Bukan
Sekadar Menumpas Premanisme
Laode Ida, SOSIOLOG, WAKIL KETUA DEWAN PERWAKILAN
DAERAH (DPD) RI
Sumber
: SINDO, 28 Februari 2012
Belum
juga dijalankan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar jajaran
Polri menumpas premanisme terorganisasi di Indonesia (Selasa, 22/2),pertempuran
antarpreman dengan korban jiwa kembali terjadi (23/2/2012).
Lokasi peristiwa kekerasannya justru di RS Angkatan Darat Gatot Subroto Jakarta, sekaligus mengisyaratkan ketidakseganan mereka terhadap aparat keamanan.Pernyataan SBY sebenarnya terkait kasus terbunuhnya, Tan Harry Tantono, pemilik pabrik besi Power Steel, oleh kelompok preman yang diduga berada dalam koordinasi John Kei.
Presiden SBY dan atau aparat penegak hukum (kepolisian) tak cukup dengan memberikan ancaman, apalagi kalau serta-merta “menghabisi”para preman dengan cara-cara kekerasan sebagai wujud operasional aparat keamanan atas perintahnya untuk ‘menumpas premanisme’. Sebaliknya, sang Presiden juga harus melakukan koreksi secara mendasar mengapa (kelompok) preman hadir dan eksis di negeri ini (baik di kota-kota besar maupun di daerah-daerah)?
Dan,secara lebih khusus lagi, mengapa John Kei dan kelompoknya membangun kekuatan dan atau bertahan di Jakarta? Keberadaan preman,mulai dari orang per orang sampai pada kelompok yang terorganisasi sebenarnya bagian dari kebutuhan banyak pihak di negeri ini,utamanya di era reformasi. Politisi (mulai dari tingkat nasional hingga di daerahdaerah) membutuhkan dan selalu memanfaatkan para preman untuk merebut dan mempertahankan jabatan-jabatan politik.
Para pebisnis juga umumnya memiliki kelompok-kelompok pemuda yang pasang badan baik terhadap diri dan keluarga pebisnis maupun dalam rangka melindungi aktivitas bisnis mereka setiap hari. Tepatnya, para preman (baik secara berkelompok maupun pribadi-pribadi) menjadi bagian dari “pasukan” para pebisnis baik organik dalam struktur perusahaan maupun saat-saat dibutuhkan saja.
Back Up
Tidak bisa dipungkiri, kelompok- kelompok preman terorganisasi sebenarnya memiliki back up informal dari kalangan pejabat penegak hukum (utamanya dari kalangan Polri dan tentara) di negeri ini. Tidak heran jika mereka bisa bergerak secara leluasa dalam menjalankan misinya atau menggarap peluang- peluang yang bisa jadi sumber pendapatan bagi kelompok dan tentu saja para anggotanya.
Pada tingkat tertentu, para oknum aparat pem-back up-lah yang menjadi bagian dari penyalur untuk pemanfaatan jasa preman kepada pihak-pihak yang membutuhkan, utamanya kepada para pebisnis dan pejabat politik. Posisi hubungan informal dengan oknum (pejabat) penegak hukum seperti itulah yang menjadikan kekuatan personal mereka semakin bertambah. Ada rasa nyaman di dalamnya, kecuali menjadi lapangan kerja utama untuk menghidupi diri dan keluarga.
Semakin besar jumlah keanggotaan suatu kelompok preman, seperti yang dikomandoi oleh John Kei, sudah pasti berkorelasi positif pula dengan tingkat pengaruhnya di masyarakat, kelompok preman lain, dan aparat keamanan––dengan kesan “menyeramkan”. Namun, lantaran faktor itu jugalah, dalam menangani suatu permasalahan di mana preman dimintai jasanya untuk terlibat kerap bersikap brutal yang berdampak buruk pada orang lain,termasuk pada dirinya.
Mereka beranggapan bahwa sanksi hukum bukan saja bisa diatur, melainkan juga bisa dicegah berkat peran “sang bos” yang berada dalam lembaga penegak hukum. Dengan kata lain, kelak kalau tindakan brutal dan atau kekerasan mereka diproses secara hukum oleh aparat keamanan, toh yang akan menangani adalah teman-teman atau boleh jadi anak buah oknum pelindung informalnya itu.
Apa yang mau dikatakan di sini, sebelum menumpas kelompok- kelompok preman seharusnya Presiden SBY terlebih dahulu menemukan para oknum pejabat penegak hukum yang menjadi back up informalnya (langsung atau tidak langsung),yang mungkin saja di antaranya sejumlah perwira polisi dan militer yang pernah dikabarkan memiliki rekening gendut.
Setidaknya mereka memiliki data lengkap tentang kelompok-kelompok preman yang eksis di kota-kota besar di Indonesia. Harapannya, tentu saja,bukan langsung menghabisi mereka, melainkan mencarikan jalan keluar agar tidak terus bergerak di sektor jasa informal yang meresahkan masyarakat.
Pembenahan
Lebih dari itu,mustahil untuk menghilangkan atau meniadakan keberadaan dan peranan preman jika tidak melakukan pembenahan dalam penegakan hukum di negeri ini. Kehadiran preman memiliki sisi positif bagi rakyat yang tidak berdaya dalam menghadapi permainan sebagian oknum pejabat, pebisnis, dan penegak hukum sendiri di mana satu sama lain saling berkolaborasi konspiratif.
Di sini kelompok preman merupakan kekuatan penekan dan sekaligus pemaksa secara fisik agar keadilan dan hukum ditegakkan oleh pihak yang berwajib. Dalam kasus John Kei, di mana kita tahu berasal dan sekaligus mengoordinasikan umumnya para pemuda dari kawasan timur Indonesia sebagai anggota gengnya, sebenarnya harus menjadi bagian dari koreksi mendasar atas kebijakan pembangunan di negeri ini yang mengabaikan dimensi pemerataan, dan atau terus membiarkan kesenjangan antardaerah.
Saudarasaudara kita itu pastilah ingin juga hidup tenang dan bersenang- senang dengan pekerjaan yang aman dan nyaman. Mereka juga bukanlah manusia serigala yang haus untuk memangsa atau membunuh sesama manusia. Sebaliknya, para pemuda itu datang di Jakarta ini pada dasarnya hanya mengadu nasib dengan berbagai impian yang indah-indah.
Mereka adalah “semut” dan di Jakarta ini adalah tumpukan gula. Seandainya tumpukan gula itu juga ada di kampung halaman atau daerah, mereka niscaya tak akan datang dan berkumpul di kota besar ini sebagai preman.
Intinya, Presiden SBY seharusnya menjadikan kasuskasus preman di Jakarta, yang kerap membawa korban jiwa manusia itu, untuk mewujudkan agenda pembangunan daerah sehingga mereka bisa pulang kampung. Setidaknya akan mengurangi arus para pengadu nasib lain ke kotakota besar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar