“Pak
Taufik, We Salute You”
Budiarto Shambazy, WARTAWAN SENIOR KOMPAS
Sumber
: KOMPAS, 25 Februari 2012
Tokoh-tokoh nasional berkumpul di Jakarta,
Rabu (22/2), dalam peluncuran buku Empat Pilar untuk Satu Indonesia.
Buku ini kumpulan tulisan tokoh untuk mengabadikan jasa Ketua MPR Taufiq Kiemas
selaku pemrakarsa empat pilar—Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ini bukti empat pilar bukan slogan kosong
belaka. Malahan relevansinya makin terasa di tengah karut-marut negeri ini yang
berjalan seperti ”pesawat otopilot”.
Akibat korupsi makin merajalela, Pancasila
jadi olok-olok lagi. Sila pertama ”Keuangan yang Mahakuasa”, kedua ”Kemanusiaan
Tak Adil dan Tak Beradab”, ketiga ”Perpecahan Indonesia”, keempat ”Kerakyatan
yang Dipimpin dengan Diam-diam Tanpa Musyawarah”, dan kelima ”Keadilan Sosial
bagi Seluruh Keluarga dan Pendukungnya Saja”.
UUD 1945 yang telah empat kali diamandemen
nyaris tak membuahkan apa pun bagi kesejahteraan rakyat. Amandemen justru
menimbulkan kekisruhan baru konstitusional, misalnya parlemen kita menjadi
satu-satunya di dunia yang bersistem ”tiga kamar” karena ada MPR, DPR, dan DPD.
Amandemen demi amandemen cuma menyiratkan
sebuah hal: kita doyan menulis dan berdebat tentang hukum. Kertas undang-undang
kalau ditumpuk sudah lebih tinggi daripada Monas. Pejabat dan ahli hukum pandai
bersilat lidah, jika perlu 24 jam tanpa henti.
Akan tetapi, semua merasa above the law.
Mereka yang di pusaran kekuasaan setiap hari melanggar aturan—kalau perlu
berbohong. Jangan salahkan jika orang-orang kecil pun ikut-ikut, mulai dari
rakyat yang marah membakari rumah dinas bupati sampai buruh yang menutup jalan
tol.
Kebinekaan sudah dilecehkan sejak terjadi
serbuan terhadap pawai damai 1 Juni 2008 di Monas. Belum lagi serangan terhadap
kaum minoritas dan pengabaian hak konstitusional/hukum, seperti yang dialami
jemaah GKI Yasmin di Bogor. Dan, anehnya, pemerintah tenang-tenang saja.
Barangkali satu-satunya pilar yang masih utuh
adalah NKRI meski sejak reformasi muncul gejala perpecahan akibat otonomi
daerah yang melonggarkan kontrol pusat sekaligus melahirkan ”raja-raja kecil”
di daerah. Namun, tak mustahil pula kita bisa saja kembali mengulang preseden
sejarah Yugoslavia dan Uni Soviet.
Apa yang dilakukan Taufiq dengan
menggairahkan kembali empat pilar harus dipandang sebagai prakarsa
kenegarawanan ketimbang sekadar manuver politisi. Sama seperti Megawati
Soekarnoputri yang berjuang habis-habisan mempertahankan politik berprinsip,
Taufiq memilih jalan yang relatif sepi.
Mereka saat ini satu-satunya ”pasutri
politik” di republik ini. Dari perspektif ideologis, apa yang dikerjakan mereka
amat sinkron sekalipun mesti diakui dalam praktik politik justru kontroversial
karena kerap berlawanan.
Tidak heran mereka tetap akan menjadi sorotan
sampai tahun pemilu-pilpres. Apalagi, sejumlah jajak pendapat belakangan ini
menempatkan Megawati sebagai capres dengan elektabilitas tertinggi, hal yang
kembali menempatkan Taufiq dalam posisi canggung karena mungkin kurang sesuai
dengan agenda dia melanjutkan dinasti Soekarno.
Taufiq dan Megawati dua politisi ulung yang
memulai karier dari bawah. Malahan mereka memulainya dengan penderitaan: Taufiq
dibui Orde Baru dan Megawati dipaksa keluar dari perguruan tinggi karena
aktivitas politik mereka di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.
Dan, seperti kita tahu, mereka dan PDI-P
melawan Orde Baru sampai terjadi peristiwa 27 Juli 1996. Namun, nasib mereka
dan PDI-P berubah 180 derajat dari Pemilu-Pilpres 1999 ke 2004.
Jujur saja, masa depan PDI-P termasuk cerah.
Selain karena berperan sebagai partai oposisi terbesar yang bersikap relatif
konsisten, posisi ”Moncong Putih”—seperti halnya Golkar—relatif stabil berkat
kepemimpinan Megawati.
Dengan elektabilitas tertinggi, Megawati
minimal dapat berperan sebagai the king maker. Transisi kepemimpinan, apakah
melalui cara ”anak biologis” atau ”anak ideologis”, relatif berjalan mulus.
Faktor lain yang menguntungkan PDI-P adalah
melorotnya legitimasi Partai Demokrat yang berkuasa akibat merajalelanya
pragmatisme (baca: korupsi). Faktor lain adalah ketidakberpihakan sistem
ekonomi yang makin menyengsarakan rakyat serta ketidaktegasan kepemimpinan
nasional.
Di atas segala-galanya, rakyat pada akhirnya
membutuhkan politik yang berprinsip. Politik mesti menjunjung tinggi prinsip
yang terkandung dalam ideologi, etika, dan juga praktik.
Dan, politik yang berprinsip mustahil tanpa
kehadiran ideologi. Singkat kata, kita semua rindu pada empat pilar yang kokoh
yang menjadi landasan kita hidup sebagai bangsa besar.
Itulah yang dilakukan Taufiq, yang
menggairahkan lagi empat pilar. Ia mengisi kembali kekosongan kita akan
ideologi Pancasila, keteraturan bernegara melalui UUD 1945, kebinekaan kita
sebagai bangsa pluralistis, dan NKRI sebagai wilayah yang mewadahi persatuan
kita.
Sekali lagi, Taufiq telah—dan tetap
akan—memainkan peranan sentral di PDI-P. Ada sebuah cerita menarik ketika saya
menikmati makan siang bersama dia beberapa waktu silam.
Ia mengatakan, ”Angka pelat nomor mobil dinas
saya ’naik’ terus, dari Republik Indonesia atau RI-1 (dulu B-1) sampai ke RI-5.
Saya ikut naik mobil B-1 karena Mbak Mega jadi presiden. Sebagai suami Mbak
Mega, saya berhak atas pelat nomor B-2. Pelat nomor B-3 menjadi jatah Mbak Mega
saat dia menjadi Wakil Presiden dan B-4 untuk satu-satunya first gentleman
(bapak negara/suami presiden) di Indonesia.”
Kini, mobil dinas Taufiq sebagai Ketua MPR
berpelat nomor RI-5. Dan, ia tetap kurang nyaman dengan predikat ”RI 1,5” yang
pernah menempel erat pada dirinya. ”Pak Taufiq, we salute you!” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar