Dilematika
Diskresi Polisi
Novel Ali, ANGGOTA KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL
(KOMPOLNAS), DOSEN FISIP UNDIP
Sumber
: SUARA MERDEKA, 24 Februari 2012
PEKERJAAN kepolisian selalu
berkaitan dengan kegiatan pencarian, penyelidikan, penyidikan, penangkapan,
penahanan, dan pemrosesan pelanggaran hukum. Risikonya adalah dibenci
seseorang/ sejumlah orang (pelaku kejahatan) tetapi disukai pihak lain (korban
kejahatan).
Sejauh pekerjaan kepolisian tidak melanggar norma hukum, rasa keadilan masyarakat, kode etik profesi, kode perilaku, dan mampu memilah-milah kepentingan penegakan hukum dari aneka intervensi kekuasaan dan politik, baik oleh pemerintah maupun kekuatan politik formal lainnya, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak menyukai pekerjaan kepolisian.
Di tengah kuatnya desakan penegakan hukum (law enforcement), pekerjaan kepolisian dimungkinkan dilaksanakan tanpa melalui proses hukum formal. Dalam kaitan dengan keberadaan organisasi kepolisian sebagai aparatur negara, maka organisasi bukanlah entitas yang mampu menjamin keberlangsungan eksistensinya sendiri.
Organisasi kepolisian di Indonesia (Polri) pun demikian halnya. Polri tak bisa bekerja sendiri, tanpa bantuan pihak lain. Model pengorganisasian Polri, merupakan bagian dari seluruh tatanan distribusi kekuasaan yang lekat kaitannya dengan bureaucratic policy atau authoritarian corporatism. Konsentrasi kekuatan pemaksa Polri, berkaitan langsung dengan memori kolektif negara di satu sisi dan memori kolektif publik di sisi lain terhadap pembenaran tindakan represifnya.
Di tengah kewenangan penggunaan tindakan represif, polisi memiliki peluang melakukan tindakan diskresi. Salah satu wujud nyatanya adalah pengambilan keputusan personal terkait dengan tindakan hukum terhadap seorang/ sejumlah orang yang dicurigai melanggar hukum, demi alasan profesional, kepentingan umum, dan berbagai alasan subjektif pribadi, termasuk yang tidak formal diatur dalam hukum.
Arogansi Kewenangan
Sekalipun demikian, penggunaan diskresi tetap harus berbasis standar operasional prosedur (SOP). Dalam praktik, tindakan diskresi polisi senantiasa bermuka dua. Pertama; membuka peluang dan memperkuat dinamika. Artinya, polisi dapat mengambil tindakan sesuai dengan sifat darurat kejadian yang harus cepat dan tepat ditangani, tanpa harus menunggu perintah atasan, yang bukan mustahil memakan waktu sehingga menimbulkan korban manusia, atau membuat makin panasnya situasi.
Namun, penggunaan diskresi ini dilematis bagi pekerjaan individual polisi yang biasanya bermuara dari penyalahgunaan kewenangan. Terutama akibat tiadanya basis kepentingan umum, yaitu diubahnya nilai kepentingan umum menjadi kepentingan pribadi. Kasus penerapan secara keliru diskresi adalah yang terbanyak dilaporkan masyarakat ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Untuk memperkuat dinamika diskresi, tiap individu polisi perlu mendasarkan pada pertimbangan kejujuran: apakah betul-betul digunakan demi alasan kemanusiaan, profesionalisme, dan pertimbangan moral lain, ataukah karena arogansi kewenangan legal yang melekat pada kekuasaannya sebagai aparatur pemaksa negara.
Di sinilah perlunya diskresi polisi diarahkan secara dinamik untuk memberi landasan kuat bagi perwujudan polisi berbasis hak asasi manusia (toward human rights based police).
Diskresi polisi yang tidak mengisyaratkan peluang terjadinya kontrak sosial antara subjek (polisi) dengan objek pelayanannya bukan mustahil mengkooptasi diskresi itu sendiri.
Mengingat dampak positif atau negatifnya, pelaksanaan diskresi perlu pengendalian. Pertama; lebih bersifat pada pengarahan diskresi yang lebih tepat metoda, sasaran, waktu, dan tujuan. Model pengarahan ini akan memperkuat dinamika diskresi sesuai dengan harapan publik dan tatanan profesionalisme.
Kedua; untuk mencegah penggunaan ke arah yang tidak sesuai dengan tugas pokok, tanpa pertimbangan kearifan lokal, serta pengabaian atas nilai-nilai moralitas, kode etik profesi, dan code of conduct Polri. ●
Sejauh pekerjaan kepolisian tidak melanggar norma hukum, rasa keadilan masyarakat, kode etik profesi, kode perilaku, dan mampu memilah-milah kepentingan penegakan hukum dari aneka intervensi kekuasaan dan politik, baik oleh pemerintah maupun kekuatan politik formal lainnya, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak menyukai pekerjaan kepolisian.
Di tengah kuatnya desakan penegakan hukum (law enforcement), pekerjaan kepolisian dimungkinkan dilaksanakan tanpa melalui proses hukum formal. Dalam kaitan dengan keberadaan organisasi kepolisian sebagai aparatur negara, maka organisasi bukanlah entitas yang mampu menjamin keberlangsungan eksistensinya sendiri.
Organisasi kepolisian di Indonesia (Polri) pun demikian halnya. Polri tak bisa bekerja sendiri, tanpa bantuan pihak lain. Model pengorganisasian Polri, merupakan bagian dari seluruh tatanan distribusi kekuasaan yang lekat kaitannya dengan bureaucratic policy atau authoritarian corporatism. Konsentrasi kekuatan pemaksa Polri, berkaitan langsung dengan memori kolektif negara di satu sisi dan memori kolektif publik di sisi lain terhadap pembenaran tindakan represifnya.
Di tengah kewenangan penggunaan tindakan represif, polisi memiliki peluang melakukan tindakan diskresi. Salah satu wujud nyatanya adalah pengambilan keputusan personal terkait dengan tindakan hukum terhadap seorang/ sejumlah orang yang dicurigai melanggar hukum, demi alasan profesional, kepentingan umum, dan berbagai alasan subjektif pribadi, termasuk yang tidak formal diatur dalam hukum.
Arogansi Kewenangan
Sekalipun demikian, penggunaan diskresi tetap harus berbasis standar operasional prosedur (SOP). Dalam praktik, tindakan diskresi polisi senantiasa bermuka dua. Pertama; membuka peluang dan memperkuat dinamika. Artinya, polisi dapat mengambil tindakan sesuai dengan sifat darurat kejadian yang harus cepat dan tepat ditangani, tanpa harus menunggu perintah atasan, yang bukan mustahil memakan waktu sehingga menimbulkan korban manusia, atau membuat makin panasnya situasi.
Namun, penggunaan diskresi ini dilematis bagi pekerjaan individual polisi yang biasanya bermuara dari penyalahgunaan kewenangan. Terutama akibat tiadanya basis kepentingan umum, yaitu diubahnya nilai kepentingan umum menjadi kepentingan pribadi. Kasus penerapan secara keliru diskresi adalah yang terbanyak dilaporkan masyarakat ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Untuk memperkuat dinamika diskresi, tiap individu polisi perlu mendasarkan pada pertimbangan kejujuran: apakah betul-betul digunakan demi alasan kemanusiaan, profesionalisme, dan pertimbangan moral lain, ataukah karena arogansi kewenangan legal yang melekat pada kekuasaannya sebagai aparatur pemaksa negara.
Di sinilah perlunya diskresi polisi diarahkan secara dinamik untuk memberi landasan kuat bagi perwujudan polisi berbasis hak asasi manusia (toward human rights based police).
Diskresi polisi yang tidak mengisyaratkan peluang terjadinya kontrak sosial antara subjek (polisi) dengan objek pelayanannya bukan mustahil mengkooptasi diskresi itu sendiri.
Mengingat dampak positif atau negatifnya, pelaksanaan diskresi perlu pengendalian. Pertama; lebih bersifat pada pengarahan diskresi yang lebih tepat metoda, sasaran, waktu, dan tujuan. Model pengarahan ini akan memperkuat dinamika diskresi sesuai dengan harapan publik dan tatanan profesionalisme.
Kedua; untuk mencegah penggunaan ke arah yang tidak sesuai dengan tugas pokok, tanpa pertimbangan kearifan lokal, serta pengabaian atas nilai-nilai moralitas, kode etik profesi, dan code of conduct Polri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar