Isu
Iran dan Harga BBM
Fahmi AP Pane, TENAGA AHLI FRAKSI PPP DPR RI
Sumber
: REPUBLIKA, 27 Februari 2012
Perang
psikologi dan diplomasi kapal perang (gun
boat diplomacy) antara Iran dan sekutunya menghadapi Israel dan seku tunya
meningkat. Harga minyak mentahpun meningkat ke posisi tertinggi selama delapan
bulan terakhir. Secara bersamaan, menguat pula desakan mengubah UU No 22 Tahun
2011 tentang APBN 2012. Konsekuensinya boleh jadi adalah peningkatan besar
subsidi BBM, pembatasan jumlah konsumsi BBM, kenaikan harga, penambahan utang
baru, dan sebagainya.
Goyangnya
APBN karena konflik Iran dan Israel adalah ironis karena sejak 2007 Indonesia
tidak lagi mengimpor minyak mentah dari Iran. Masalahnya, ketergantungan negeri
ini terhadap impor minyak mentah dan BBM masih terlalu besar. Akibatnya,
penerimaan negara dari produksi dan ekspor minyak mentah dan BBM tereduksi.
Peluang Perang
Dua
jenis BBM yang paling banyak disorot dalam isu pembatasan konsumsi dan atau
kenaikan harga, yakni Premium (RON 88) dan solar (ADO) setiap harinya diimpor
masing-masing sebanyak 37.600 kiloliter dan 23.800 kiloliter. Pertanyaannya,
benarkah retorika kebencian yang terjadi di antara Iran dengan AS, Inggris,
Israel, dan sekutunya akan berujung perang sungguhan sehingga APBN 2012 harus
diubah atau bahkan dinyatakan darurat?
Untuk
menjawabnya, penulis akan memaparkan berbagai manuver militer dan pernyataan
politik dari kedua kubu. Peluang perang terbuka karena Iran pernah mengancam
akan memblokade Selat Hormuz. Namun, sebenarnya itu reaksi spontan Iran
terhadap manuver AS yang melobi Uni Eropa untuk mengembargo minyak Iran.
Strategi kunci Iran terkuak. Repotnya, Rusia dan Cina tidak setuju penutupan
selat dan mendesak Iran berunding lagi.
Peluang
perang juga dimunculkan Israel. Dalam banyak kesempatan, PM Benjamin Netanyahu
mendesak AS dan Eropa untuk menyerang Iran karena telah mempersiapkan senjata
nuklir.
Namun Presiden Obama menyatakan, menyerang Iran berisiko. Ia mengutamakan opsi
pendekatan diplomatik (Reuters, 5 Februari).
Adapun
Rusia dan Cina sebagai sekutu tradisional Iran dan rezim Assad (Suriah)
konsisten menolak opsi militer terhadap Iran, termasuk melalui payung PBB.
Sementara, Iran terlihat mulai menjauhi opsi militer dengan menawarkan
perundingan kembali dan kesediaan diinspeksi IAEA (Badan PBB untuk Energi
Atom).
Soal
embargo minyak juga terlihat setengah hati. Uni Eropa memutuskan mengembargo
minyak Iran mulai 1 Juli dengan alasan Yunani dan Italia dilanda krisis
ekonomi. Iran membalasnya dengan mengancam menyetop pengiriman minyak ke
Inggris dan Prancis. Tapi, sejak enam bulan terakhir Inggris tidak mengimpor
minyak dari Iran.
Adapun
India dan Korea sebagai importir utama minyak Iran menolak mengikuti keputusan
Uni Eropa. Bahkan, belakangan Jepang menyatakan belum memutuskan memotong impor
minyak dari Iran. Yang paling mungkin adalah serangan udara Israel ke fasilitas
nuklir Iran.
Peluang
ini membesar jika komunitas Yahudi internasional tidak menginginkan Presiden
Obama terpilih kembali. Indikasinya ialah survei Pew yang menemukan 62 persen
kaum Republiken berpendapat pemerintahnya harus mendukung serangan Israel. Dan,
hanya sepertiga kaum Demokrat berpendapat demikian. Kalau ini terjadi, maka ini
seperti kekalahan Presiden Jimmy Carter (Demokrat) yang populer karena
perundingan Camp David pada 1978, namun gagal menangani penyanderaan warga AS
di Kedubes Teheran sejak 4 November 1979. Uniknya, semua sandera dibebaskan
beberapa saat sebelum Presiden Ronald Reagan (Republik) dilantik pada 20
Januari 1981.
Walaupun
demikian, kita perlu mencermati apa yang luput diperhatikan saat Wapres Cina Xi
Jinping mengunjungi AS. Selain bertemu Obama, dia bersua dengan tokoh-tokoh
Yahudi, seperti Henry Kissinger, Madeleine Albright, Zbigniew Brezinski, Sandy
Berger, dan lain-lain. Dilaporkan situs Pemerintah Cina (china.org.cn, 14
Februari), Xi disambut hangat oleh para tokoh Grup Bilderberg, Council on
Foreign Relations, dan Trilateral
Commission, organisasi rahasia yang disebut-sebut `menyutradarai' politik
dunia. Sepanjang Cina tidak menyetujui penyerangan Iran dan para tokoh Yahudi
Bilderberg merasa nyaman dengan Cina, maka pernyataan Netanyahu hanya menambah
daftar perang kata-kata antara Amerika-Israel dan Iran sejak lebih dari 30
tahun lalu.
Karena itu, Indonesia lebih baik fokus pada
solusi lebih mendasar ketimbang hanya membicarakan kenaikan harga BBM atau
pembatasan volume konsumsi. Misal, perubahan UU Migas, pengutamaan produksi
minyak untuk kilang domestik, konversi sebagian BBM kepada gas, pengembangan
transportasi publik, dan sebagainya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar