelah dianiaya para debt collector suruhan sebuah bank swasta berkelas
internasional. Kali ini aksi preman malah merangsek hingga ke kompleks milik
militer. Meski bukan di markas prajurit, kompleks RSPAD termasuk
properti dan simbol eksistensi TNI AD.
Sudah
Amat Akut
Judul berita Kompas di atas, ”Tak Ada Tempat
bagi Premanisme”, lebih merupakan harapan ketimbang kenyataan. Secara
riil-faktual, fenomena premanisme malah telah merambah ke mana-mana. Ia hadir
dalam berbagai ranah publik dan termanifestasi secara halus ataupun kasar,
bahkan brutal.
Sebenarnya premanisme bisa terjadi di
mana-mana, termasuk di negara makmur sekalipun. Keberadaannya di Indonesia
sudah muncul sejak lama. Bahkan, mungkin sejak era kerajaan-kerajaan di
Nusantara pun premanisme sudah hidup.
Namun, berita aksi anarkistis, bahkan brutal,
oleh para preman di Indonesia beberapa tahun belakangan ini sungguh menyesakkan
dada sekaligus memuakkan. Aksi penyerangan dan pembunuhan di RSPAD Gatot
Soebroto, Jakarta, menunjukkan bahwa mereka sudah tidak lagi menghargai dan
segan terhadap simbol TNI. Benar bahwa rumah duka tersebut dikelola
oleh pihak swasta dan menjadi ruang publik. Namun, kenyataannya bangunan
tersebut terletak di tengah-tengah kesatrian AD sehingga aksi itu sangat
menyinggung perasaan anggota TNI, termasuk para purnawirawan.
Virus premanisme di negara ini sudah berkembang
ke berbagai lapisan masyarakat: dari bawah sampai kalangan elite. Wajahnya pun
beraneka ragam dan umumnya terorganisasi dengan baik; dari organisasi yang
terang-terangan sebagai preman, berkedok sebagai organisasi masyarakat, sebagai
debt collector di beberapa bank, bahkan terdapat pula organisasi dengan label
agama.
Anarkisme dan brutalitasnya sudah cenderung
membudaya. Korban nyawa, luka-luka, dan harta benda yang ditimbulkan sudah amat
besar. Lebih dari itu, dampak sosial yang diakibatkan, seperti rasa ketakutan
masyarakat serta ketidakpercayaan terhadap aparat keamanan dan aparat hukum,
pun sudah amat meluas.
Dengan demikian, kondisi premanisme di
Indonesia dapat dikatakan sudah amat akut atau berada pada stadium tinggi. Itu
sebabnya penulis menyebut situasi keamanan terkait fenomena ini sebagai
”darurat premanisme”.
Hukum
Tidak Berjalan
Keadaan di atas tidak hanya diakibatkan oleh
tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, tetapi yang lebih mendasar adalah lemahnya
penegakan hukum di Indonesia. Merebaknya mafia hukum, mafia peradilan,
perdagangan hukum, dan semacamnya sudah menjadi rahasia umum.
Hukum tidak lagi mengayomi masyarakat. Para
pencari keadilan umumnya akan gagal atau tidak akan mendapatkannya ketika dia
melapor kepada aparat penegak hukum.
Bahkan, tersebar luas keluhan bahwa apabila
mereka melapor kepada penegak hukum, masalah yang dihadapi tidak akan selesai,
sebaliknya malah akan kehilangan sejumlah uang. Ada humor sinikal tentang hal
ini: ”melaporkan kemalingan ayam malah kehilangan kambing”.
Oleh karena itu, pantas kalau pada akhirnya
mereka memilih jalan pintas: meminta bantuan pada kelompok preman. Beberapa
pengguna jasa preman pernah mengemukakan bahwa memang mereka harus mengeluarkan
dana besar, tetapi pada umumnya masalah akan terselesaikan ketimbang
menggunakan jalur hukum formal.
Tanggung
Jawab Pemerintah
Keadaan ini tak boleh dibiarkan karena akan
menghancurkan rasa aman dan keadilan rakyat secara total. Pemerintah harus
segera mengambil langkah serius dan konkret, mengingat masalah ini merupakan
tanggung jawabnya. Kondisi semacam ini tidak bisa lagi direspons hanya dengan
retorika dalam rapat kabinet atau berbicara elok di depan media. Harus
dikeluarkan instruksi yang jelas-tegas, dikuti dengan kontrol yang ketat dan
disertai sanksi keras bagi aparat bawahan yang tidak mampu menyelesaikan
masalah.
Tindakan tegas dalam bidang hukum dan
keamanan tidak hanya melahirkan dan meningkatkan rasa aman masyarakat, tetapi
juga niscaya berimbas pada aspek-aspek kehidupan bangsa lain. Tingkat keamanan
yang tinggi akan menjamin stabilitas di bidang politik dan ekonomi, termasuk
investasi yang berdampak pada perbaikan mutu hidup rakyat.
Selain itu, kini saatnya menerapkan budaya
malu di kalangan aparat. Para pejabat yang gagal atau tidak mampu
melaksanakan tugas seyogianya dengan sukarela dan penuh kesadaran segera
mengundurkan diri dari jabatannya, tanpa harus diturunkan atasan atau didesak
masyarakat untuk turun. Budaya ini masih teramat langka di kalangan pejabat
negeri ini, bahkan terlihat tendensi untuk makin kuat mempertahankan posisi
meski sudah terbukti atau terindikasi kuat melakukan tindak pidana korupsi,
misalnya.
Dalam pigura inilah perlu ada keteladanan
atau kepeloporan dari para pejabat tinggi negara, kalau perlu dari pejabat
tertinggi di negeri ini. Rakyat memang sudah ”mati rasa” terhadap janji, mereka
rindu bukti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar