Ijtihad Liar MK
(TANGGAPAN UNTUK NURUL IRFAN)
http://budisansblog.blogspot.com/2012/02/ijtihad-spektakuler-mk.html
http://budisansblog.blogspot.com/2012/02/ijtihad-spektakuler-mk.html
Muh Nursalim, KEPALA
KUA KECAMATAN GEMOLONG, SRAGEN;
KANDIDAT DOKTOR UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Sumber
: REPUBLIKA, 25 Februari 2012
Tahun
lalu, di kantor kami, 10 persen calon pengantin telah hamil. Mereka nikah
karena terpaksa, married by accident.
Dengan putusan MK tentang Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, tampaknya jumlah yang menikah karena `kecelakaan' akan mengalami
penurunan.
Saksi
ahli dalam judicial review UU No 1 Tahun 1974, Nurul Irfan, dalam harian ini
menulis, “Jika tambahan rumusan pasal itu
dipahami hanya dari sudut kalimat semata-mata maka akan sangat wajar jika
akhirnya menuai kontroversi. Oleh sebab itu, pemahaman runtut dan komprehensif
sangat dibutuhkan agar tidak salah paham. Meminjam istilah ulumul qur'an dan
ulumul hadits, rumusan pasal ini harus dikaitkan dengan asbabun nuzul atau
asbabul wurud yang melatarbelakanginya“.
Bagi
para pengkaji hukum, memahami sebuah teks hukum dengan melihat latar
belakangnya memang akan dapat memahaminya secara komprehensif.
Misalnya, untuk memahami UUD 1945 sebelum amandemen terdapat penjelasan sebagai berikut:
Misalnya, untuk memahami UUD 1945 sebelum amandemen terdapat penjelasan sebagai berikut:
Memang
untuk menyelidiki hukum dasar (droit
constitutionsel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal
undang-undang dasarnya (Loi
constitutionelle), tetapi juga harus menyelidiki bagaimana praktiknya dan
bagaimana suasana kebatinannya. Inilah yang oleh Mahfud MD dalam disertasinya
yang dinamakan politik hukum.
Pasal-pasal
hukum tidak turun dari ruang hampa, tetapi melalui tarik ulur berbagai
kepentingan. Ketika sudah menjadi rumusan dan disahkan maka penerapannya di
masyarakat tidak ada satu pun pasal yang mengharuskan pemakainya melihat latar
belakang ayat tersebut ketika dirumuskan. Karena itu, anjuran Nurul Irfan agar
kita memahami asbabun nuzul putusan
MK ini sama sekali tidak relevan. Latar belakangnya memang untuk mengesahkan
anak hasil pernikahan siri, tetapi putusannya melebar mengesahkan anak hasil
kumpul kebo, kawin kontrak, anak jadah, dan lain-lain. Putusan ini semacam ultra petita, putusan yang melebihi
tuntutan.
Bertentangan dengan Syariah
Selama
ini, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dibanggakan sebagai fikih munakahat
mazhab nasional. Hal ini terkait adanya beberapa kekhasan pada pasal-pasalnya
yang berbeda dengan fikih munakahat di negeri Muslim lain, misalnya, soal
poligami. Ini berbeda dengan Arab Saudi, Tunisia, dan lainnya yang memudahkan
poligami.
Salah
satu maqasid al syari'ah (tujuan
syariah) adalah hifzhun nasl
(memelihara nasab atau keturunan). Untuk tujuan ini, lembaga perkawinan menjadi
satu-satunya cara yang harus ditempuh. Tanpa perkawinan, keturunan yang
dihasilkan menjadi tidak sah. Islam sangat perhatian dalam urusan nasab ini.
Dalam kitab-kitab tafsir terdapat asbabun
nuzul yang sangat menarik terkait persoalan ini. Rasulullah memiliki anak
angkat bernama Zaid. Rasul kemudian memanggil anak ini dengan nama Zaid bin
Muhammad walau secara nasab, ia bukan
anak kandung. Allah SWT kemudian menurunkan surah al-Ahzab ayat 4 sebagai
teguran kepada Rasulullah SAW. Sejak turunnya ayat tersebut, Rasul tidak lagi
memanggil Zaid bin Muhammad, tetapi menasabkan dengan bapaknya, Haritsah.
Dalam
rangka kepastian nasab ini pula, pada perceraian ada ketentuan idah, yaitu masa
tunggu istri setelah cerai. Sebelum menikah dengan orang lain, seorang wanita
yang bercerai harus menunggu sampai yakin bahwa rahimnya bersih dari benih
mantan suaminya terdahulu. Bila ia hamil, idahnya sampai melahirkan dan bila
suci, sampai idahnya tiga kali haid. Sedangkan, untuk janda yang ditinggal mati
suaminya, idahnya empat bulan 10 hari.
Mengapa
Islam sangat perhatian dalam urusan nasab? Paling tidak, akibat pernasaban itu
terkait empat perkara: perkawinan, perwalian, warisan, dan hijab. Tiga yang
pertama merupakan hak-hak keperdataan, sedangkan hijab merupakan hukum yang
berkaitan dengan akhlak pergaulan. Misalnya, dari 14 wanita yang haram
dinikahi, tujuh di antaranya karena hubungan nasab.
Dari aspek perwalian nikah terdapat 21 wali nikah yang sah, mulai yang
terdekat, yaitu al-abu (bapak) sampai yang terjauh anak laki-laki paman kakek.
Bila 21 wali nasab ini tidak ada, baru boleh pindah ke wali hakim.
Bila 21 wali nasab ini tidak ada, baru boleh pindah ke wali hakim.
Adapun
warisan, selain suami/istri hanya orang yang terkait nasablah yang berhak
mendapat warisan. Sedangkan, untuk masalah hijab selain suami/istri, hanya
orang yang terkait nasab tertentu yang boleh melihat aurat kita. Beberapa
ketentuan ini menunjukkan, betapa nasab itu menjadi urusan yang sangat penting
untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Maka, tidak salah bila syariah Islam
meletakkannya pada al-maslahah al-hajiyat (primer).
Kami
melihat, putusan MK atas Pasal 43 Ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan telah mengacaukan antara anak secara biologis dan anak secara nasab.
Keduanya didudukkan sama dalam hal memperoleh hak keperdataan. Saya yakin,
tujuan MK baik, yaitu memberikan hak yang sama terhadap setiap warga negara
Indonesia. Sebab, anak yang lahir di luar perkawinan pun bukan keinginannya
sendiri, melainkan akibat perbuatan maksiat “orang tuanya“.
Dalam Islam, maksiat orang tua seperti itu
masuk dalam ranah jarimah, mereka
terancam hukuman dari Allah, yaitu dirajam sudah bersuami/istri dan didera 100
kali bila jejaka/perawan. Adapun anak hasil nikah siri (di luar perkawinan
resmi), putusan MK tersebut sudah pas, hanya saja ijtihad MK ini menjadi liar
tatkala yang termaktub adalah “anak yang
dilahirkan di luar perkawinan....“ Sebab, kalimat ini mencakup semua anak
tanpa kecuali. Karena itu, perlu tafsir resmi dalam bentuk peraturan pemerintah
atau peraturan menteri sehingga dapat menjadi pedoman pejabat teknis di tingkat
bawah tanpa harus melanggar syariat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar