Kemana
Arah Revisi UU Penyiaran?
Arie F. Batubara, PEKERJA SENI; PENGAMAT DAN AKTIVIS POLITIK, MENETAP DI TANGERANG
Sumber
: KOMPAS, 25 Februari 2012
Ada kabar penting dari Komisi I DPR terkait
dengan UU No 32/2002 tentang Penyiaran: mereka tengah menggodok perubahan UU
tersebut.
Tanggal 1 dan 8 Maret 2012, Komisi I
berencana menyelenggarakan dengar pendapat umum. Apa yang melatarbelakangi
perubahan itu sejauh ini tidak pernah jelas. Komisi I tidak atau belum pernah secara
terbuka membeberkannya. Hanya satu hal yang sangat jelas: hingga kini
undang-undang tersebut belum dilaksanakan sepenuhnya.
Salah satunya adalah ketentuan dalam Pasal 20
yang menyatakan bahwa lembaga penyiaran swasta ”...hanya dapat menyelenggarakan
1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah
siaran”. Memang, baik UU maupun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2005
tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta tak menyebutkan
secara jelas apa ”cakupan wilayah siaran” itu.
Namun, semua sebenarnya paham bahwa
terminologi itu identik dengan siaran lokal. Merujuk pada draf awal yang
dirumuskan oleh Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), pengertian
wilayah siaran adalah ”sama dengan wilayah administratif provinsi”.
Kenyataannya, hingga kini lembaga penyiaran
swasta yang bersiaran secara nasional tak kunjung bersiaran secara lokal. Oleh
karena itu, perubahan ini harus dicermati agar hasil akhirnya kelak adalah
undang-undang yang benar-benar relevan dengan realitas sosio-kultural
Indonesia, tidak multitafsir, serta dipatuhi semua pihak.
Nasional
versus Lokal
Isu pertama yang perlu digarisbawahi
menyangkut persoalan siaran nasional dan lokal. Ketika para praktisi dan
aktivis penyiaran yang tergabung dalam MPPI merumuskannya lebih kurang 12 tahun
lalu, sesungguhnya sempat ada perdebatan seru soal ini.
Dari serangkaian diskusi, akhirnya dicapai
kesepakatan, penyelenggaraan oleh lembaga penyiaran yang menggunakan spektrum
radio (teresterial) dengan sifat free to air (gratis) haruslah bersiaran lokal
dengan rumusan seperti Pasal 20 UU tersebut. Selanjutnya dibuat batasan
mengenai wilayah siaran, tetapi kemudian ”dibuang” oleh DPR.
Aturan ini ”ditolak”, khususnya oleh sejumlah
stasiun televisi swasta yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia
(ATVSI) yang sudah bersiaran secara nasional ketika UU tersebut diundangkan.
Alasannya, mereka telah mengeluarkan investasi yang tidak sedikit untuk
membangun infrastruktur.
Pemerintah sepertinya ”berkompromi” dengan
kemauan anggota ATVSI ini. Setelah masa penyesuaian lima tahun yang jatuh tempo
pada 27 Desember 2007, pemerintah (Kementerian Komunikasi dan Informatika)
malah memperpanjang masa penyesuaian itu setahun lagi. Dan, ketika masa satu
tahun itu juga usai, tak jelas lagi kabar beritanya sehingga siaran lokal itu
tak pernah terwujud.
Menyesatkan
Muncul pula semacam kekhawatiran di kalangan
publik bahwa kebijakan lembaga penyiaran swasta harus bersiaran lokal akan
berakibat pada hilangnya kesempatan masyarakat, khususnya di daerah, memperoleh
layanan informasi lebih luas. Anggapan ini muncul karena pemahaman yang keliru
bahwa dengan bersiaran lokal, siaran stasiun televisi nasional yang saat ini
semuanya berdomisili di Jakarta hanya bisa diterima di Jakarta. Isu ini sempat
”ditiupkan” ATVSI.
Isu ini sangat keliru dan menyesatkan. Meski
bersiaran secara lokal, tetap terbuka kemungkinan bersiaran secara nasional
melalui pola siaran berjaringan. Bedanya, jika pada pola siaran nasional
sekarang suatu stasiun televisi menyelenggarakan kegiatan penyiaran sendiri,
dengan pola berjaringan stasiun tersebut harus melibatkan stasiun lokal.
Maka, isu kedua yang penting pula
digarisbawahi adalah siaran berjaringan. UU No 32/2002 memang menyinggung
sedikit masalah ini, khususnya Pasal 31 Ayat 3 dan 4. Ini diurai dalam
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen Kominfo) No 43/2009. Jika
dicermati, ”semangat” peraturan ini tetap memosisikan lembaga penyiaran yang
sudah bersiaran secara nasional tetap bersiaran nasional.
Hal ini antara lain tecermin dari ketentuan
yang menyebutkan bahwa anggota jaringan dalam suatu sistem siaran berjaringan
lebih difungsikan sebagai stasiun relai dari stasiun induk. Padahal, semangat
dasar dari kehadiran UU No 32/2002 adalah keragaman, baik kepemilikan
(ownership) maupun isi (content), akibat keterbatasan sumber (limited
resources) yang bernama frekuensi sehingga lembaga penyiaran semestinya otonom.
Pengertian tentang siaran berjaringan
kelihatannya juga ”diselewengkan” dengan memberi peluang relai siaran hingga 90
persen dari seluruh waktu siaran per hari. Artinya, pola siaran berjaringan
yang diatur dalam peraturan menteri tersebut hakikatnya hanya melanggengkan
praktik penyiaran yang ada selama ini, tidak berupaya memberdayakan lembaga
penyiaran lokal.
Jika kita periksa secara benar dan dengan
mengacu kepada semangat keragaman, yang namanya siaran berjaringan semestinya
dipilah berdasarkan isi, yaitu siaran berjaringan secara langsung (dilakukan
secara bersama-sama untuk suatu mata acara yang sama, pada waktu yang sama) dan
siaran berjaringan secara sindikasi (tidak langsung). Siaran langsung meliputi
mata acara yang sifat siarannya langsung (live broadcasting), seperti berita,
pertandingan olahraga, dan semacamnya.
Sebaliknya, programa yang bersifat recording
(on tape) cukup dalam bentuk sindikasi. Dengan demikian, penyiaran programa
tersebut oleh anggota jaringan tidak harus berlangsung pada waktu yang sama
dengan yang dilakukan dengan lembaga penyiaran yang menjadi induk. Lembaga penyiaran
yang menjadi anggota dari suatu sistem jaringan bukan stasiun relai.
Peran
Negara dan KPI
Isu ketiga yang penting dicermati benar
adalah peran negara (eksekutif ataupun legislatif) dan Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) dalam penyelenggaraan penyiaran. UU No 32/2002 meletakkan
negara dalam peran sentral sebagai penentu, mulai dari menguasai spektrum
frekuensi, membuat aturan, hingga menentukan komisioner KPI.
Ke depan, peran ini harus lebih dibatasi pada
pihak yang menguasai spektrum frekuensi dan melakukan pengawasan secara umum.
Hal-hal yang bersifat teknis, seperti membuat dan menetapkan aturan pelaksanaan
kegiatan penyiaran, siapa yang berhak menggunakan spektrum frekuensi, bagaimana
frekuensi digunakan, dan sanksi kepada lembaga penyiaran jika terjadi
pelanggaran, sebaiknya diserahkan kepada KPI.
Untuk itu, KPI harus diperkuat, baik secara
kelembagaan maupun sumber daya manusia. Agar menjadi komisi yang independen dan
berwibawa, KPI harus menjadi komisi negara tanpa intervensi sedikit pun.
KPI semacam ini hanya bisa terwujud apabila
pertama, para anggotanya adalah mereka yang memiliki rekam jejak, kredibilitas,
dan kompetensi di dunia penyiaran. Kedua, sebagai konsekuensi, perekrutan tidak
lagi melalui proses politik di DPR, tetapi oleh panel yang dibentuk khusus
untuk itu secara terbuka. Anggota panelis harus mumpuni dan mewakili semua
pihak (seperti akademisi, ulama, komisi perlindungan anak dan perempuan, dan
sebagainya).
Negara dalam hal ini lebih mengambil posisi
tut wuri handayani dalam konteks mengawasi karena yang menetapkan dan
mengukuhkan keanggotaan KPI adalah presiden sehingga KPI bertanggung jawab
kepada presiden sebagai kepala negara. Kepada DPR, KPI cukup memberi laporan
dalam kaitan dengan pengawasan.
Sepintas, gagasan ini cenderung menjadikan
kegiatan penyiaran menjadi sangat liberal karena negara (eksekutif dan
legislatif) seperti tidak memiliki kekuatan apa-apa. Namun, penting
digarisbawahi, peran negara dalam hal ini sebenarnya sudah dipindahkan ke KPI.
Saat ini, yang justru lebih terlihat menonjol
adalah kepentingan eksekutif dan legislatif—cenderung bernuansa politis—yang
ditumpangi kepentingan bisnis pragmatis. Akibatnya, sukar berharap bahwa
kegiatan penyiaran benar-benar bermanfaat bagi sebesar-besarnya kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat sebagaimana yang menjadi amanat dasarnya, baik melalui
konstitusi maupun UU penyiaran.
Tentu saja kita semua juga tidak ingin
kegiatan penyiaran menjadi tidak bermanfaat bagi bangsa dan negara ini bukan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar