Opsi
Menaikkan Harga BBM
Ahan Syahrul Arifin, MAHASISWA PASCASARJANA FE UNIVERSITAS
INDONESIA
Sumber
: REPUBLIKA, 29 Februari 2012
Kepastian
kenaikan BBM disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat sidang
kabinet pada 22 Februari 2012. Rencana ini tentu membatalkan rencana pemerintah
sebelumnya, yaitu pembatasan BBM subsidi yang diberlakukan di Jawa dan Bali
mulai 1 April 2012. Lalu, dilanjutkan pada 2013 dan 2014 yang diperluas ke
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Tak
dapat dipungkiri, langkah ini merupakan pilihan terbaik melihat kenaikan harga
minyak dunia yang sudah mencapai 105,26 dolar AS per barel dan diperkirakan
sedang menuju 150 dolar AS per barel. Hal ini diakibatkan penghentian penjualan
minyak Iran. Kebijakan menaikkan harga lebih tepat walaupun cenderung
menunjukkan kalau pemerintah plin-plan dalam menerapkan kebijakan BBM,
mengingat Indonesia sudah menjadi negeri pengimpor minyak dan beratnya beban
APBN.
Pastinya,
konsekuensi dari kenaikan BBM akan berimbas pada kenaikan harga barang,
dilanjutkan dengan menurunnya daya beli masyarakat, tumbuhnya pengangguran, dan
meningkatnya kembali kemiskinan. Saat ini, memang angka kemiskinan terlihat
semakin menurun, dari 30,02 juta orang atau 12,49 persen pada Maret 2011
menjadi 29,89 juta orang atau 12,36 persen pada September 2011(BPS,2012).
Namun,
pemerintah juga tidak bisa melupakan bahwa penduduk yang masuk golongan rentan
miskin atau di atas sedikit garis kemiskinan kurang lebih hampir sama dengan
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka sesungguhnya sangat
rentan kembali miskin bila terjadi gejolak ekonomi.
Nah,
efek dari kenaikan BBM inilah yang mestinya penting diperhatikan pemerintah,
tidak sekadar dengan menelurkan kebijakan instan seperti BLT.
Pemerintah sangat perlu berupaya untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat hingga insentif buat sopir.
Pemerintah sangat perlu berupaya untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat hingga insentif buat sopir.
Transportasi dan Subsidi
Kembali
pada soal subsidi BBM, sebetulnya yang urgent dilakukan pemerintah dalam jangka
pendek adalah membenahi sektor transportasi. Mengapa? Kita selama ini mendapat
informasi bahwa besarnya tanggungan APBN terhadap subsidi BBM yang terus
membengkak membebani biaya pembangunan.
Data
dari sumber APBN menyebutkan, pembatasan setelah tahun anggaran 2011
menunjukkan, volume BBM bersubsidi mengalami pembengkakan anggaran sebesar Rp
30,3 triliun pada 2011. Di mana realisasinya mencapai 41,69 juta kiloliter.
Dengan demikian, realisasi konsumsi bahan bakar bersubsidi mencapai 103 persen
dari kuota dalam APBN Perubahan 2011 yang ditetapkan pada level 40,36 juta
kiloliter. Maka, pada APBN 2012, subsidi BBM dianggarkan Rp 123,6 triliun
dengan kuota 40 juta kiloliter.
Pertanyaannya,
mengapa beban subsidi terus membengkak? Adakah yang salah dalam skemanya ataukah
sistem transportasi publik kita? Inilah yang sebenarnya lebih penting
diselesaikan terlebih dahulu.
Pada
tahun lalu, fakta penjualan motor tercatat hingga mencapai sekitar delapan juta
unit, meningkat pesat dari dari 2010 yang hanya 7,3 juta unit. Bahkan, pada
tahun ini, diprediksi penjualan motor akan genap mencapai 8,4 juta unit.
Tren ini akan semakin meningkat bila pemerintah juga gagal dalam menyediakan layanan transportasi berbasis angkutan massal yang memadai. Padahal, selama ini, sekitar 65 persen konsumsi BBM diserap oleh penggunan motor.
Tren ini akan semakin meningkat bila pemerintah juga gagal dalam menyediakan layanan transportasi berbasis angkutan massal yang memadai. Padahal, selama ini, sekitar 65 persen konsumsi BBM diserap oleh penggunan motor.
Inilah
sebenarnya yang menjadi masalah, yakni soal amburadulnya sistem transpotasi
kita. Karena itu, dalam jangka pendek pemerintah harus segera membenahi tata
kelola transportasi publik. Perlu pengaturan yang jelas terhadap jumlah
kendaraan bermotor dan mobil sambil membenahi layanan angkutan massal. Tanpa
mengubah tata kelola transportasi, kita akan selalu kesulitan untuk mengatasi
melonjaknya penggunaan BBM.
Berapa pun anggaran subsidi yang dianggarkan, bakal
terus membebani belanja negara.
Berpindah ke Gas
Skema
jangka panjang pemerintah rasanya perlu mencari solusi bagi ketahanan energi
terutama dalam soal perminyakan. Sebagaimana diketahui, produksi minyak
Indonesia semakin menurun bahkan kita sudah menjadi impotir minyak. Pada 1998,
produksi minyak masih sekitar 1,5 juta barel per hari. Pada 2011, menurut
catatan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), produksi minyak nasinonal hanya
sebesar 903.441 barel per hari. Angka tersebut berada di bawah angka produksi
pada 2010 sebesar 944.898 barel per hari. Jauh semakin menurun dari target
produksi 945 ribu barel per hari.
Diprediksi,
angkanya akan terus menurun. Sejatinya pemerintah mesti tanggap dan segera
merespons persoalan ini. Menggantungkan diri terus pada minyak sebagai bahan
bakar terasa akan sangat berat apalagi melihat harga minyak dunia yang sering
tidak terkendali. Pembatasan maupun pengalihan sebetulnya merupakan paradigma
yang salah kaprah karena kita akan mengandalkan ketahanan energi dari impor.
Karena
itulah, sudah saatnya pemerintah serius memanfaatkan gas untuk bahan bakar
kendaraan. Mengapa mesti gas? Pertama, tentu untuk mengurangi ketergantungan
kita pada impor minyak. Apalagi, harga komoditas minyak selalu tergantung pada
faktor geopolitik. Dalam sejarahnya, harga komoditas minyak bisa melonjak
hingga 400 persen. Kondisi seperti itu terjadi kala perseteruan Israel dengan
negara-negara Arab meletus pada 1973/1974. Saat itu, harga minyak melambung
dari tiga dolar AS per barel menjadi 12 dolar AS per barel. Selanjutnya, pada
saat Revolusi Iran pada 1979, harga minyak dunia melonjak sekitar 300 persen
dari sekitar 12 dolar AS ke 35 dolar AS per barel.
Faktor
geopolitik yang sangat berpengaruh terhadap harga minyak tentu akan sangat
memberatkan industri-industri di Tanah Air. Sebab, diduga harga minyak bisa
kembali melonjak tak terhingga jika konflik Iran dan AS buntu.
Kedua, peralihan ke bahan bakar gas (BBG)
menjadi sangat niscaya disebabkan cadangan gas Indonesia yang masih dapat
dipergunakan untuk jangka waktu 90 tahun mendatang. Penggunaan BBG diyakini
selain lebih murah dan hemat juga ramah lingkungan. Efisien dalam harga dan
higienis dalam penggunaan, begitu kira-kira ujaran yang tepat untuk BBG.
Pemerintah kiranya perlu untuk berpikir lebih cepat dalam menyusun dan
merumuskan termasuk penyiapan SPBG hingga converter kit. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar