Indonesia
Rumah Kita
Muhammad Elvandi LC, WNI DI SAINT-ETIENNE, PRANCIS
Sumber
: REPUBLIKA, 24 Februari 2012
Sesak
dada saat mendengar umat Islam di Indonesia tergopoh-gopoh membuka medan-medan
perang ideologi dan pemikiran. Sekitar 31 ribu orang menggalang dukungan lewat facebook, “Bubarkan FPI”, hingga gerakan
media menjadi gerakan turun ke
jalan, yang kian memanas setelah penolakan FPI di Kalimantan Tengah. Dari sana,
bergejolaklah FPI dan kadernya, dan para pendukungnya, ditambah dukungan mereka
yang menolak liberalisme dengan slogan “Indonesia Tanpa Jaringan Islam Liberal”.
Insiden
di Kalimantan Tengah pada akhirnya ditarik menjadi persoalan umat. Ia menjadi
momentum untuk me mulai kembali skenario-skenario lama agar umat Islam terbesar
di dunia ini selalu berbantah-bantahan dan bertikai.
Mengapa?
Terlalu banyak yang mampu dilakukan Muslim Indonesia jika ia berjalan mulus
dalam demokrasinya. Karena di dalam sistem ini, Muslim Indonesia mampu berpikir
dan berbicara bebas. Mampu berdialog dan menabung solusi kebangsaan dari
rekening setiap pemikiran entitas Muslim. Dalam tabungan itu, ide-ide terbaik
umat disaring untuk kemudian digunakan demi tegaknya bangunan Indonesia. Jika
bangunan itu tegak, banyak peran yang bisa di pikul Muslim Indonesia, bukan
hanya di Asia Tenggara, melainkan menjadi model dunia untuk negara demokratis
yang berpenduduk Muslim.
Tapi,
siapa yang merancang skenario ini? Sepotong kisah dalam sejarah Islam mungkin
bisa membantu. Umat Islam tetap kokoh dalam persatuannya sepeninggal Rasulullah
dan pasca-Perang Riddah (melawan para peng khianat), hingga tahun-tahun
terakhir pemerintahan Usman bin Affan. Muncullah seorang tokoh publik bernama
Abdullah bin Saba keturunan Yahudi-Persia. Ia membangun basis massa yang
merongrong pemerintahan sekaligus pembunuhan atas diri Usman.
Para
pembunuh itu terdiri atas suku yang berbeda-beda dan umat Islam mengenal
mereka. Namun, butuh waktu panjang untuk mengejar para pembunuh itu. Pascatragedi
tersebut, meletuslah demonstrasi di mana-mana. Negara dalam kondisi krisis dan
kepemimpinan Ali bin Abu Thalib pun belum stabil.
Dari
sini, pilihan umat Islam ada dua. Menyelesaikan krisis dan stabilitas dalam
negeri, baru mengejar dan menga dili pada pembunuh; atau mengadili terlebih
dahulu dibandingkan menyelesaikan krisis. Risiko pilihan pertama, mengecewakan
para loyalis Usman untuk menyelamatkan negara dari krisis. Sedangkan risiko
kedua, runtuhnya negara demi simpati para loyalis Usman.
Kedua
pendapat itu adalah hasil ijtihad manusia-manusia terbaik zaman itu. Ali dan
mayoritas ulama saat itu memilih yang pertama, sedangkan Aisyah dan para
pembesar sahabat, seperti Zubair, Thalhah, dan Muawiyah memilih yang kedua.
Mereka semua berijtihad dengan niat suci, bukan mengejar kursi. Kelompok Aisyah
mengambil langkah sendiri. Ia membangun pasukan untuk mengadili para pembunuh.
Tapi, langkah inisiatif ini membuat krisis bertambah. Karena keluarga para pembunuh
melindungi mereka dan pengejaran pasukan Aisyah terhadap pembunuh itu tidak
sistematis, sehingga jatuhan korban.
Untuk
menyelesaikan masalah, Ali membawa tentara untuk menghentikan Aisyah dari
aksinya agar korban sipil yang bukan menjadi target tidak bertambah. Ali
mengajak Aisyah berdiskusi untuk mencari jalan tengah. Ia mengutus Qa’qa bin
Amr at-Tamimi. Di pihak lain, Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Solusi yang
ditawarkan Qa’qa hanya satu kata: at-Taskin (penghentian), hingga kondisi
negara stabil. Tawaran ini diterima kelompok Aisyah. Dan malam itu, tidurlah
kedua kelompok di tenda masing-masing dengan sangat tenang. Namun, siapa yang
tidak tenang? Tentu, para perusuh dan pembunuh. Karena saat negara stabil, hukuman
siap menanti mereka. Pihak Ali dan Aisyah akan ber satu dan bersamasama
meringkusnya.
Apa
yang mereka butuhkan? Hanya langkah yang sederhana. Membakar pemusuhan
di kedua kelompok. Dibuatlah teamwork
yang solid sekaligus menyebarkan fitnah sehingga akhirnya timbul pertikaian
dalam Perang Jamal antara kelompok Ali melawan Aisyah.
Insiden
penolakan FPI di Kalimantan Tengah sama sekali bukan esensi persoalan yang
besar. Ia lazim terjadi dan merupakan tantangan dakwah biasa bagi organisasi
Islam manapun. Tapi, membuat persoalan ini menjadi besar, mencipta blok-blok
baru, menjadi ladang adu kekuatan dan suara, dan menjadi medan tarung dukungan
dan massa, ini yang membahayakan.
Pihak-pihak
yang tidak ingin melihat Indonesia bangkit menuju kursi peradabannya sebagai negara demokratis
berpenduduk Muslim terbesar tidak akan membiarkan umat Islam rukun, apa lagi
ber satu. Siapa pihak yang paling diuntungkan jika umat Islam di Indonesia
terpecah, hingga menyeret disintegrasi bangsa? Kurang lebih merekalah yang
memperbesar persoalan lokal menjadi perdebatan dan keributan nasional.
Umat
Islam di Indonesia yang tetap ingin melihat negerinya tegak harus mampu melihat
persoalan dengan komprehensif dan tidak terbawa arus perseteruan buatan. Sikap
yang sangat di butuhkan di depan situasi ini adalah at-taskin (penghentian).
Menghentikan saling memaki dan membuat permasa lahan menjadi besar.
Indonesia
adalah rumah untuk semua, baik FPI, JIL, juga entitas Muslim lainnya, seperti
Muhammadiyah, NU, ataupun Persis. Ini tidak berarti menyeragamkan semua
organisasi Islam karena harus ada evaluasi bagi setiap organisasi Islam di
Indonesia agar dakwahnya produktif untuk umat, saling menghargai, dan bukan
saling menghakimi di media. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar