Sulitkah
Membudayakan Hemat Energi?
Erkata Yandri, PERISET
PADA SOLAR ENERGY RESEARCH GROUP,
KANAGAWA INSTITUTE OF TECHNOLOGY, JEPANG
Sumber
: KORAN TEMPO, 29 Februari 2012
Tidak
bisa dimungkiri, masalah energi adalah hot topic bagi pemerintah.
Kebijakan subsidi energi yang dianut saat ini sudah sangat membebani keuangan
negara. Tahun lalu subsidi energi sudah menembus angka fantastis Rp 250
triliun, dengan Rp 160 triliun khusus untuk bahan bakar minyak saja. Menyadari
bahwa skenario menaikkan tarif dasar listrik dan harga BBM sangat sensitif,
maka Susilo Bambang Yudhoyono pun melirik opsi lain dengan mengajak rakyatnya
menghemat energi.
Hal
itu diungkapkannya pada peresmian tiga proyek pembangkit listrik tenaga uap di
pengujung 2011. Mungkin ajakan SBY itu ada hubungannya dengan sosialisasi
Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 2011 tentang penghematan energi, yang tujuan
sebenarnya diarahkan untuk lingkup internal instansi pemerintah. Prosedur dan
mekanismenya disusun oleh stafnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia. Jika
sukses, nantinya akan diajarkan kepada masyarakat luas. Sebelumnya sudah pernah
ada juga inpres serupa, yaitu Nomor 10 Tahun 2005 dan Nomor 2 Tahun 2008.
Belum
lama ini, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan menginformasikan
bahwa tahun lalu tercapai penghematan listrik dan air 7-10 persen, setara
dengan Rp 12-14 triliun. Walaupun pencapaian itu mungkin disebabkan oleh efek
kejut tanpa adanya jaminan kesinambungan, layaklah diapresiasi. Inpres hanyalah
sekadar tugas atau beban. Namun fakta dikeluarkannya tiga inpres penghematan
energi per tiga tahunan mengindikasikan belum terciptanya budaya penghematan
energi. Mengapa?
Miskin
Contoh
Paling
tidak ada dua penyebab mengapa belum tercipta budaya penghematan energi.
Pertama, miskin contoh dari sang pemimpin bagaimana sebenarnya bentuk
kepedulian dalam penghematan energi. Bukanlah bermaksud mengarah ke pribadi
SBY, tapi lihatlah rutinitas yang dilakukan Presiden setiap hari pergi-pulang
kerja dan pemborosan energi yang terjadi. Mari berhitung! Menurut informasi,
ada 10 mobil patroli dan pengawalan yang menempuh jarak sekitar 120 kilometer
dengan rute Cikeas-Istana-Cikeas. Anggap saja seliter BBM untuk 10 km, maka
sehari menghabiskan 120 liter, atau sebulan (20 hari kerja) 2.400 liter BBM.
Belum lagi BBM yang terbakar hanya karena orang lain harus berhenti menunggu
rombongan lewat. Tidakkah terpikir rutinitas harian ini suatu pemborosan
energi?
Berikutnya,
hajatan pesta pernikahan anak SBY dan besannya di Istana Cipanas beberapa bulan
lalu. Ayo, dihitung lagi! Diperkirakan 10 ribu tamu hadir waktu itu. Anggaplah
ada dua orang per kendaraan, maka mobil yang dipakai sekitar 5.000 unit. Jika
jarak tempuh setiap mobil rata-rata 90 km dengan Monas sebagai titik pusat,
sudah terbakar 90 ribu liter BBM. Belum termasuk kendaraan lain yang tidak ada
hubungannya dengan perkawinan tersebut, tapi harus memutar karena akses
normalnya ditutup untuk alasan keamanan dan kenyamanan pesta, dan juga BBM yang
dibakar oleh TNI dan Kepolisian RI dalam menggelar pasukannya. Tidakkah
terpikir bahwa ini adalah suatu pesta yang boros energi?
Kedua,
miskin fokus bagaimana mengefisienkan energi nasional. Fakta membuktikan
buruknya perilaku ketidakpedulian energi disebabkan oleh buruknya kontrol,
sedangkan buruknya kontrol disebabkan pula oleh buruknya sistem. Jadi, tanpa
sistem, jangan berharap birokrat, korporat, dan rakyat bisa diajak serius
melakukan penghematan energi. Semua terefleksi sampai ke bawah.
Fenomena
angkutan umum di berbagai kota sekarang ini cenderung sepi penumpang, karena
banyak yang beralih ke sepeda motor. Angkutan kota yang terlalu banyak
menyebabkan terjadinya penumpukan di terminal atau kendaraan ngetem di
perempatan jalan. Inilah penyebab kemacetan dan energi terbakar secara percuma.
Apakah kepedulian energi pada transportasi sudah menjadi fokus dan prioritas
pemerintah daerah?
Efek
keberadaan mal, yang dipercaya sebagai salah satu penggerak perekonomian
sehingga perizinannya dipermudah walaupun persaingannya ketat, juga perlu
dipikirkan secara jernih. Mal sudah membuat sesuatu menjadi tidak efisien. Mal
sudah menjadi gaya hidup yang merangsang orang datang untuk sesuatu yang
mungkin tidak begitu penting. Mal menyebabkan penumpukan kendaraan di
sekitarnya, yang memicu terjadinya kemacetan. Apakah pemda dan pebisnis sudah
mempertimbangkan aspek efisiensi energi keberadaan mal secara keseluruhan?
Begitu
juga dengan desain perumahan yang tidak disesuaikan dengan lingkungan tropis.
Rumah-rumah di Indonesia lebih mengutamakan kegagahan, bukan fungsinya.
Akibatnya, penyejuk udara yang menyedot begitu banyak listrik menjadi andalan,
belum lagi kebutuhan alat-alat rumah tangga lainnya yang serba listrik. Tidak
salah jika PLN mengkritik pemberian subsidi listrik untuk rumah mewah. Apakah
kepedulian energi sudah menjadi fokus dan prioritas pemilik rumah serta
arsiteknya?
Pemimpin
tidak cukup bermodalkan keputusan atau ajakan semata dalam membudayakan
penghematan energi. Tapi diperlukan contoh yang nyata, spontan, serius, dan
antusias dalam mengkampanyekannya. Kalau tidak ada contoh dan tindak lanjut
yang terkonsep jelas, jangan berharap penghematan energi akan tercapai, apalagi
sampai menjadi suatu budaya sampai ke daerah.
Berbuatlah!
Masalah
penghematan energi bukanlah kegiatan yang asal jadi semata, melainkan harus
menjadi sesuatu yang ada hasilnya. Bukan penghematan saja, tapi harus ada
perubahan perilaku yang membudayakan penghematan energi. Untuk mencapai arah
itu, paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan.
Pertama,
Presiden dan segenap pejabat publik lainnya harus memberikan contoh perilaku
penghematan energi. Mencontohi merupakan salah satu bentuk sosialisasi yang
cukup efektif. Pada setiap kesempatan dan waktu, harus ditunjukkan contoh
secara konsisten. Tujuannya agar rakyat percaya bahwa penghematan energi adalah
masalah serius, sehingga Presiden berusaha menjadikannya budaya dari pribadinya
sendiri. Salah satu buktinya, segeralah SBY pindah ke Istana Negara. Paling
tidak, di depan mata sudah menunggu penghematan nyata 2.400 liter BBM sebulan.
Kedua,
pemerintah harus menciptakan sistem yang mendorong efisiensi di segenap
aktivitas kehidupan dan perekonomian. Penghematan energi tidak cukup hanya
berbekal inpres, tapi haruslah terkonsep dan tersistem melalui program
pelatihan, sinkronisasi goal semua lini baik pusat maupun daerah, audit,
dan evaluasi dengan tim yang solid. Segala indikator penghematan energi harus
jelas dan disampaikan kepada publik secara berkala. Intinya, harus ada rasa
memiliki (ownership).
Ketiga,
pemerintah harus berani mengambil langkah revolusioner untuk mendapatkan hasil
instan tanpa harus mengeluarkan banyak biaya, dengan cara mengubah pola (method
change) ataupun tata letak (re-layout) suatu permasalahan. Cobalah
berfokus pada simpul-simpul kemacetan, jam operasional pusat komersial, yang
bisa dibereskan dengan kedua cara itu. Inilah yang harus segera dikaji dengan
teliti. Lebih baik mengorbankan kenyamanan beberapa waktu demi penghematan
daripada membiarkan pemborosan terus terjadi di depan mata karena tidak berani
berbuat.
Jika
pemerintah masih juga punya hobi mengeluarkan inpres, arahkanlah ke sektor
transportasi, perumahan, dan industri agar memakai serta menghasilkan produk
dengan energi yang efisien. Sudah saatnya mal dan rumah mewah menanggung
sebagian kebutuhan energinya dari energi terbarukan. Ini tidak hanya mengurangi
beban pemerintah dalam menyediakan energi, tapi juga akan merangsang tumbuhnya
industrialisasi energi terbarukan yang membuka lapangan kerja untuk negara ini,
dan bukan negara lain!
Terlepas
bersubsidi atau tidak, langkah penghematan energi adalah suatu keharusan. Jika
memang ingin mendidik bangsa ini lebih peduli terhadap energi, lakukanlah
program penghematan dengan konsep dan sistem yang jelas. Cukuplah sudah dengan
tiga inpres itu, lalu "didiklah" masyarakat. Tapi janganlah
"setengah-setengah" atau "asal ada" saja. Tidak ada yang
sulit jika kita mau membuktikan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar