Duh,
LP Rusuh (Terus)
Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
Sumber
: SINDO, 25 Februari 2012
Lembaga
pemasyarakatan, nama pendeknya Lapas, nama lebih pendek lagi LP, adalah kata
resmi, sopan, untuk penjara atau bui. Penghuninya juga disebut dengan istilah
masih sebagai warga binaan, meskipun masyarakat lebih mengenal napi,
narapidana, atau OT, orang tahanan, atau residivis.
Sipir
juga menjadi istilah umum penjaga penjara, termasuk pegawai sipil yang bekerja
di bagian administrasi. Ada dua realitas yang berbeda. Yang mengandung
pencitraan— mempersiapkan kembalinya napi ke masyarakat dengan mendidik, dan
yang memperlihatkan keadaan.
Sterilisasi Napi
Kerusuhan di LP Kerobokan Bali, yang berlangsung Selasa– Rabu (21–22 Februari) yang menimbulkan kebakaran luas, menunjukkan bahwa kemungkinan rusuh masih akan terus terjadi. Dalam peristiwa di LP yang berpenghuni 1.015— 33 di antaranya warga negara asing––tak bisa diatasi oleh sipir yang jumlahnya 20 orang kalau semuanya bertugas. Alasan kerusuhan yang mengemuka adalah sipir bersikap diskriminatif.
Ada korban penusukan yang tidak diproses, bahkan pisau yang digunakan tidak dijelaskan ada di mana. Itu alasan yang membuat para napi mengeroyok dan kemudian memberontak, dengan cara melempari batu dan membakar. Memang hanya itu senjata yang dimiliki, dan tersimpan di dalam.Kalau ada bom,mungkin itu juga yang diledakkan. Alasan diskriminatif itu bisa benar, tapi jenisnya banyak.
Siapa yang berhak mendapatkan puntung rokok, atau mandi lebih sore dari jam yang ditentukan, atau saat magrib masih di luar sel juga alasan diskriminasi. Saya pernah mengusulkan, jalan keluar yang sangat sederhana, dan tak memerlukan APBN.Cobalah didata,stock opname, dari semua penghuni. Ada catatan resmi siapa namanya, apa kasusnya,berapa lama ancaman hukumannya.
Sekaligus diberi tahu apa yang boleh dan bisa dilakukan,dan apa yang tidak boleh. Demikian juga bagi para sipir—termasuk Kalapas, atau bagian keamanan sampai ke regu,mempunyai tata krama dan tata nilai yang sama untuk menilai ada pelanggaran. Semua permasalahan mendasar bisa didekati dan diamati dan dicari pemecahannya dari sini.Apakah over capacity, kelebihan penghuni, atau kapan dipindahkan—berlayar dalam bahasa napi untuk yang dipindahkan ke LP lain, dan sejenisnya.
Termasuk barang kali laporan keberadaan LP itu sendiri, di mana sel yang lampunya mati—terjadi diskriminasi kalau napi kaya memodali hanya bloknya, atau kamar mandi—yang menyatu sebagai toilet, bisa dipergunakan atau tidak, sampai dengan jam besuk yang adil dan merata. Ini ketimpangan yang terus dibiarkan—dengan alasan yang mungkin bisa dibenarkan, yang menjadi pembeda nasib napi berdasi—artinya punya uang,dan napi abal-abal, yang tak ada pembesuk yang berarti tak ada rezeki.
Pembenahan yang sama pada bagian sederhana yang dianggap bukan kesalahan: berapa persen yang diberi seragam? Apa secukupnya saja kalau disorot kamera televisi, atau juga apa semua mau mengenakan? Kalau ini ditertibkan, kemungkinan kerusuhan bisa dikurangi, atau bahkan dieliminasi. Ini disertai langkah keras untuk menjadikan LP sebagai wilayah steril.
Artinya dibersihkan dari semua senjata yang disimpan napi terdahulu atau sekarang baik be-rupa belati, pisau, sendok yang diruncingkan, paku yang dipipihkan.Termasuk steril dari jenis narkoba— yang bisa disimpan dalam anus untuk dikeluarkan pada saatnya, ditempel di paha sang kekasih yang membesuk atau bahkan di celana dalam. Bayangkan targetnya seolah Presiden akan berkunjung. Sterilisasi habis untuk yang bisa menimbulkan kecurigaan.
Sterilisasi Sipir
Secara khusus LP di Bali— atau Jakarta,atau Medan,atau Surabaya—berpenghuni berbagai dakwaan beragam. Penghuninya bisa mantan pejabat kelewat tinggi—di era saya dulu ada mantan presiden Papua Nugini, ada mantan Waperdam, KSAU, menteri, dan berpendidikan tinggi dan atau mempunyai dana besar—penipuan, penyelundupan, kasus penggelapan bank.
Artinya terjadi melting pot, tumpuan segala perkara dan kasus besar, “yang menarik perhatian masyarakat”. Tanpa bermaksud membedakan, masalahnya pasti berbeda dengan LP yang penghuninya didominasi pencuri, penjambret, maling kerbau, dan membunuh karena cemburu. Dengan demikian, perlakuan dan pengawasan juga bisa berbeda. Serentak dengan itu, nasib para sipir harus dibenahi menyeluruh.
Bukan hanya kesejahteraan semata, melainkan juga akses untuk menambah ilmunya. Dalam soal kesejahteraan, terasa janggal dan sungguh menggoda. Para sipir— termasuk kelas Kalapas, memberi kemudahan sederhana seperti pergi malam hari, menerima gaji sebanyak tiga tahun secara sekaligus. Godaan— dan bukan cobaan iman— berlangsung setiap hari, setiap detik dalam tugasnya.
Satu dua kali bisa menolak, lama-lama malah mengajukan penawaran. Dan secara birokratis pun, apa yang terjadi di dalam LP bukan hanya otoritas setempat. Sebagai contoh, keberadaan Mohamad Nasir, yang wakil rakyat yang bersaudara dan yang mirip Nazaruddin, pada malam hari di LP Cipinang secara leluasa,tak bisa dilepaskan dari birokrat di atasnya.Apakah namanya direktur, kakanwil, atau bahkan dirjen.
Sekurangnya kalau bukan kasus itu, sudah ada mekanisme yang bahkan tersistematisasi kemungkinan dan kemudahan itu.Dan ini yang pada akhirnya terus terjadi, terus meledak sana-sini, tak berkesudahan.Yang pada akhirnya merugikan baik para napi maupun sipir, dan ketidakpercayaan pada institusi penegakan hukum.
Sterilisasi napi, sekaligus sterilisasi sipir, merupakan langkah mendasar kalau kita ingin mengembalikan penghuni ke masyarakat secara baik dan benar dan tidak diskriminatif. Kecuali kalau merasa semua itu dinilai tak ada gunanya dan mengurangi pendapatan tak resmi, dan pembiaran para sipir pun harus menjadi jahat karenanya. Duh, ngeri. ●
Sterilisasi Napi
Kerusuhan di LP Kerobokan Bali, yang berlangsung Selasa– Rabu (21–22 Februari) yang menimbulkan kebakaran luas, menunjukkan bahwa kemungkinan rusuh masih akan terus terjadi. Dalam peristiwa di LP yang berpenghuni 1.015— 33 di antaranya warga negara asing––tak bisa diatasi oleh sipir yang jumlahnya 20 orang kalau semuanya bertugas. Alasan kerusuhan yang mengemuka adalah sipir bersikap diskriminatif.
Ada korban penusukan yang tidak diproses, bahkan pisau yang digunakan tidak dijelaskan ada di mana. Itu alasan yang membuat para napi mengeroyok dan kemudian memberontak, dengan cara melempari batu dan membakar. Memang hanya itu senjata yang dimiliki, dan tersimpan di dalam.Kalau ada bom,mungkin itu juga yang diledakkan. Alasan diskriminatif itu bisa benar, tapi jenisnya banyak.
Siapa yang berhak mendapatkan puntung rokok, atau mandi lebih sore dari jam yang ditentukan, atau saat magrib masih di luar sel juga alasan diskriminasi. Saya pernah mengusulkan, jalan keluar yang sangat sederhana, dan tak memerlukan APBN.Cobalah didata,stock opname, dari semua penghuni. Ada catatan resmi siapa namanya, apa kasusnya,berapa lama ancaman hukumannya.
Sekaligus diberi tahu apa yang boleh dan bisa dilakukan,dan apa yang tidak boleh. Demikian juga bagi para sipir—termasuk Kalapas, atau bagian keamanan sampai ke regu,mempunyai tata krama dan tata nilai yang sama untuk menilai ada pelanggaran. Semua permasalahan mendasar bisa didekati dan diamati dan dicari pemecahannya dari sini.Apakah over capacity, kelebihan penghuni, atau kapan dipindahkan—berlayar dalam bahasa napi untuk yang dipindahkan ke LP lain, dan sejenisnya.
Termasuk barang kali laporan keberadaan LP itu sendiri, di mana sel yang lampunya mati—terjadi diskriminasi kalau napi kaya memodali hanya bloknya, atau kamar mandi—yang menyatu sebagai toilet, bisa dipergunakan atau tidak, sampai dengan jam besuk yang adil dan merata. Ini ketimpangan yang terus dibiarkan—dengan alasan yang mungkin bisa dibenarkan, yang menjadi pembeda nasib napi berdasi—artinya punya uang,dan napi abal-abal, yang tak ada pembesuk yang berarti tak ada rezeki.
Pembenahan yang sama pada bagian sederhana yang dianggap bukan kesalahan: berapa persen yang diberi seragam? Apa secukupnya saja kalau disorot kamera televisi, atau juga apa semua mau mengenakan? Kalau ini ditertibkan, kemungkinan kerusuhan bisa dikurangi, atau bahkan dieliminasi. Ini disertai langkah keras untuk menjadikan LP sebagai wilayah steril.
Artinya dibersihkan dari semua senjata yang disimpan napi terdahulu atau sekarang baik be-rupa belati, pisau, sendok yang diruncingkan, paku yang dipipihkan.Termasuk steril dari jenis narkoba— yang bisa disimpan dalam anus untuk dikeluarkan pada saatnya, ditempel di paha sang kekasih yang membesuk atau bahkan di celana dalam. Bayangkan targetnya seolah Presiden akan berkunjung. Sterilisasi habis untuk yang bisa menimbulkan kecurigaan.
Sterilisasi Sipir
Secara khusus LP di Bali— atau Jakarta,atau Medan,atau Surabaya—berpenghuni berbagai dakwaan beragam. Penghuninya bisa mantan pejabat kelewat tinggi—di era saya dulu ada mantan presiden Papua Nugini, ada mantan Waperdam, KSAU, menteri, dan berpendidikan tinggi dan atau mempunyai dana besar—penipuan, penyelundupan, kasus penggelapan bank.
Artinya terjadi melting pot, tumpuan segala perkara dan kasus besar, “yang menarik perhatian masyarakat”. Tanpa bermaksud membedakan, masalahnya pasti berbeda dengan LP yang penghuninya didominasi pencuri, penjambret, maling kerbau, dan membunuh karena cemburu. Dengan demikian, perlakuan dan pengawasan juga bisa berbeda. Serentak dengan itu, nasib para sipir harus dibenahi menyeluruh.
Bukan hanya kesejahteraan semata, melainkan juga akses untuk menambah ilmunya. Dalam soal kesejahteraan, terasa janggal dan sungguh menggoda. Para sipir— termasuk kelas Kalapas, memberi kemudahan sederhana seperti pergi malam hari, menerima gaji sebanyak tiga tahun secara sekaligus. Godaan— dan bukan cobaan iman— berlangsung setiap hari, setiap detik dalam tugasnya.
Satu dua kali bisa menolak, lama-lama malah mengajukan penawaran. Dan secara birokratis pun, apa yang terjadi di dalam LP bukan hanya otoritas setempat. Sebagai contoh, keberadaan Mohamad Nasir, yang wakil rakyat yang bersaudara dan yang mirip Nazaruddin, pada malam hari di LP Cipinang secara leluasa,tak bisa dilepaskan dari birokrat di atasnya.Apakah namanya direktur, kakanwil, atau bahkan dirjen.
Sekurangnya kalau bukan kasus itu, sudah ada mekanisme yang bahkan tersistematisasi kemungkinan dan kemudahan itu.Dan ini yang pada akhirnya terus terjadi, terus meledak sana-sini, tak berkesudahan.Yang pada akhirnya merugikan baik para napi maupun sipir, dan ketidakpercayaan pada institusi penegakan hukum.
Sterilisasi napi, sekaligus sterilisasi sipir, merupakan langkah mendasar kalau kita ingin mengembalikan penghuni ke masyarakat secara baik dan benar dan tidak diskriminatif. Kecuali kalau merasa semua itu dinilai tak ada gunanya dan mengurangi pendapatan tak resmi, dan pembiaran para sipir pun harus menjadi jahat karenanya. Duh, ngeri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar