Membangkitkan
Manisnya Industri Gula
Ferry Is Mirza, PEGIAT
TRI 1980-1987 DI JEMBER
Sumber
: JAWA POS, 27 Februari 2012
PADA 1975-an, meski termasuk
negara yang baru membangun, Indonesia mampu menjadi produsen gula terbesar
kedua di dunia setelah Kuba. Namun, kini Indonesia justru menjadi bangsa
penerima (pengonsumsi) gula impor dan rafinasi. Ironis. Kenapa dan mengapa bisa
demikian?
Pada masa Orba, kurun waktu 1975-1987, negara kita bisa swasembada gula. Bahkan, Indonesia menjadi pengekspor gula ke beberapa negara kawasan ASEAN dan Asia. Petani tebu yang menjadi pemasok utama bahan baku gula mengalami peningkatan pendapatan/kesejahteraan. Itulah masa keemasan tebu rakyat intensifikasi (TRI).
Hal itu bisa terjadi karena pemerintahan Orba punya perhatian serius dan konsep yang jelas tentang industri gula. Untuk merealisasikannya, Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi yang dikenal dengan Inpres 9/1975 tentang TRI. Tegas dan jelas dua tujuan yang ingin dicapai dalam program Inpres 9/1975. Yaitu meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani dan swasembada gula nasional.
Dalam pelaksanaan Inpres 9/1975, tingkat pusat sampai daerah berjalan sinkron. Maping luas lahan dan kategori tanaman di setiap provinsi, kota/kabupaten, hingga per wilayah pabrik gula (PG) terukur. Untuk Jawa Timur yang memiliki banyak PG ditetapkan sebagai lumbung gula nasional.
Garis komando dan koordinasi tertata rapi. Sistem dan administrasi manajemennya berjalan efektif. Menteri bertugas membuat pakta integritas dan koordinasi melalui SKB (surat keputusan bersama). Yaitu menteri koperasi/kepala bulog (saat itu), menteri keuangan, menteri pertanian, serta menteri perindustrian dan perdagangan.
Di kota/kabupaten dibentuk satuan pelaksana bimbingan masyarakat yang disingkat satpel bimas TRI. Di tingkat provinsi, satpel diketuai gubernur. Wali kota/bupati jadi ketua di kota/kabupaten. Pelaksana teknis dan pengawas di lapangan ditangani satuan tugas satu atap (satgas satap) yang terdiri atas unsur puskud (pusat koperasi unit desa), bulog/dolog, BRI, pabrik gula (PG), serta PPL pertanian.
Petani TRI yang kala itu terhimpun dalam koperasi unit desa (KUD) mendapatkan fasilitas kredit dari BRI sesuai dengan lahan yang dimiliki. Misalnya, lahan sawah disebut TRI-S, lahan tegalan TRI-T, lahan bebas TRI-B, serta lahan PG TRI-P.
Kredit yang didapat petani TRI bisa digunakan untuk sekali musim tanam, yang mencakup biaya saprotan (bibit dan pupuk), tebang-angkut, serta ongkos kerja. Selain itu, petani diberi biaya hidup atau COL (cost of living) selama menunggu panen. Besarannya bergantung luas dan jenis lahannya, sawah atau tegalan. Untuk petani TRI (B), yang membiayai pengusaha atau penyewa lahan. Nah, TRI (P) dibiayai PG.
Karena sistem dan administrasi manajemen berjalan, koordinasi dari pusat sampai daerah sinkron. Tidak banyak kredit macet atas TRI. Pengembalian kredit langsung dipotong melalui perhitungan dari DO gula masing-masing petani. Perhitungan dilakukan satgas satap. Setelah itu, petani bisa mencairkan pendapatan di BRI.
Pendapatan petani TRI kala itu berada di atas rata-rata. Karena petani mendapatkan hasil gula yang sangat memadai, yakni 70 persen, sisanya menjadi bagian PG sebagai ongkos giling.
Kenapa bisa pendapatan/kesejahteraan petani meningkat? Sebab, kuantitas tebu yang dihasilkan per hektare cukup besar dengan rendemen paling rendah 8 persen. Artinya, setiap 100 kilogram tebu menghasilkan 8 kilogram gula. Kini, menurut anggota DPRD Jatim Anna Luthfie, rendemen berkisar 5,5-6 persen.
Faktor rendemen adalah hal penting dalam industri gula. Makin rendah rendemen, makin tak produktif.
Menyimak keberhasilan program Inpres 9/1975 di atas, tidak ada salahnya bila pemerintah mau kembali ke khitah untuk membangun industri gula nasional demi kemakmuran bangsa. Wajib dilakukan revitalisasi PG yang kebanyakan bangunan dan mesin produksinya peninggalan zaman Belanda.
PG sebagai perusahaan BUMN harus dikelola secara profesional. Perusahaan tidak lagi berkultur kolonial, mesti berorientasi bisnis dan adaptif. Penyediaan luas lahan harus setara dengan serapan produksi setiap PG di setiap wilayah/daerah.
Untuk mewujudkan itu, perlu sinergi antar kementerian terkait dan sosialisasi program TRI kepada petani. Tentu, dengan semangat kerja, kerja, kerja dan mengedepankan integritas, serta daya antusias, bukanlah mustahil pada 2014 kita mampu swasembada gula. Malu rasanya bila gula impor dan rafinasi masih kita konsumsi. Padahal, negara kita (tetap) negara agraris! ●
Pada masa Orba, kurun waktu 1975-1987, negara kita bisa swasembada gula. Bahkan, Indonesia menjadi pengekspor gula ke beberapa negara kawasan ASEAN dan Asia. Petani tebu yang menjadi pemasok utama bahan baku gula mengalami peningkatan pendapatan/kesejahteraan. Itulah masa keemasan tebu rakyat intensifikasi (TRI).
Hal itu bisa terjadi karena pemerintahan Orba punya perhatian serius dan konsep yang jelas tentang industri gula. Untuk merealisasikannya, Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi yang dikenal dengan Inpres 9/1975 tentang TRI. Tegas dan jelas dua tujuan yang ingin dicapai dalam program Inpres 9/1975. Yaitu meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani dan swasembada gula nasional.
Dalam pelaksanaan Inpres 9/1975, tingkat pusat sampai daerah berjalan sinkron. Maping luas lahan dan kategori tanaman di setiap provinsi, kota/kabupaten, hingga per wilayah pabrik gula (PG) terukur. Untuk Jawa Timur yang memiliki banyak PG ditetapkan sebagai lumbung gula nasional.
Garis komando dan koordinasi tertata rapi. Sistem dan administrasi manajemennya berjalan efektif. Menteri bertugas membuat pakta integritas dan koordinasi melalui SKB (surat keputusan bersama). Yaitu menteri koperasi/kepala bulog (saat itu), menteri keuangan, menteri pertanian, serta menteri perindustrian dan perdagangan.
Di kota/kabupaten dibentuk satuan pelaksana bimbingan masyarakat yang disingkat satpel bimas TRI. Di tingkat provinsi, satpel diketuai gubernur. Wali kota/bupati jadi ketua di kota/kabupaten. Pelaksana teknis dan pengawas di lapangan ditangani satuan tugas satu atap (satgas satap) yang terdiri atas unsur puskud (pusat koperasi unit desa), bulog/dolog, BRI, pabrik gula (PG), serta PPL pertanian.
Petani TRI yang kala itu terhimpun dalam koperasi unit desa (KUD) mendapatkan fasilitas kredit dari BRI sesuai dengan lahan yang dimiliki. Misalnya, lahan sawah disebut TRI-S, lahan tegalan TRI-T, lahan bebas TRI-B, serta lahan PG TRI-P.
Kredit yang didapat petani TRI bisa digunakan untuk sekali musim tanam, yang mencakup biaya saprotan (bibit dan pupuk), tebang-angkut, serta ongkos kerja. Selain itu, petani diberi biaya hidup atau COL (cost of living) selama menunggu panen. Besarannya bergantung luas dan jenis lahannya, sawah atau tegalan. Untuk petani TRI (B), yang membiayai pengusaha atau penyewa lahan. Nah, TRI (P) dibiayai PG.
Karena sistem dan administrasi manajemen berjalan, koordinasi dari pusat sampai daerah sinkron. Tidak banyak kredit macet atas TRI. Pengembalian kredit langsung dipotong melalui perhitungan dari DO gula masing-masing petani. Perhitungan dilakukan satgas satap. Setelah itu, petani bisa mencairkan pendapatan di BRI.
Pendapatan petani TRI kala itu berada di atas rata-rata. Karena petani mendapatkan hasil gula yang sangat memadai, yakni 70 persen, sisanya menjadi bagian PG sebagai ongkos giling.
Kenapa bisa pendapatan/kesejahteraan petani meningkat? Sebab, kuantitas tebu yang dihasilkan per hektare cukup besar dengan rendemen paling rendah 8 persen. Artinya, setiap 100 kilogram tebu menghasilkan 8 kilogram gula. Kini, menurut anggota DPRD Jatim Anna Luthfie, rendemen berkisar 5,5-6 persen.
Faktor rendemen adalah hal penting dalam industri gula. Makin rendah rendemen, makin tak produktif.
Menyimak keberhasilan program Inpres 9/1975 di atas, tidak ada salahnya bila pemerintah mau kembali ke khitah untuk membangun industri gula nasional demi kemakmuran bangsa. Wajib dilakukan revitalisasi PG yang kebanyakan bangunan dan mesin produksinya peninggalan zaman Belanda.
PG sebagai perusahaan BUMN harus dikelola secara profesional. Perusahaan tidak lagi berkultur kolonial, mesti berorientasi bisnis dan adaptif. Penyediaan luas lahan harus setara dengan serapan produksi setiap PG di setiap wilayah/daerah.
Untuk mewujudkan itu, perlu sinergi antar kementerian terkait dan sosialisasi program TRI kepada petani. Tentu, dengan semangat kerja, kerja, kerja dan mengedepankan integritas, serta daya antusias, bukanlah mustahil pada 2014 kita mampu swasembada gula. Malu rasanya bila gula impor dan rafinasi masih kita konsumsi. Padahal, negara kita (tetap) negara agraris! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar