Bukan
Lagi Rezim Preman
Ismatillah A Nu’ad, PENELITI
PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN
UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA
Sumber
: SUARA MERDEKA, 27 Februari 2012
BERMULA terbunuhnya
bos PT Sanex, Ayung alias Tan Hari Tantono (50) di Swiss-Belhotel, Jakarta
Pusat pada Kamis 26 Januari 2012, nama John Refra alias John Kei segera muncul
sebagai sosok menakutkan. Keberadaan John Kei di Swiss-Belhotel saat kejadian
dinyana kuat terlibat dalam pembunuhan itu, meski pengacaranya membantah
keterlibatan kliennya.
Kei ditangkap melalui penggerebekan yang konon melibatkan sedikitnya 80 polisi di Hotel C’One Pulomas Jakarta Timur. Tembakan di kakinya, membuatnya tak berkutik. Kei diduga kuat dibayar sebagai debt collector, menyusul Ayung terlibat kasus piutang. Saat Kei menjalani proses perawatan di RS Polri Kramat Jati, secara tak terduga Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Untung S Rajab menjenguknya, membuat banyak pihak bertanya-tanya apa kepentingan dan motif kunjungannya. Itu pula menimbulkan banyak stigma, publik menilai sebegitu besarkah pengaruh John Kei sehingga seorang kapolda harus membesuknya?
Saat kasus John Kei masih menghiasi berbagai media massa, satu peristiwa di luar dugaan terjadi, penyerangan terhadap Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta Pusat, dini hari Kamis 23 Februari 2012 oleh sekelompok orang. Publik bertanya, bagaimana mungkin, aset ”berwibawa”, basis kesehatan militer, bisa kecolongan aksi premanisme?
Menurut Humas Polda Metro Jaya, penyerangan di RSPAD terjadi antara dua kelompok Ambon. Kejadian berawal saat 6 orang (ada yang menyebut 8) sedang melayat rekannya Bob Stanley Sahusilawane yang disemayamkan di ruang A eksekutif. Tiba-tiba datang puluhan orang bersenjata tajam menyerang. Mereka yang diserang tanpa persiapan apa-apa.
Dua kasus kekerasan dan aksi premanisme membuat resah masyarakat. Publik merasa takut jika sewaktu-waktu aksi premanisme menimpa mereka. Di Jakarta, premanisme dalam bentuk apa pun, mudah dijumpai, di jalanan, tempat hiburan hingga parkir kendaraan. Aparat kepolisian dituntut lebih tegas dan tak tebang pilih. Meski ada dugaan, bahwa ada elite dari aparat kepolisian atau militer terlibat dalam bisnis keamanan, terutama sebagai pengaman bisnis hiburan atau jasa penagihan (debt collector).
Terlibat Bisnis
Tengara itu sejatinya sudah lama, misalnya karya Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (1986) menyebutkan keterlibatan militer dalam berbagai bisnis di Tanah Air, terutama di Jakarta. Dalam kasus di dunia militer pada zaman Orde Baru, menurut Crouch bahkan bukan bisnis ecek-ecek seperti pengamanan tempat hiburan melainkan bisnis kakap.
Pada bisnis formal bisa dilihat ketika pada 1960-an Pertamina diambil alih pengelolaannya oleh militer (saat itu kepolisian masih di bawah militer) atas perintah KSAD. Lalu ketika Orde Baru berkuasa, militer meningkatkan ekspansi dengan mengelola Bulog yang didukung dana kredit BI.
Tentu saja keterlibatan militer dan polisi dalam bisnis formal dan informal, tak diajarkan dalam pendidikan mereka. Selain bertentangan dengan profesionalisme dan mengurangi peranan militer dan polisi sebagai alat pertahanan dan keamanan, secara ekonomi mereka bukanlah pemodal yang berkecukupan dana untuk berinvestasi. Dihubungkan dengan keterampilan dalam mengelola bisnis, militer dan juga polisi tidak dididik untuk berdagang.
Karena itulah, salah satu tuntutan reformasi pada 1998, ada istilah bahwa militer (dan juga polisi), harus kembali ke barak. Mengingat selama itu, profesionalisme mereka terbelah karena ada faktor kepentingan bisnis. Karena faktor kepentingan bisnis itu pulalah, premanisme pun ikut menyeruak, akhirnya publik yang menjadi sasaran dan korbannya. Publik mengira, pada zaman reformasi ini bisnis pengamanan oleh elite aparat keamanan negara secara sendirinya berakhir, tapi faktanya tidak.
Kasus kerusuhan di tempat hiburan Blowfish tahun 2010, John Kei, dan kekerasan di RSPAD memperlihatkan masih ada premanisme di republik ini, bahkan makin menyeruak. Aparat keamanan dituntut bekerja profesional, jangan ada lagi beking-membeking, kasihan rakyat yang kini ketakutan akibat teror premanisme. ●
Kei ditangkap melalui penggerebekan yang konon melibatkan sedikitnya 80 polisi di Hotel C’One Pulomas Jakarta Timur. Tembakan di kakinya, membuatnya tak berkutik. Kei diduga kuat dibayar sebagai debt collector, menyusul Ayung terlibat kasus piutang. Saat Kei menjalani proses perawatan di RS Polri Kramat Jati, secara tak terduga Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Untung S Rajab menjenguknya, membuat banyak pihak bertanya-tanya apa kepentingan dan motif kunjungannya. Itu pula menimbulkan banyak stigma, publik menilai sebegitu besarkah pengaruh John Kei sehingga seorang kapolda harus membesuknya?
Saat kasus John Kei masih menghiasi berbagai media massa, satu peristiwa di luar dugaan terjadi, penyerangan terhadap Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta Pusat, dini hari Kamis 23 Februari 2012 oleh sekelompok orang. Publik bertanya, bagaimana mungkin, aset ”berwibawa”, basis kesehatan militer, bisa kecolongan aksi premanisme?
Menurut Humas Polda Metro Jaya, penyerangan di RSPAD terjadi antara dua kelompok Ambon. Kejadian berawal saat 6 orang (ada yang menyebut 8) sedang melayat rekannya Bob Stanley Sahusilawane yang disemayamkan di ruang A eksekutif. Tiba-tiba datang puluhan orang bersenjata tajam menyerang. Mereka yang diserang tanpa persiapan apa-apa.
Dua kasus kekerasan dan aksi premanisme membuat resah masyarakat. Publik merasa takut jika sewaktu-waktu aksi premanisme menimpa mereka. Di Jakarta, premanisme dalam bentuk apa pun, mudah dijumpai, di jalanan, tempat hiburan hingga parkir kendaraan. Aparat kepolisian dituntut lebih tegas dan tak tebang pilih. Meski ada dugaan, bahwa ada elite dari aparat kepolisian atau militer terlibat dalam bisnis keamanan, terutama sebagai pengaman bisnis hiburan atau jasa penagihan (debt collector).
Terlibat Bisnis
Tengara itu sejatinya sudah lama, misalnya karya Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (1986) menyebutkan keterlibatan militer dalam berbagai bisnis di Tanah Air, terutama di Jakarta. Dalam kasus di dunia militer pada zaman Orde Baru, menurut Crouch bahkan bukan bisnis ecek-ecek seperti pengamanan tempat hiburan melainkan bisnis kakap.
Pada bisnis formal bisa dilihat ketika pada 1960-an Pertamina diambil alih pengelolaannya oleh militer (saat itu kepolisian masih di bawah militer) atas perintah KSAD. Lalu ketika Orde Baru berkuasa, militer meningkatkan ekspansi dengan mengelola Bulog yang didukung dana kredit BI.
Tentu saja keterlibatan militer dan polisi dalam bisnis formal dan informal, tak diajarkan dalam pendidikan mereka. Selain bertentangan dengan profesionalisme dan mengurangi peranan militer dan polisi sebagai alat pertahanan dan keamanan, secara ekonomi mereka bukanlah pemodal yang berkecukupan dana untuk berinvestasi. Dihubungkan dengan keterampilan dalam mengelola bisnis, militer dan juga polisi tidak dididik untuk berdagang.
Karena itulah, salah satu tuntutan reformasi pada 1998, ada istilah bahwa militer (dan juga polisi), harus kembali ke barak. Mengingat selama itu, profesionalisme mereka terbelah karena ada faktor kepentingan bisnis. Karena faktor kepentingan bisnis itu pulalah, premanisme pun ikut menyeruak, akhirnya publik yang menjadi sasaran dan korbannya. Publik mengira, pada zaman reformasi ini bisnis pengamanan oleh elite aparat keamanan negara secara sendirinya berakhir, tapi faktanya tidak.
Kasus kerusuhan di tempat hiburan Blowfish tahun 2010, John Kei, dan kekerasan di RSPAD memperlihatkan masih ada premanisme di republik ini, bahkan makin menyeruak. Aparat keamanan dituntut bekerja profesional, jangan ada lagi beking-membeking, kasihan rakyat yang kini ketakutan akibat teror premanisme. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar