Mental
Buruh Kaum Intelektual
Musyafak, ANGGOTA
STAF BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGAMA SEMARANG
Sumber
: KORAN TEMPO, 28 Februari 2012
Watak kaum intelektual di Indonesia terolah
dalam semangat buruh. Itulah buntut dari strategi pendidikan kolonial yang
dirancang sebagai sistem perburuhan. Kerja sekolah mencetak kalangan berakal
pikir, tapi dibebat mental kebergantungan: "kebaikan" penguasa
mengangkatnya sebagai abdi.
Wacana itu terbetik pada 1942. Dalam Rapat
Umum Partai Nasional Indonesia di Bandung dan Jakarta, ketika itu, pidato Bung
Karno bertajuk "Kewadjiban Kaoem Intellectueel" seolah merupakan
timah panas yang ditembakkan ke tubuh kaum intelektual pribumi. Pidato itu
disarikan dalam buku Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok suntingan A.
Zainoel Ihsan dan Pitoet Soeharto (1981). Bahwasanya banyak intelektual pribumi
yang bermental buruh: mereka yang menggantungkan diri atas pekerjaan yang
diberikan oleh pemerintah kolonial, menikmati jeratan kekuasaan, dan enggan
berpaling pada barisan pergerakan rakyat yang menghasrati kemerdekaan republik.
Semestinya kaum intelektual tak mangkir dari panggilan perjuangan yang
diagendakan rakyat bersama para intelektual pejuang.
Taktik Imperial
Saat itu, imperialisme-kapitalisme bercorak
industrial yang ditanam Belanda masih mekar di Indonesia, meski dominasi
politik kolonial berangsur-angsur melemah. Kerja mengeruk rempah-rempah, juga
perusahaan-perusahaan yang dibangun kolonial, terus berjalan menggemukkan
timbunan "untung-jarahan".
Sebagaimana tinjauan Bung Karno, yang merujuk
pada gagasan Spreker, imperialisme-kapitalisme bercorak industrial menandaskan
kuasa politik pengetahuan yang mempengaruhi genealogi kaum intelektual
Indonesia. Imperialisme industrial memerlukan banyak pekerja. Riwayat bangsa
Indonesia terlarat sebagai buruh kasar dalam kerja paksa atau buruh industri
yang berupah murah. Kaum intelektual--yang oleh Bung Karno dimaknakan sebagai
kalangan yang akal pikirannya mendapat didikan--menjadi sasaran untuk
diperburuhkan sebagai "buruh lemas" (buruh halus). Mental "daulat
tuanku" membuat orang-orang pengenyam sekolahan itu justru menikmati
pendisiplinan tubuh dan pikiran. Sikap itu terlalu mahal untuk menebus masa
depan sebagai buruh halus di lembaga-lembaga atau perusahaan kolonial.
Wicara kritik Bung Karno tentang kewajiban
kaum intelektual untuk memihaki gerakan perubahan bangsa itu sudah tujuh dekade
dilalui waktu. Sejauh itu, watak buruh di tubuh kaum intelektual sudahkah
meluruh?
Nada pertanyaan tersebut bisa menjadi
polifonik: kecemasan, kegemasan, kengenasan, penyangsian, juga penyangkalan.
Kaum intelektual Indonesia hari ini masih diacungi tanda tanya terkait dengan
posisi dan perannya dalam proses transformasi kehidupan
bermasyarakat-berbangsa.
Kampus menjadi titik bidik segala gugat dan
kritik. Sebab, lembaga pendidikan tinggi itulah yang paling nyaring mendaku
diri sebagai rahim sekaligus rumah kaum intelektual. Guru besar, dosen,
sarjana, juga calon sarjana hidup berkerumun di lingkungan ilmiah yang
diorganisasikan dengan tata birokrasi, di mana obsesi profesionalitas, di sisi
lain, menyusupkan agenda pendisiplinan pikiran. Tak jarang kampus menjadi ruang
yang kontraproduktif bagi perkembangan pemikiran dan gagasan-gagasan yang bisa
ditransformasikan ke dalam praktek-praktek kehidupan masyarakat. Pengulangan
gagasan dengan teknik pengutipan atau kompilasi gagasan orang lain tumbuh lebih
subur.
Ironi Profesionalitas
Ironi kaum intelektual terbentang. Dosen
sekadar sibuk di ruang kelas, atau akademisi dibebani amanat birokrasi sehingga
duduk "terpuruk" di meja kerja. Profesionalisme memfungsikan dosen
dan akademisi sekadar alat mencapai target dari program-program yang
direncanakan oleh perguruan. Di bawah kaki profesionalisme, kaum intelektual
melakukan kerja-kerja sesuai dengan target dan imbalan. Laku intelektualitas
berjalan di atas perhitungan produksi dan penghasilan. Banyak rencana keilmuan
atau penelitian yang pada akhirnya terpeleset menjadi obyek proyek yang berefek
uang.
Jauh-jauh hari Edward W. Said menyerukan
kegentingan intelektual dalam bukunya, Representations of the Intellectual
(1994). Bahaya jika kaum intelektual sekadar menjadi kalangan profesional,
bahkan cuma menjadi tokoh dalam tren sosial. Prototipe intelektual yang
diwacanakan Said merujuk pada gagasan Antonio Gramsci, yang membedakan
intelektual tradisional dengan intelektual organik. Intelektual
tradisional--misal dosen, guru, atau pendeta--tetap di tempat, melakukan
pekerjaan yang sama dari waktu ke waktu, dan pro-kemapanan. Intelektual organik
secara aktif terlibat dalam masyarakat, bergerak, dan bekerja dalam arus
kemenjadian: aksi terus-menerus mengubah pikiran serta memperluas jangkauan
demi mengabarkan kebenaran dan mengubah suatu "dunia yang semestinya
ada".
Said lebih menumpukan harapan pada
intelektual amatir ketimbang intelektual profesional. Intelektual profesional
seolah pekerja harian yang mengejar sokongan penghidupan dan kemapanan sosial.
Adapun intelektual amatir bergerak karena rasa, cinta, dan obsesi atas
pengetahuan yang lebih besar yang mampu memuaskan dirinya. Intelektual amatir
melintasi batas-batas pengkhususan ranah pemikiran dengan menjalin hubungan
lintas batas dalam pengembangan ide-ide dan gagasannya.
Pemburuhan Hari Ini
Diskursus Said menghadiahi generasi hari ini
satu cermin untuk mengacai wajah intelektual kampus terbaru. Dalil
profesionalisme, tanpa disadari, pun menanam semangat pemburuhan. Memang,
sebagian kecil intelektual kampus kini, selain punya rasa cinta pengetahuan
yang besar, terlibat dalam proses transformasi sosial, serta menjawab dan
mengatasi perkara-perkara bangsa yang tak makin berkurang. Namun lebih banyak
yang sibuk dalam akrobat-akrobat birokratis-profesional yang nyaman: mereka
yang masih saja merasa dunia ini baik-baik saja; mereka yang sibuk mengurusi
pamrih keuntungan dari posisi dan gelarnya sebagai intelektual.
Mafhumlah kita, semangat pemburuhan itu telah
menjelmakan jamak dosen di kampus yang berevolusi sebagai "juragan
kecil". Berkacak pinggang di pelbagai kesempatan seraya mendistribusikan
perintah dan instruksi. Dosen berhak menukar ketidakhadirannya dengan
penugasan. Alih-alih sadar kehilangan banyak waktu untuk mengerjakan tugas,
mahasiswa justru senang tak bertatap muka dengan dosen. Model ujian take
home menjadi tren. Waktu yang semestinya didayagunakan faedahnya untuk
menjadikan mahasiswa lebih berswasembada dengan mengerjakan lain hal di ranah
intra/ekstrakurikuler terenggut oleh kewajiban tugas. Kita pun menjadi bebal
untuk sekadar heran terhadap mahasiswa-mahasiswa hari ini yang lebih banyak
mengerjakan tugas-tugas kuliah, dan memar menatap buku-buku diktat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar