Siapa
Presiden Bank Dunia Mendatang?
Arvin Subramanian & Devesh
Kapur, DEVESH KAPUR ADALAH
PENGARANG-BERSAMA BUKU RESMI SEJARAH BANK DUNIA; ARVIND SUBRAMANIAN ADALAH SENIOR
FELLOW PADA PETERSON INSTITUTE FOR INTERNATIONAL ECONOMICS DAN CENTER FOR
GLOBAL DEVELOPMENT
Sumber
: KORAN TEMPO, 27 Februari 2012
Juni ini Robert Zoellick akan habis masa
tugasnya sebagai Presiden Bank Dunia. Sekali lagi muncul persoalan siapa yang
akan memimpin dua saudara kembar Breton Woods (Bank Dunia dan Dana Moneter
Internasional) ini. Saat kelahiran mereka, kita terkenang akan peringatan John
Maynard Keynes bahwa, jika lembaga-lembaga ini tidak memiliki pemimpin yang
baik, mereka akan “jatuh tertidur selamanya dan tidak lagi akan bangun atau
didengarkan suaranya di balai-balai sidang dan pasar umat manusia”.
Untuk mendapatkan pemimpin yang baik sudah
tentu memerlukan proses seleksi yang cermat. Sekarang ini dunia justru
terbelenggu oleh suatu proses yang sudah kuno di mana Amerika Serikat dan
Eropa, walaupun ekonomi mereka sedang mengalami kesulitan, tetap memegang
monopoli kepemimpinan Bank Dunia dan IMF.
Ada kesepakatan yang enggan diberikan bahwa
sistem ini harus diubah. Tapi kekuatan-kekuatan yang melanggengkan status
quo--resistansi Eropa dan Amerika terhadap perubahan dan pasifnya
negara-negara ekonomi baru--masih kuat, seperti digambarkan dalam pilihan yang
dijatuhkan pada Christine Lagarde untuk memimpin IMF. Suhu politik menjelang
pemilihan presiden di AS tahun ini akan semakin memperkokoh kekuatan-kekuatan
tersebut, di mana pemerintah Presiden Barack Obama tidak mungkin melepaskan
suatu simbol global power yang bisa digunakan pesaing-pesaingnya sebagai
senjata untuk menghantamnya sebagai pemimpin yang lemah.
Tapi, dalam beberapa hal, tidak sulit mengemukakan
apa yang sudah jelas: Bank Dunia memerlukan proses seleksi yang baru yang bakal
memungkinkan terpilihnya orang yang paling memenuhi syarat tanpa memandang
kewarganegaraannya. Yang sulit adalah bagaimana mengidentifikasi kualifikasi
yang dibutuhkan untuk memimpin Bank Dunia di saat ketika perannya mesti
disesuaikan dengan perubahan global yang terjadi saat ini.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama,
sejumlah negara miskin sudah berhasil mengejar negara-negara maju, sementara
daftar keberhasilan pembangunan ini semakin panjang. Itu berarti semakin banyak
negara yang dulunya miskin sekarang tidak lagi membutuhkan pinjaman lunak dari
Bank Dunia.
International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD), sebagai badan Bank Dunia yang menyediakan bantuan yang
normal, bisa bertahan terutama karena tiga perempat rakyat miskin di dunia
sekarang tinggal di negara-negara dengan pendapatan menengah. Tapi akses yang
mudah untuk memperoleh pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan swasta bakal
memaksakan dilakukannya re-evaluasi cara yang dilakukan IBRD serta besarnya
pinjaman yang diberikannya. Misalnya, beberapa negara mungkin menginginkan Bank
Dunia terus memberikan advis yang netral dan menetapkan standar pengadaan serta
mutu, tapi tanpa biaya transaksi yang tinggi yang sudah menjadi ciri Bank
Dunia.
Pada saat yang sama, banyak di antara
tantangan pembangunan di masa depan ini--perubahan iklim, menurunnya
produktivitas pertanian, meningkatnya kelangkaan air--semakin mengglobal. Di
masa mendatang, Bank Dunia harus bergeser dari pinjaman kepada pemerintah ke
pembiayaan pengadaan global public goods.
Semakin berhasilnya negara-negara berkembang
mencapai kemajuan juga merupakan tantangan intelektual terhadap Bank Dunia
sebagai bayangkara penelitian dan pemikiran kebijakan di bidang ekonomi
pembangunan. Bank Dunia, yang banyak bergantung pada pusat-pusat pendidikan di
AS, tidak lagi bisa menjajakan model yang tunggal atau menciptakan suatu pola
yang universal. Memang Bank Dunia sudah merangkul dan membawakan pesan dari
berbagai sumber, tapi seorang pemimpin yang baru harus melangkah lebih maju,
memberikan perhatian lebih besar kepada konteks yang khusus dan tuntutan
masing-masing negara peminjam, serta belajar lebih banyak dari pengalaman
pembangunan yang berhasil.
Negara-negara utama pemegang saham Bank Dunia
juga dihadapkan pada pilihan yang sulit. Jika mereka yakin bahwa Bank Dunia
punya masa depan yang layak didukung, itu adalah negara-negara yang sekarang
sedang mengalami pertumbuhan yang cepat, bukan Barat yang terlilit utang, yang
bisa memberikan sumber daya yang dibutuhkan itu (ini sudah tentu berarti Cina,
tapi bahkan Brasil dan India pun sudah melancarkan program bantuan yang semakin
meningkat). Sebagai imbalan, mereka berhak menuntut diberikannya suara yang
lebih besar dalam mengelola Bank Dunia, terutama jika fokus Bank Dunia bergeser
ke arah penyediaan global public goods.
Tapi, jika negara-negara status quo
itu tidak bersedia menyerahkan kendali Bank Dunia, sistem resmi pembiayaan
internasional yang dibentuk Bretton Woods bakal semakin terfragmentasi.
Negara-negara seperti Cina bakal semakin kuat keyakinannya bahwa, dalam hal
ini, berjalan sendiri adalah opsi paling baik, dengan akibat buruk bagi
multilateralisme.
Pergeseran yang dramatis serta
tantangan-tantangan berat ini berarti Presiden Bank Dunia berikutnya harus
seseorang yang tugas utamanya adalah memprakarsai dan melanjutkan perubahan,
sembari mendapatkan dukungan dan legitimasi dari keseluruhan anggota. Ia juga
membutuhkan kapasitas kepemimpinan politik yang sudah terbukti serta keyakinan
inti bahwa Bank Dunia memerlukan visi dan jalan baru ke depan.
Proses seleksi mutlak perlu diubah untuk
memperluas pencarian calon-calon yang peka terhadap realitas yang sudah berubah
dan yang memiliki kualifikasi utama. Ini bukan berarti menyingkirkan calon dari
Amerika yang pantas terpilih, seperti Hillary Clinton. Tapi juga berarti dengan
teliti mencari calon-calon lainnya, seperti mantan presiden Luiz Inacio
Lula da Silva dari Brasil dan mantan presiden Ernesto Zedillo dari Meksiko;
Gnosis Okonjo-Iweala, ekonom kenamaan dari Nigeria; Mo Ibrahim, contoh
keberhasilan dunia usaha dari Afrika; Nandan Nilekani, raja perangkat lunak
dari India yang sekarang menjadi pejabat pembangunan; dan Andrew Sheng, seorang
regulator keuangan yang terkemuka dari Malaysia.
Prosedur seleksi sekarang ini sudah
kehilangan legitimasinya dalam suatu dunia yang sudah berubah dan membawa
risiko buruk terpilihnya calon yang tidak tepat. Konsekuensi mempertahankan
prosedur yang ada sekarang mungkin tidak sedramatis seperti yang diperingatkan
Keynes, tapi ada kemungkinan yang riil bahwa Bank Dunia bakal membatu dan
menjadi suatu lembaga di mana negara-negara donor dari kelompok G-7 yang
ekonominya semakin terpuruk itu bakal menyediakan bantuan yang semakin kecil
jumlahnya, sama dengan semakin kecilnya jumlah negara yang memohon bantuan. ●
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus