Diversifikasi
Pangan Salah Kaprah!
Ali Khomsan, GURU BESAR DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FEMA IPB
Sumber
: KOMPAS, 29 Februari 2012
Hari Selasa adalah hari tanpa nasi bagi
masyarakat Depok, Jawa Barat. Bisakah diversifikasi konsumsi pangan dipaksakan
melalui peraturan pemerintah?
Kenyataan menunjukkan, ketaatan masyarakat
terhadap pemimpin formal atau peraturan pemerintah saat ini bersifat semu.
Berbagai contoh pelanggaran dengan mudah bisa dijumpai. Sebutlah produsen tahu
yang banyak memakai formalin tanpa sanksi hukum meski jelas melanggar UU
Pangan.
Ketidakpatuhan terhadap berbagai aturan yang
bersifat kasatmata, seperti pelanggaran aturan lalu lintas, pungli di jalan
raya, dan korupsi terang-terangan dari tingkat atas sampai bawah, adalah potret
keseharian bangsa. Mengapa pula soal makan nasi harus diatur pemerintah?
Di Jepang, anak-anak usia TK diperkenalkan
dengan diversifikasi pangan melalui menu makan di sekolah. Tidak setiap hari
nasi disajikan sebagai makanan di sekolah sehingga sejak usia dini telah tertanam
di benak bangsa Jepang bahwa makan tidak berarti harus bersua nasi dan merasa
kenyang dengan pangan lain.
Sesungguhnya prasyarat penting keberhasilan
diversifikasi pangan adalah membaiknya kesejahteraan. Masyarakat menengah atas
mengonsumsi nasi dalam jumlah lebih sedikit karena menu makannya tidak lagi
didominasi nasi. Mereka punya pilihan sumber protein dan lemak, termasuk buah,
sehingga mengurangi tekanan permintaan beras.
Ketika tamu-tamu di hotel berbintang di Jatim
disuguhi sarapan pagi nasi jagung, banyak di antara mereka yang mengatakan
enak. Nasi jagung dan nasi singkong bisa dibuat dalam bentuk butiran seperti
beras, tetapi ketidaktersediaan di pasar menyebabkan masyarakat mengonsumsi
kedua sumber karbohidrat ini sebagai cemilan, bukan pangan pokok pengganti
beras.
Peran
Budaya
Kami, tim peneliti Institut Pertanian Bogor
(IPB) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), telah mengkaji masyarakat
Kampung Cirendeu-Cimahi yang mengonsumsi beras singkong (rasi) sejak 1924.
Penelitian yang dibiayai oleh Neys-van Hoogstraten Foundation the Netherlands
ini menunjukkan pentingnya peran budaya dalam mempromosikan pola pangan rasi
sebagai pengganti beras.
Pemimpin informal masyarakat Cirendeu memberi
contoh langsung untuk tidak makan nasi dan menyosialisasikan alasan mengapa
mereka lebih baik makan rasi. Pola makan nonberas pun bisa terus dipertahankan.
Masyarakat Indonesia adalah konsumen beras
utama dunia. Dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa, produksi beras setiap tahun
senantiasa berpacu dengan jumlah penduduk.
Pada era Orde Baru, para pegawai negeri sipil
(PNS) mendapat jatah beras 20 kilogram per anggota rumah tangga. Ini sering
dituding sebagai penyebab semakin banyaknya orang yang suka beras, termasuk PNS
di wilayah timur Indonesia, yang dulunya mungkin makan sagu, ubi jalar, atau
jagung. Kini, kebijakan pembagian beras sudah dihentikan, tetapi masyarakat
telanjur cinta beras.
Kebijakan zaman reformasi lain lagi.
Pemerintah membagi-bagikan beras untuk orang miskin dengan harga sangat murah.
Akibatnya, masyarakat miskin tetap memilih beras dan tidak menghiraukan pangan
sumber karbohidrat lain yang murah.
Ketidakkonsistenan dalam promosi
diversifikasi pangan juga dicerminkan oleh kurangnya kepedulian jajaran
pertanian terhadap pangan umbi-umbian. Penyuluh pertanian sering lebih
berkonsentrasi kepada petani sawah yang memproduksi beras.
Para penyuluh ini tentu tidak sepenuhnya
bersalah karena mereka juga ingin menyukseskan swasembada beras. Namun, semua
ini membuat kita semakin tidak peduli terhadap pangan sumber karbohidrat
nonberas.
Yang
Penting Praktik
Sosialisasi pentingnya diversifikasi pangan
kadang bersifat hangat-hangat tahi ayam. Pada Hari Pangan, Hari Gizi Nasional,
atau peringatan Hari Kemerdekaan diadakan lomba menu nonberas. Setelah lomba
selesai, tamat pula diversifikasi pangan. Kita lupa bahwa diversifikasi pangan
yang sebenarnya adalah gerakan yang terus-menerus disuarakan dan dipraktikkan
dalam pola makan bangsa.
Oleh karena itu, melalui pendidikan sejak
usia dini seperti di Jepang dan gerakan masyarakat melalui Tim Penggerak PKK
diharapkan diversifikasi pangan kembali ke hakikatnya. Urusan makan nasi atau
tidak makan nasi tidak perlu diatur pemerintah. Semakin banyak aturan, semakin
pintar pula bangsa kita mencari celah untuk melanggar. Kalau pemerintah
melarang makan nasi, kita makan lontong.
Diversifikasi adalah kesadaran yang ditunjang
oleh kesejahteraan dan keteladanan. Maka, segera entaskan orang miskin, atasi
pengangguran, dan ciptakan lapangan kerja. Energi kita selama ini banyak terkuras
untuk kasus-kasus korupsi dan premanisme. Padahal, masih ada urusan yang tak
kalah penting, yaitu problem ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar